I. Pendahuluan
Secara
umum masjid memiliki arti ‘tempat sujud’, namun demikian selain berfungsi
sebagai tempat ibadah masjid juga berfungsi sebagai tempat pertemuan dan
bermusyawarah. Secara fisik tidak ada ketentuan-ketentuan
khusus dalam pendirian masjid. Pendirian sebuah masjid pada dasarnya lebih
difungsikan sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran dan pendidikan Agama
Islam. Agama Islam secara resmi dijadikan sebagai agama negara Kesultanan
Palembang Darussalam pada masa Sultan Abdurrahman. Sejak masa itu Agama Islam
diperkirakan mulai berkembang hingga ke wilayah-wilayah pedalaman.
Kondisi
geografis wilayah Kesultanan Palembang Darussalam meliputi dataran tinggi,
dataran rendah dan pesisir. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tidak
ada ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur bentuk dari sebuah masjid karena
itu arsitektur sebuah masjid umumnya mengikuti bangunan yang didirikan di
wilayah dimana masjid tersebut didirikan. Tulisan ini akan membahsa tentang
masjid kuno di Desa Mangsang berkaitan dengan kedudukan Desa Mangsang sebagai
salah satu daerah Kepungutan Kesultanan Palembang Darussalam di wilayah dataran
rendah.
II. Lokasi Desa Mangsang
Secara
administratif Desa Mangsang terletak di wilayah Kecamatan Bayunglencir,
Kabupaten Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Desa ini terletak di tepi
Sungai Lalan yang mengalir di bagian timur Sumatera Selatan. Secara umum Sungai
Lalan yang bermuara di Sungai Banyuasin memiliki beberapa anak sungai antara
lain Sungai Muara Medak, Sungai Nyarang, Sungai Rantau Melayu dan Sungai Bakung
(Rangkuti 2007: 5). Seperti pemukiman di wilayah DAS Lalan lainnya, kondisi
geografis Desa Mangsang terdiri dari rawa lebak dan dataran kering. Berdasarkan
kondisi geografis tersebut secara umum bangunan-bangunan yang didirikan berupa
bangunan bertiang.
III. Masjid
Desa Mangsang
Masjid ini berdenah bujursangkar
dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Masjid ini merupakan bangunan yang ditinggikan
dan didirikan diatas pondasi dari bata. Kondisi masjid saat ini sudah hancur
karena sudah sejak tahun 1960-an tidak digunakan lagi, meskpun demikian bentuk
umum masjid masih dapat diketahui. Dinding masjid diperkirakan berasal dari
bahan kayu. Di dalam ruang utama masjid terdapat 4 buah tiang soko yang
berfungsi sebagai penyangga atap. Lantai bagian dalam masjid berupa tegel
berhias dengan motif flora.
Mihrab masjid berdenah persegipanjang, diperkirakan
dinding mihrab ini terbuat dari bahan bata. Hal ini ditunjukkan oleh temuan
sisa atap berbentuk kubah yang terbuat dari bahan bata. Bentuk atap masjid
diperkirakan berupa atap tumpang. Bagian atap yang teratas masih utuh. Terdapat
hiasan kemuncak dari bahan kayu, di bagian kerpus atap terdapat hiasan simbar
dari bahan tanah liat bakar demikian di bagian sisi-sisi atap terdapat hiasan
simbar dari bahan kayu. Di bagian depan masjid terdapat teras yang terbuat dari
bahan kayu.
Berdasarkan pada bentuk bagian atas masjid yang memiliki
kemiripan dengan Masjid Lawangkidul dan Masjid Marogan diperkirakan masjid ini
berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam. Berdasarkan kemiripan gaya
arsitekturnya kemungkinan masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Badaruddin I(1724 – 1758 M), karena pada masa itu merupakan masa keemasan
Kesultanan Palembang Darussalam.
