Pendahuluan
Secara
geografis kawasan pantai barat Sumatera pada abad 16 M dikuasai oleh dua
kesultanan yaitu Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Dapat dikatakan bahwa
batas kekuasaan dua kesultanan tersebut berada di wilayah Bengkulu. Kesultanan Aceh menguasai wilayah Bengkulu
bagian utara; sedangkan Kesultanan Banten menguasai wilayah bagian selatan. Sebagai
wilayah kekuasaan dari dua kesultanan besar, pada saat itu di Bengkulu terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yaitu Manjuta, Sungai Lemau, Sungai Serut, Sungai Hitam
dan Selebar (Wellan 1932: 164). Data sejarah mencatat hasil bumi yang menjadi
komoditi dagang utama wilayah Bengkulu pada abad 16 M adalah lada (Marsden
2008: 127). Keadaan ini menjadikan wilayah Bengkulu sebagai wilayah yang sangat
potensial bagi pedagang-pedagang Eropa seperti Belanda (VOC) dan Inggris (EIC).
Pada tahun 1660, Belanda
mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Selebar yang kemudian berlanjut dengan
pendirian kantor dagang Belanda di Selebar pada tahun 1664. Namun pada tahun
1670 terjadi perselisihan antara Belanda dengan Kerajaan Selebar yang
mengakibatkan Belanda meninggalkan wilayah ini. Pada tahun 1684 ketika
Belanda mendapat hak monopoli perdagangan lada di Kesultanan Banten menyebabkan
Inggris mengalihan hubungan dagangnya dengan wilayah lain.
Tahun 1685,
Inggris mengadakan perjanjian dengan penguasa
Selebar. Isi perjanjian tersebut adalah memberikan konsesi kepada Inggris berupa tanah di dekat pelabuhan Selebar
untuk dibangun gudang-gudang penyimpanan dan bangunan-bangunan lain yang berhubungan
dengan kegiatan dagang mereka. Selain itu Inggris juga
mendapat hak untuk memungut bea terhadap barang-barang yang keluar masuk serta
semua hasil bumi lada yang dibawa ke pelabuhan harus dijual kepada Inggris. Sejak saat itu Inggris mulai mengadakan perjanjian dengan
kerajaan-kerajaan di Bengkulu dengan mendirikan pos-pos dagang hingga akhirnya
tahun 1752 Inggris menguasai perdagangan lada di seluruh wilayah Bengkulu
dengan Kota Bengkulu sebagai pusat pengumpulan lada.
Bengkulu
dibawah kekuasaan Inggris berlangsung hingga tahun 1824. Pada tahun tersebut
ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Belanda mengenai wilayah dan
perdagangan di Hindia Timur. Perjanjian tersebut berisikan tentang
serah terima daerah koloni antara Inggris dan Belanda. Bengkulu sebagai koloni
Inggris ditukar dengan Malaka, koloni Belanda di semenanjung Malaya .
Sejak saat itu
Bengkulu menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Hindia Belanda.
Tinggalan-Tinggalan Arkeologi di Kota Bengkulu
Hasil penelitian arkeologi menunjukan bahwa
dalam menata Kota Bengkulu, bangsa Inggris mengatur penempatan ruang kota
berdasarkan pada basis perekonomiannya yaitu pelayaran dan perdagangan. Setelah
pergantian kekuasan dari pihak Inggris kepada pemerintah Hindia-Belanda
terlihat pemerintah Hindia-Belanda tetap meneruskan fungsi komponen-komponen
kota Bengkulu seperti sebelumnya, namun demikian terlihat beberapa penambahan
komponen yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu (Novita
dan Darmansyah 2004: 2-6).
Secara keseluruhan tinggalan-tinggalan
arkeologi kolonial yang masih dapat ditemukan adalah:
Benteng
Marlborough
Secara umum Benteng
Marlborough mempunyai denah yang berbentuk segi empat. Benteng ini mempunyai
bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya
berupa bangunan yang terpisah dan berdenah segi tiga. Benteng Marlborough mempunyai
parit keliling yang mengikuti denah benteng. Parit tersebut juga memisahkan
bangunan induk dengan bangunan depan. Kedua bangunan tersebut dihubungi oleh
sebuah jembatan.
Pada bangunan depan terdapat pintu masuk
yang berbentuk lengkung sempurna. Bangunan ini tidak mempunyai ruangan, hanya
berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung. Pada dinding lorong tersebut
terdapat 4 buah nisan, 2 buah nisan berasal dari masa Benteng York dan yang
lainnya berasal dari masa Benteng Marlborough. Pada nisan-nisan tersebut
tertera nama George Shaw - 1704; Richard Watts Esq - 1705; James Cune - 1737;
Henry Stirling – 1774.
Pada bagian atas bangunan ini terdapat
tembok keliling yang mempunyai celah-celah berbentuk segi tiga yang berfungsi
sebagai celah intai. Pada bagian belakang bangunan terdapat 3 buah makam
dengan nisan yang terbuat dari batu tetapi sudah tidak dapat dibaca lagi.
Bastion-bastion Benteng Marlborough
terdapat di sudut utara, selatan timur, dan barat. Bastion-bastion ini berdenah
segi lima, bagian atas bastion-bastion ini umumnya terdapat tembok keliling
yang memiliki celah intai. Lantai bagian ini terbuat dari tegel berglasir
coklat. Pada bastion selatan masih terlihat sisa rel meriam yang berbentuk
lingkaran. Pada didinding sisi utara bastion selatan dan timur menempel 8 buah
cincin besi yang masing-masing berjarak 1 m.
Pada bastion-bastion ini terdapat beberapa
ruangan, yaitu pada bastion utara dan bastion barat. Ruangan di dalam bastion
utara terdiri dari 2 kamar.
langit-langit ruangan ini berbentuk lengkung dan memiliki lubang berdiameter 80
cm yang menembus sampai bagian atas bastion. Ruangan di dalam bastion barat
mempunyai 2 kamar yang berfungsi sebagai penjara yang letaknya saling
berhadapan. Pada salah satu penjara yang letaknya lebih rendah terdapat lorong
yang langit-langitnya terdapat lukisan binatang yang terbuat dari arang.
Di dalam Benteng Marlborough juga terdapat
beberapa bangunan, yaitu di antara bastion utara dan timur, antara bastion
selatan dan barat, dan antara bastion selatan dan timur. Bangunan antara
bastion utara dan timur mempunyai denah persegi panjang dan terbagi dua yang
dipisahkan oleh lorong menuju pintu belakang benteng. Bangunan di sebelah kiri
terdiri dari 3 ruang; sedangkan bangunan di sebelah kanan terdiri dari 4
ruangan. Pada umumnya jendela-jendela pada bangunan ini berbentuk persegi panjang.
Bagian atas bengunan ini terdapat atap yang berbentuk pelana dan pada bagian belakangnya
terdapat lorong selebar 1 m.
Bangunan diantara bastion selatan dan
barat berdenah persegi panjang dan terbagi dua yang dipisahkan oleh lorong yang
menuju pintu gerbang utama. Pintu utama tersebut berbentuk lengkung dan dihiasi
oleh tiang semu. Bangunan sebelah kiri terdiri dari 3 ruangan yang disekat oleh
tembok. Umumnya jendela dan pintu bangunan ini berbentuk lengkung. Pada
ruangan ketiga terdapat pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dengan ruang
dalam bastion barat.
Bangunan sebelah kanan terdiri dari 7
ruangan yang disekat dengan tembok. Seperti pada bangunan di sebelah kiri,
jendela dan pintunya umumnya berbentuk lengkung. Pada salah satu ruangan
terdapat lukisan kompas dan tulisan berbahasa Belanda yang dibuat dengan cara
menggoreskannya di tembok. Bagian atas bangunan antara bastion selatan dan
barat ini tidak beratap, tapi berupa lantai yang diberi tegel berglasir coklat.
Pada bagian ini terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai.
Bangunan di antara bastion timur dan selatan
berdenah persegi panjang dan berupa 1 ruangan yang panjang. Jendela-jendela dan
pintu pada bangunan ini berbentuk lengkung. Bagian atas bangunan tidak
memiliki atap tapi berupa lantai yang
diberi tegel berglasir coklat. Sama seperti bangunan antara bastion selatan
dan barat pada bagian atas bangunan ini terdapat tembok keliling yang memiliki
celah intai. Pada bagian depan bangunan ini terdapat sebuah sumur yang
berdiameter 1 m. Dinding sumur ini terbuat dari bata dengan pola ikat dinding
Inggris.