Secara arsitektural, bentuk bangunan masjid Desa Mangsang
berbeda dengan bangunan hunian di sepanjang Sungai Lalan yang umumnya berupa
bangunan bertiang. Bentuk yang berbeda tersebut kemungkinan dikarenakan fungsi
bangunan ini adalah untuk kegiatan keagamaan. Meskipun tidak didirikan di atas
tiang, bagian kaki bangunan Masjid Desa Mangsang ini terlihat lebih tinggi dari
tanah di sekitarnya sehingga secara umum bangunan tersebut berupa bangunan yang
ditinggikan. Bentuk bangunan yang ditinggikan tersebut dapat dikatakan wujud
adaptasi masyarakat di sepanjang Sungai Lalan terhadap lingkungannya yang
umumnya berupa rawa belakang
IV. Kedudukan
Desa Mangsang Masa Kesultanan
Secara geografis wilayah Kesultanan Palembang Darussalam
tidak berbeda jauh dengan wilayah Sumatera Selatan sekarang. Pada masa
Kesultanan, wilayah pemerintahan terbagi menjadi empat bagian yaitu ibukota,
kepungutan, sindang dan sikap. Ibukota merupakan wilayah pusat pemerintahan dan
kebudayaan. Wilayah ini sepenuhnya di bawah kekuasaan Sultan. Kepungutan
merupakan daerah yang langsung diperintah oleh Sultan. Daerah tersebut
berkewajiban membayar upeti atau pajak baik berupa uang maupun hasil bumi.
Sindang merupakan wilayah paling ujung atau pinggir yang mempunyai tugas untuk
menjaga batas-batas kerajaan. Penduduk di wilayah sindang tidak berkewajiban
membayar pajak dan dianggap sebagai orang-orang yang merdeka, tetapi tiga tahun
sekali mereka wajib berkunjung ke ibukota. Sikap merupakan wilayah, di mana dusun
atau sekumpulan dusun dilepaskan dari marga, yang dibawahi langsung oleh pamong
Sultan. Secara geografis lokasi Sikap berada di muara-muara sungai yang
strategis. Umumnya penduduk wilayah ini bertugas sebagai tukang kayuh perahu
Sultan, tukang kayu keraton, pembawa air dan prajurit. Mereka juga dibebaskan
dari pajak (Rahim 1998: 63 – 65).
Di dalam sebuah Kepungutan terdiri dari beberapa marga
yang terdiri dari beberapa dusun. Secara geografis daerah Kepungutan terbagi
berdasarkan sungai-sungai yang mengalir di wilayah Kesultanan Palembang
Darussalam yang hampir semuanya bermuara di Sungai Musi dan dikenal dengan
istilah Batanghari Sembilan. Daerah Batanghari Sembilan adalah daerah sembilan
sungai yaitu Sungai Kikim, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai
Lematang, Sungai Enim, Sungai Ogan, Sungai Komering dan Sungai Banyuasin.
Keberadaan marga-marga di daerah Kepungutan ini terus
berlanjut hingga masa Kolonial. Setelah Kesultanan Palembang Darussalam
dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, wilayah pemerintahannya ditetapkan
menjadi Keresidenan. Setelah mengalami beberapa kali perubahan akhirnya pada
tahun 1930 Keresidenan Palembang terdiri dari tiga afdeeling. Masing-masing
afdeeling terdiri dari beberapa onderafdeeling yang juga terdiri dari
marga-marga. Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan sampai akhirnya
konsep marga dihapus pada tahun 1979 menjadi kesatuan pemerintahan
desa/kelurahan.
Sejarah lokal masyarakat di sepanjang Sungai Lalan
menyebutkan bahwa wilayah ini merupakan daerah dari Kesultanan Palembang
Darussalam. Disebutkan bahwa Ratu Sinuhun pernah berkunjung ke Desa Bangsa dan
Penampin. Dalam kunjungan tersebut diserahkan juga sebuah piagem kepada ketua
Desa Bangsa. Piagem tersebut memuat peraturan dan perintah Raja Palembang.
Piagem tersebut terbuat dari tembaga dan
ditulis dengan huruf Jawa. Selain itu disebutkan juga bahwa penduduk di
sepanjang Sungai Lalan berasal dari tiga marga, yaitu Marga Bayat, Marga Lalan
dan Marga Tungkal Ulu dan Desa Mangsang merupakan pusat pemerintahan Marga
Lalan (Rangkuti 2007: 9).
Keberadaan Desa Mangsang sebagai pusat pemerintahan Marga
Lalan dapat dikaitkan dengan keberadaan masjid di desa tersebut. Arsitektur
masjid yang terkesan raya tersebut menunjukkan bahwa Desa Mangsang mempunyai
kedudukan yang cukup berarti pada masa Kesultanan. Hal ini juga terkait dengan
keberadaan piagem di wilayah tersebut karena umumnya piagem-piagem yang
dikeluarkan oleh Sultan Palembang diserahkan kepada Kepala Marga yang tentunya
tinggal di pusat pemerintahan marga. Selain itu pada penelitian etnoarkeologi
yang dilakukan Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2007 di Desa Muarabahar dan
Muaramedak masih ada penduduk di desa tersebut yang memiliki artefak keris dan
tombak (Rangkuti 2007: 19-20). Artefak-artefak tersebut adalah warisan dari
kakek mereka yang merupakan pemimpin pada masa lalu (kerio atau pesirah). Keris
dan tombak merupakan makna simbolik bahwa pemegang keris dan tombak tersebut
adalah pemimpin di suatu wilayah.