Lingkungan sekitar Benteng Marlborough
merupakan daerah pemukiman. Terlihat keberadaan benteng ini lebih tinggi
dibanding dengan daerah sekitarnya. Keletakan benteng berada di ± 18 m di atas
permukaan laut. Di sebelah utara benteng terdapat sebuah bukit kecil yang
dikenal dengan nama Tapak Padri. Berdasarkan pengamatan pada penelitian ini
dari bukit tersebut wilayah perairan Bengkulu dapat teramati sampai P Tikus.
Hal ini juga ditunjang berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of South East Asia in The India Office
Library, yang menerangkan bahwa
bukit ini digunakan juga oleh Inggris (EIC) untuk mengawasi perairan di sekitar
Benteng Marlborough.
Tugu
Thomas Parr
Terletak di sebelah
tenggara dan berjarak 170 m dari Benteng Marlborough. Tugu ini berupa bangunan
monumental untuk memperingati residen EIC yang tewas dibunuh rakyat Bengkulu. Tugu
ini berdenah segi 8 dan mempunyai tiang-tiang bergaya corintian. Pintu masuk
pada tugu ini terdapat di bagian depan dan sisi kanan dan kiri. Bentuk dari
pintu masuk ini lengkung sempurna dan tidak mempunyai daun pintu. Pada salah
satu dinding di ruang dalam tugu terdapat sebuah prasasti, tapi pada saat ini
sudah tidak dapat dibaca lagi. Bagian atas tugu mempunyai atap yang berbentuk
kubah.
Berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam
buku Prints of Sotut East Asia in The India Office Library terlihat di lokasi
tugu ini terdapat Gedung Pemerintahan dan Gedung Dewan EIC. Pada saat ini
sisa-sisa kedua bangunan tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi karena
lokasi tersebut sudah merupakan kawasan pertokoan dan pusat pemerintahan Dati I
Bengkulu.
Kompleks
Makam Jitra
Komplek makam ini
berjarak 640 m di sebelah timur Benteng Marlborough.
Komplek makam ini berada di tengah-tengah pemukiman. Pada komplek makam ini
terdpat 15 buah makam dengan bentuk makam yang berupa bangunan monumental.
Pada beberapa bangunan terlihat lebih dari 1 nisan, umumnya terdapat 2 sampai
4 nisan. Berdasarkan pembacaan terhadap nisan-nisan yang terdapat di komplek
makam ini diketahui kronologi dari nisan-nisan tersebut berkisar antara tahun
1775 sampai 1940.
Dari pengamatan
terhadap kronologi nisan diperkirakan komplek makam ini juga digunakan ketika
Belanda menguasai Bengkulu. Hal ini terlihat dari nama dan bahasa yang terdapat
pada nisan-nisan tersebut. Pada nisan-nisan yang tertua sampai awal abad XIX
yang tercantum adalah nama-nama orang Inggris dan keterangan-keterangan
lainnya ditulis dalam Bahasa Inggris; sedangkan pada nisan-nisan yang lebih
muda nama-nama yang tercantum adalah nama-nama orang Belanda dan
keterangan-keterangan lainnya ditulis dalam Bahasa Belanda.
Pemukiman
Cina
Terletak di sebelah
selatan dan berjarak 190 m dari Benteng Marlborough. Berdasarkan data sejarah
kawasan ini merupakan pemukiman Cina sejak masa kolonial Inggris. Keterangan
ini mendukung keberadaan tinggalan-tinggalan arkeologi di kawasan tersebut
yang berupa rumah tinggal yang mempunyai arsitektur Cina.
Terhitung ada 20 buah rumah tinggal yang
berarsitektur Cina di kawasan ini. Rumah-rumah tersebut umumnya memanjang ke
arah belakang, bertingkat 2 dan mempunyai atap melengkung. Terlihat juga rumah-rumah
tersebut memakai hiasan terawangan yang terdapat di atas jendela yang berfungsi
sebagai ventilasi yang umum pada arsitektur Cina.
Gedung
Pengadilan
Bangunan
bekas gedung Pengadilan kuno ini berada di tengah kota lama, di pinggir pantai
pada ketinggian 3,20 m di atas permukaan air laut. Jarak dari tepi laut kurang
lebih 110 m. Letak bangunan ini dekat dengan Benteng Marlborough, kira-kira 50
m ke arah timur. Di belakang bangunan bekas gedung pengadilan ini terdapat
pusat pertokoan. Di halaman depan terdapat kantor kelurahan, sedangkan di
samping kanan dan kiri merupakan satu
kesatuan terdapat gedung yang sekarang dipakai sebagai gudang semen, bangunannya
membentuk huruf U. Belum diketahui secara pasti tahun pendirian bangunan
tersebut.
Berdasarkan laporan
tentang Bengkulu oleh Van Der Vinne, seorang pejabat kolonial Belanda tahun
1843, disebutkan:
Di dekat Benteng Marlborough
terdapat Kampung Cina yang dilintasi oleh jalan yang buruk karena tidak
terawat. Di jalan tersebut sering dijumpai kerbau dan sapi, di sisi kanan jalan
ada rumah sakit, di belakang rumah sakit ada rumah tahanan. Di sisi kiri
jalan terdapat raad huis (Balai Kota).
Raad huis bertingkat dua, bagian bawah dipakai untuk kantor Ambtenar dan ruang
atas untuk Sidang Pangeran (Pangheran). Di depan raad huis terdapat taman yang
luas dan bagus, terdapat taman gubernuran dan tempat tinggal asisten
residen. Di tengah taman ada rumah kecil
yang indah digunakan untuk Gereja dan sekolah.
Atas dasar keterangan dari Van der Vinne
ini kemungkinan yang disebut dengan raad
huis adalah bangunan gedung pengadilan kuno tersebut, sebab gedung
Pengadilan Kuno ini juga bertingkat dua dan merupakan satu-satunya gedung
pengadilan peninggalan kolonial yang ada di Kota Bengkulu.
Pada masa kolonial Belanda sekitar tahun
1930an, gedung ini dipakai untuk kantor HPB (Hoofd van Plaatschelijke Berstuur)
atau pemerintahan kota, kantor demang dan Landraat
(pengadilan). Sedangkan bangunan di sebelah kanan gedung disebut lout regi dipakai untuk gudang garam,
gudang sebelah kiri disebut opium regi
dipakai untuk gudang candu.
Kantor
Pos
Gedung kantor pos
terletak di sekitar arela gubernuran diapit oleh pasar baru dan tugu Thomas
Parr. Gedung ini berjarak sekitar 300 m dari Benteng Marlborough. Melihat model
dan gaya bangunannya diperkirakan bangunan ini dibangun pada akhir abad ke XIX
dan awal bad ke XX di masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini diperkuat
oleh laporan Van Der Vinne tahun 1843, yang tidak menyebutkan keberadaan
bangunan ini di Bengkulu pada saat itu.
Bangunan
bergaya Eropa ini tidak berkaki, dengan dinding polos. Bentuk pintu persegi
panjang berbahan kayu yang tebal, bentuk jendela persegi panjang berbahan kayu
dan kaca, berdaun tunggal, terdapat ventilasi. Atap bangunan berbentuk limas.
Bahan pondasi adalah batu, bahan dinding batu, bata dan kayu, bahan bingkai
pintu kayu. Pola bangunan geometris.
Rumah
Pengasingan Bung Karno
Rumah Pengasingan Bung
Karno saat ini berlokasi di jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan
Anggut Atas, kecamatan Gading Cempaka. Rumah ini pada awalnya adalah rumah
tinggal orang Cina yang bernama Tan Eng Cian, yang bekerja sebagai penyalur
bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno menempati
rumah tersebut dari tahun 1938 hingga tahun 1942. Rumah ini berjarak
sekitar 1,6 km dari Benteng Malborough.
Melihat gaya bangunannya rumah ini dibangun
pada abad ke XX. Denah bangunan ini adalah empat persegi panjang. Bangunan ini
tidak berkaki. Dindingnya polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan bentuk
persegi panjang. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada
ventilasi terdapat kisi-kisi berhias. Bentuk atap limas.
Rumah
Yayasan St. Carolus
Rumah Yayasan St. Carolus berfungsi sebagai kantor yayasan katolik yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Bangunan ini berlokasi di Jalan
Todak Pasar Baru, Bengkulu. Ciri-ciri dari bangunan ini antara lain bentuk
pintu masuknya persegi panjang, bentuk
jendela membulat, dan terdapat ventilasi udara. Pada bangunan tersebut terdapat
tanda kontraktor yang membangunnya, yaitu:
ARCH.EN.INGRS.BUR:
FERMONT
– CUYPERS
Tanda
ini berarti bangunan tersebut dirancang dan dibangun oleh Biro arsitek Fermont
& Ed. Cuypers. Biro arsitek Fermont & Ed. Cuypers berdiri pada tahun
1910. Biro arsitek yang berkantor di Weltevreden (suatu daerah di Batavia) ini
menjadi biro arsitek terbesar di Hindia Belanda antara tahun 1919-1930an.