Secara umum piagem-piagem dikeluarkan oleh sultan dalam
kaitan dengan unsur pemerintahan, ketertiban, perdagangan, dan kejayaan sultan
melalui pengumpulan benda keramat atau benda langka. Semua aturan tersebut
harus dijalankan oleh orang yang dipercaya sultan dan sebagai bukti orang
tersebut diberi piagem. Ia mendapat kuasa untuk menerima pembayaran denda dari
rakyat yang melanggar peraturan dan menetukan besarnya pajak yang
keseluruhannya akan diserahkan kepada sultan pada saat mara seba agung di
ibukota (Suhadi 1998: 16). Dikaitkan dengan adanya pajak yang harus diserahkan
oleh Marga Lalan maka dapat dikatakan bahwa wilayah di sepanjang Sungai Lalan
tersebut merupakan daerah kepungutan Kesultanan Palembang Darussalam.
V. Pembahasan
Berdasarkan keberadaan marga-marga, dapat dikatakan
wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam adalah wilayah Sumatera Selatan
sekarang. Secara geografis Sumatera Selatan berada di wilayah DAS Musi. Berdasarkan
kondisi geografisnya wilayah DAS Musi dapat dibagi tiga, yaitu dataran
tinggi, dataran rendah dan daerah
pesisir (Guillaud (ed.) 2006). Kawasan dataran tinggi merupakan hulu Sungai
Musi yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Secara umum sumberdaya alam di DAS Musi berupa
kandungan mineral seperti emas, besi, tembaga, batubara, dan minyak. Selain itu
di kawasan ini juga memiliki sumberdaya hutan yang ditumbuhi pohon-pohon
seperti ulin, merawang, tembesi, nibung, gelam, meranti dan pinus. Pohon-pohon
tersebut umumnya tumbuh baik di hutan-hutan dataran tinggi maupun dataran
rendah. Selain hutan yang ditumbuhi
tanaman keras di kawasan dataran rendah DAS Musi juga terdapat rawa lebak. Di
kawasan tersebut juga merupakan hulu dari beberapa sungai, salah satunya Sungai
Banyuasin. Kawasan pesisir di DAS Musi merupakan daerah pantai datar yang
terdiri dari hutan mangrove dan rawa
pasang surut (Ensiklopedia Nasional Indonesia 2004; Anwar 1984).
Secara umum Sungai Musi dapat dilayari hingga 450 km ke
daerah pedalaman dari muara yang sekarang (Utomo 1992: 16). Sepanjang Sungai
Musi bermuara sungai-sungai yang cukup besar dan memiliki anak-anak sungai yang
dapat dilayari juga. Secara keseluruhan sungai-sungai besar yang bermuara di
sungai Musi adalah Sungai Kikim, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rawas,
Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Ogan dan Sungai Komering. Jika dikaitkan
dengan konsep ‘Batanghari Sembilan’ maka hanya Sungai Banyuasin saja yang tidak
bermuara di Sungai Musi tetapi di Selat Bangka. Berdasarkan konsep Batanghari
sembilan, dapat dikatakan daerah-daerah kepungutan Kesultanan Palembang
menyebar di seluruh daerah aliran di kesembilan sungai tersebut. Potensi
sumberdaya alam yang melimpah menyebabkan daerah-daerah kepungutan itu menjadi
daerah pendukung bagi keberadaan Palembang sebagai ibukota kesultanan. Jika dikaitkan
dengan kondisi geografisnya dapat dikata bahwa wilayah Kesultanan Palembang
Darussalam meliputi seluruh bagian yaitu dataran tinggi, dataran rendah dan
daerah pesisir.