Hampir semua gedung-gedung misi katolik, yang tersebar di kota-kota besar
di Hindia Belanda, seperti Batavia,
Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan dirancang oleh biro arsitek ini.
Masjid
Jamik Bengkulu
Masjid Jamik
Bengkulu berlokasi di Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka. Masjid
ini berada pada ketinggian 20 m di atas permukaan laut. Berjarak 1,2 km dari
Benteng Marlborough (Darmansyah 2002). Pada abad XIX
bangunan masjid berbentuk sederhana
dengan bangunan berbahan kayu dan beratap rumbia. Pada awal abad ke XX
masyarakat membangun masjid tersebut menjadi lebih baik dengan cara swadaya.
Bagian dinding diganti dengan tembok, dan bagian atap diganti dengan seng,
sekaligus memperluas masjid tersebut.
Pada tahun 1938, bangunan masjid didesain
ulang oleh Bung Karno yang biaya ditanggung oleh masyarakat sendiri. Bung Karno
sebagai arsitek bangunan tersebut tidak merubah secara keseluruhan, hanya bagian-bagian
tertentu saja yang dirubah dan ditambah. Bagian dinding masjid ditinggikan 2
meter, dan bagian lantai ditinggikan 30 cm. Bung Karno memberikan ciri khas
pada bagian atap dengan membentuk atap limasan kerucut dengan memberikan celah
pada pertengahan atap sebagai sentuhan arsitektur tersendiri. Pada beberapa
bagian bangunan ditambah tiang dengan ukiran dan pahatan berbentuk sulur-sulur
di bagian atasnya dan dicat dengan warna emas.
Makam
Sentot Alibasyah
Sentot Alibasyah
adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang
Diponegoro (1825-1830). Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para
pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi di Sumatera
Barat. Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi, akhirnya
Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu. Makam
Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara. Pada masa kolonial Belanda letak makam ini
berada agak di luar kota. Saat ini karena adanya perluasan kota, makam ini
berada di dalam kota.
Pada makam Sentot tertulis tanggal
pemakaman 17 April 1885. Makam ini berada di ketinggian 38 m diatas permukaan
laut. Berjarak sekitar 1,2 km dari Benteng Marlborough. Bangunan cungkup makam
Sentot Alibasyah bergaya bangunan “tabot” dan memiliki keistimewaan, yaitu di
dalam cungkup tidak memperlihatkan adanya nisan kubur, sebagaimana biasanya
kbur muslim di Indonesia. Cungkup ini berukuran 570 x 420 cm, dan berdenah
empat persegi panjang dengan pilar-pilar pada beberapa bagian cungkup. Bagian
pusat (makam ) juga berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 327 x 184 cm.
Pembahasan
Hampir di
seluruh wilayah nusantara kota-kota yang tumbuh pada masa lalu berada di
daerah-daerah pantai, tepi sungai atau di lembah-lembah. Keberadaan sebuah kota
di kawasan-kawasan tersebut secara umum didasarkan oleh aspek-aspek politik,
keamanan, ekonomi dan keagamaan. Akses
transportasi laut dengan dukungan pelabuhan merupakan sarana yang paling
penting pada sebuah kota yang tumbuh karena adanya aktivitas
perekonomian (Adrisijanti 2000: 3-4).
Mengacu pada
uraian di atas dapat dikatakan bahwa keletakan
sebuah kota
dapat dikaitkan dengan keadaan geografisnya untuk memudahkan hubungan pelayaran dan
perdagangan antara satu kota
dengan kota
yang lainnya (Tjandrasasmita 1983,786). Dalam hal ini Bengkulu berdasarkan
lokasinya dapat dikatakan sebagai kota
pantai dan menitikberatkan kekuatan sosial ekonominya pada pelayaran dan
perdagangan. Dilihat dari
struktur pembentuknya dan didukung dengan data sejarah, Bengkulu
terbentuk menjadi sebuah pemukiman yang dikarenakan oleh adanya aktivitas perdagangan. Kota Bengkulu tumbuh
dari kegiatan awal pembentukannya yaitu sebagai kota bandar. Tumbuhnya kota tersebut dikarenakan oleh letak
geografisnya yang berada di daerah
pantai yang mendukung pembentukan kota sebagai pelabuhan.