Secara geografis, lokasi Desa Mangsang terletak di wilayah
dataran rendah Sumatera Selatan. Di
kawasan ini mengalir Sungai Lalan yang merupakan salah satu anak sungai dari
Sungai Banyuasin. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sungai-sungai
di wilayah Sumatera Selatan dapat dilayari sampai ke padalaman. Mengacu pada
penyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa Sungai Lalan dan anak-anak Sungai
Banyuasin lainnya merupakan media transportasi untuk mengangkut hasil bumi di
wilayah tersebut. Potensi sumberdaya alam di kawasan ini seperti pada umumnya
hutan-hutan dataran rendah yaitu pohon ulin, tembesi, petaling, merawan dan
meranti (Nurhadi Rangkuti 2007: 7). Selain itu di kawasan ini terdapat juga
hewan-hewan yang merupakan komoditi dagang pada masa lalu seperti gajah,
harimau, rusa dan kijang (Ensiklopedia Nasional Indonesia 2004). Sebagai daerah
kepungutan, potensi sumberdaya alam kawasan di sepanjang Sungai Lalan
menjadikan wilayah ini merupakan wilayah pendukung dari Palembang yang
merupakan pusat Kesultanan Palembang Darussalam.
VI. Penutup
Keberadaan masjid yang berkesan raya dapat
dikaitkan dengan sejarah lokal yang menyebutkan bahwa Desa Mangsang adalah
pusat pemerintahan Marga Lalan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Secara geografis wilayah Kesultanan Palembang Darussalam terdiri dari dataran
tinggi, dataran rendah dan pesisir. Sebagai wilayah yang terletak di dataran
rendah, wilayah di DAS Lalan memiliki sumberdaya alam yang potensial bahkan
beberapa sumberdaya tersebut juga merupakan komoditi dagang sejak masa
Sriwijaya. Sumberdaya alam yang potensial tersebut merupakan faktor pendukung
dari keberadaan Desa Mangsang sebagai daerah kepungutan Kesultanan Palembang
Darussalam. Sebagai daerah kepungutan, Desa Mangsang wajib membayar pajak atas
perdagangan, perburuan dan kegiatan sosial ekonomi lainnya kepada Sultan. Bentuk
arsitektur Masjid Desa Mangsang berbeda dengan bangunan-bangunan hunian di
wilayah ini yang umumnya berupa bangunan bertiang. Meskipun demikian arsitektur
Masjid Desa Mangsang ini dapat dikatakan adaptif dengan kondisi lingkungan di
sepanjang Sungai Lalan yang umumnya berupa rawa belakang karena bagian kaki
dari bangunan tersebut ditinggikan dari lahan di sekitarnya.
Daftar
Pustaka
Anwar,
Jazanul (dkk). 1984, Ekologi Ekosistem
Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Guillaud,
Dominique (ed.). 2006, Menyelusuri
Sungai, Merunut Waktu. Jakarta: IRD-Enrique Indonesia
Hanafiah,
Djohan (ed). 2002, Perang Palembang melawan VOC. Jakarta: Millennium Publisher
Miksic,
John N. 1984, “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatera
Selatan” dalam Berkala Arkeologi V(1)
Maret No. 1. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
nn,
2004. Ensiklopedia Nasional Indonesia.
Jakarta: Delta Pamungkas
Rahim.
Husni. 1998, Sistem Otoritas dan
Administrasi Islam. Jakarta: Logos
Rangkuti,
Nurhadi. 2007, “Pola Hidup Komuniti Pra Sriwijaya di Daerah Rawa: Studi
Etnoarkeologi di Kecamatan Bayunglencir, Kabupaten Musibanyuasin Provinsi
Sumatera Selatan” dalam Berita Penelitian
Arkeologi No 15. Palembang: Balai Arkeologi Palembang
Sevenhoeven,
JL van. 1971, Lukisan Tentang Ibukota
Palembang. Jakarta: Bhratara
Suhadi,
Machi. 1990, “Piagam Sukabumi dan Palembang dari Sumatera Selatan” dalam Monumen hal. 267-284. Depok: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia
-----------------
1998, “Beberapa Piagam Sultan Palembang” dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra Nomor 1/lll/Mei/1998 hal.
14-26. Palembang: Balai Arkeologi Palembang
Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku “Arkeologi Lahan Basah di Sumatera dan Kalimantan” Palembang: Balai Arkeologi Palembang, hal. 39-47 tahun 2008
Angka Main HONGKONG : 90315 BB
BalasHapusJaga BB Colok bebas HONGKONG : 9 1
Colok Macau 2D HONGKONG : 90 31 BB
Angka Jadi 2D Bom Bandar HONGKONG : 21*26*25*29*12*16*15*19*62*61*65*69*52*51*56*59*92*91*96*95*
Main Ganjil Genap HONGKONG : GENAP
Main Besar Kecil HONGKONG : BESAR
Prediksi Togel Terlengkap
Prediksi gratis tanpa mahar