Bengkulu
merupakan salah satu kota yang berkembang karena adanya aktivitas perekonomian
di sepanjang pantai barat Sumatera.
Berdasarkan temuan arkeologi, perdagangan maritim di pantai barat Sumatera
telah ada sejak sekitar abad 7 M yaitu dengan ditemukannya artefak-artefak
gelas dan kaca dari Persia di Situs Barus, Sumatera Utara yang pada masa itu
merupakan pelabuhan dagang dengan komoditinya berupa kapur barus, damar,
kemenyan (Utomo 2006: 2).
Perairan
pantai barat Sumatera kemudian menjadi salah satu jalur perdagangan yang ramai
sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pada saat itu, Kesultanan Aceh yang menguasai jalur perdagangan sepanjang Selat Malaka mengalihkan wilayah perdagangannya ke pantai barat Sumatera (Poesponegoro 1993:
125-126). Kondisi tersebut kemudian ditunjang dengan adanya rute pelayaran baru dari
pelaut-pelaut Eropa yang awalnya berlayar menyusuri Teluk Parsi kemudian
beralih berlayar langsung dari Tanjung Harapan menuju Samudera Hindia (Ambary
1998:135)
Menurut Hasan
Muarif Ambary, keberadaan kota-kota dagang di pantai barat Sumatera jika dilihat dari kronologi eksistensinya
dapat dibagi menjadi dua fase. Fase pertama muncul pada masa Hindu-Budha hingga
masa awal munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Pada fase ini
pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi adalah Lamuri (abad 12 – 19 M), Barus
(abad 7 – 16 M), Tiku dan Pariaman (abad 15 – 17 M). Fase kedua muncul sejalan
dengan peranan pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda dalam pelayaran dan
perdagangan serta hegemoni politiknya di nusantara. Kota-kota pelabuhan yang
tumbuh dan berkembang pada fase ini adalah Meulaboh, Sibolga, Padang, Bengkulu
dan Panjang (1998: 135). Fase-fase tersebut juga menandai kekuasaan yang
berperan di kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatera ini. Pada fase awal,
penguasaan ekonomi dan perdagangan berada sepenuhnya oleh penguasa lokal;
sedangkan pada fase berikutnya penguasaannya telah beralih ke penguasa kolonial yaitu Belanda atau
Inggris.
Berdasarkan
tinggalan-tinggalan arkeologi, Kota Bengkulu menunjukkan ciri-ciri kota
kolonial dimana selain sebagai pusat ekonomi kota tersebut juga berfungsi
sebagai pusat administrasi (Nas 2007: 209). Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa ketika Inggris berhasil menguasai perdagangan lada di seluruh
wilayah Bengkulu, Kota Bengkulu dijadikan
tempat pengumpulan lada dimana penguasa kolonial Inggris mengatur prosedur
perdagangan lada antara lain jumlah produksi, harga hingga peraturan penanaman
lada hingga tidak terjadi produksi yang berlebih (Marsden 2008: 127- 138).
Sebagai pusat administrasi, di Kota Bengkulu juga didirikan gedung pemerintahan
dan gedung Dewan EIC. Berdasarkan lukisan Joseph C
Stadler, diketahui kedua gedung tersebut
terletak di sebelah tenggara Benteng Marlborough (Bastin 1979). Keadaan ini
berlanjut hingga Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda
dimana selain rumah asisten residen didirikan juga bangunan pengadilan dan
bangunan lain yang berfungsi sebagai fasilitas pemenuhan kebutuhan kota dan
penduduknya.
Selain
sebagai pusat ekonomi dan administrasi, ciri lain yang menunjukkan Kota
Bengkulu sebagai kota kolonial yaitu adanya kelompok-kelompok penduduk yang
didasarkan oleh latar belakang etnisnya. Data sejarah menyebutkan pada tahun
1766, penduduk Kota Bengkulu terdiri dari kelompok etnis Eropa, Cina, Benggali,
Jawa, Bugis dan Melayu (Siddik 1996: 55). Pada awal abad 19 M diberitakan kelompok
etnis eropa umumnya bermatapencaharian sebagai pedagang, pegawai sipil dan
militer; kelompok etnis Cina bermatapencaharian sebagai pedagang, kelompok
etnis Benggali bermatapencaharian di bidang pertukangan, tukang jahit dan
tukang cuci. Selain ketiga kelompok-kelompok etnis tersebut diberitakan
terdapat juga kelompok orang-orang yang bekerja sebagai budak yang didatangkan
dari Madagaskar (Siddik 1996: 80).
Pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan laporan Nahuijs pada tahun 1828 penduduk
Kota Bengkulu dilaporkan berjumlah 12.000 jiwa yang terdiri dari kelompok etnis
Eropa, India, Arab, Cina, pribumi dan kelompok-kelompok etnis lain di nusantara
seperti Bugis dan Madura. Pada tahun 1845, van der Vinne melaporkan bahwa
jumlah penduduk Kota Bengkulu berkurang menjadi 10.000 jiwa, terdiri dari 5.392
pribumi, yang terdiri dari orang Bengkulu dan kelompok etnis lain di nusantara
seperti Bugis dan Madura; 4.616 orang asing yang terdiri dari kelompok etnis
Eropa, India dan Arab; dan 544 jiwa kelompok etnis Cina (Novita dan Darmansyah
2004: 20). Dalam laporan tersebut tidak disebutkan penyebab dari berkurangnya
jumlah penduduk di Kota Bengkulu.
Penutup
Keberadaan Bengkulu sebagai
salah satu kota dagang di pantai barat Sumatera pada dasarnya ditunjang oleh
sumber daya alam berupa lada. Pengaruh kekuasaan kolonial dalam perkembangan
kota-kota di wilayah ini dapat dikatakan sangat kuat sehingga menyebabkan
peranan kota-kota yang awalnya merupakan pelabuhan yang ramai menjadi surut.
Hal ini juga menandai pergantian peranan dalam pengelolaan ekonomi dan
perdagangan yang awalnya dipegang oleh penguasa lokal beralih ke penguasa
kolonial.
Beralihnya penguasa
kolonial dalam mengelola perekonomian dan perdagangan di kota-kota di pantai
barat Sumatera dapat dilihat dari tinggalan-tinggalan arkeologinya. Berdasarkan
tinggalan-tinggalan arkeologi dan didukung oleh data pustaka di Kota Bengkulu
dapat disimpulkan bahwa kota tersebut merupakan pusat perdagangan dan pusat
pemerintahan dimana penduduknya terdiri dari beragam kelompok etnis baik lokal
maupun mancanegara. Sampai saat ini beberapa daerah di Kota Bengkulu masih
memiliki toponimi yang menunjukkan keberadaan kelompok etnis tersebut seperti
Kampung Cina dan Kebun Keling.
Daftar Pustaka
Adrisijanti, Inajanti.
2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam.
Yogyakarta : Penerbit Jendela.
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Bandar Niaga
Pantai Barat Sumatera dalam Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah
Diskusi) hal. 129 - 152. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bastin, John dan
Pauline Rohatgi. 1979.
Prints of South East Asia in The India
Office Library. London :
The Majesty's Stationery Office.
Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra . Jakarta: Komunitas
Bambu.
Nas, Peter J. M. 2007. Kota-Kota Indonesia . Bunga Rampai. Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Press.
Novita, Aryandini dan Darmansyah. 2004. Perkembangan Arsitektur Kota Bengkulu Masa
Kolonial, BPA no 10. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Siddik, Haji Abdullah. 1996. Sejarah Bengkulu 1500 – 1990. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 1985
"Kota Pemukiman Masa Pertumbuhan Kerajaan-Kerajaan Pengaruh Islam di
Indonesia (Penerapan Arkeologis dan Konsep Ilmu-Ilmu Sosial) dalam Pertemuan Ilmiah Arkeolgi ke III, Ciloto,
23 - 28 Mei 1983. Jakarta :
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Utomo, Bambang Budi. 2006. ‘Kerjasama Iran
dan Indonesia
dalam Perspektif Kebudayaan’ dalam www.budpar.go.id
Wellan, J W J.
1932. Zuid Sumatra Economisch Overzich
van De gewesten Djambi,
Palembang, De Lampoengsche Districten, en Bengkoelen. Holland : H. Veenman en Zonen - Wageningen.
Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku “Bengkulu Riwayatnu Dulu, Menyingkap Tabir Masa Lalu Mengenali Jati Diri” Palembang: Balai Arkeologi Palembang, hal. 68-83 tahun 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar