Rabu, 18 April 2012

Kota Bengkulu dalam Lintas Perdagangan Maritim di Pantai Barat Sumatera


Pendahuluan

Secara geografis kawasan pantai barat Sumatera pada abad 16 M dikuasai oleh dua kesultanan yaitu Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Dapat dikatakan bahwa batas kekuasaan dua kesultanan tersebut berada di wilayah Bengkulu. Kesultanan Aceh menguasai wilayah Beng­kulu bagian utara; sedangkan Kesultanan Banten menguasai wilayah bagian selatan. Sebagai wilayah kekuasaan dari dua kesultanan besar, pada saat itu di Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yaitu Manjuta, Sungai Lemau, Sungai Serut, Sungai Hitam dan Selebar (Wellan 1932: 164). Data sejarah mencatat hasil bumi yang menjadi komoditi dagang utama wilayah Bengkulu pada abad 16 M adalah lada (Marsden 2008: 127). Keadaan ini menjadikan wilayah Bengkulu sebagai wilayah yang sangat potensial bagi pedagang-pedagang Eropa seperti Belanda (VOC) dan Inggris (EIC).

Pada tahun 1660, Belanda mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Selebar yang kemudian berlanjut dengan pendirian kantor dagang Belanda di Selebar pada tahun 1664. Namun pada tahun 1670 terjadi perselisihan antara Belanda dengan Kerajaan Selebar yang mengakibatkan Belanda meninggalkan wilayah ini.  Pada tahun 1684 ketika Belanda mendapat hak monopoli perdagangan lada di Kesultanan Banten menyebabkan Inggris mengalihan hubungan dagangnya dengan wilayah lain.

Tahun 1685, Inggris mengadakan perjan­jian dengan penguasa Selebar. Isi perjanjian tersebut adalah mem­berikan konsesi kepada Inggris berupa tanah di dekat pelabuhan Selebar untuk dibangun gudang-gudang penyimpanan dan ba­ngunan-bangunan lain yang ber­hubungan dengan kegiatan dagang mereka. Selain itu Inggris  juga men­dapat hak untuk memungut bea terhadap barang-barang yang keluar masuk serta semua hasil bumi lada yang dibawa ke pelabuhan harus dijual kepada Inggris. Sejak saat itu Inggris mulai mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Bengkulu dengan mendirikan pos-pos dagang hingga akhirnya tahun 1752 Inggris menguasai perdagangan lada di seluruh wilayah Bengkulu dengan Kota Bengkulu sebagai pusat pengumpulan lada.

Bengkulu dibawah kekuasaan Inggris berlangsung hingga tahun 1824. Pada tahun tersebut ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Belanda mengenai wilayah dan perdagangan di Hindia Timur. Perjanjian tersebut berisikan tentang serah terima daerah koloni antara Inggris dan Belanda. Bengkulu sebagai koloni Inggris ditukar dengan Malaka, koloni Belanda di semenanjung Malaya. Sejak saat itu Bengkulu menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Tinggalan-Tinggalan Arkeologi di Kota Bengkulu

Hasil penelitian arkeologi menunjukan bahwa dalam menata Kota Bengkulu, bangsa Inggris mengatur penempatan ruang kota berdasarkan pada basis perekonomiannya yaitu pelayaran dan perdagangan. Setelah pergantian kekuasan dari pihak Inggris kepada pemerintah Hindia-Belanda terlihat pemerintah Hindia-Belanda tetap meneruskan fungsi komponen-komponen kota Bengkulu seperti sebelumnya, namun demikian terlihat beberapa penambahan komponen yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu (Novita dan Darmansyah 2004: 2-6).

Secara keseluruhan tinggalan-tinggalan arkeologi kolonial yang masih dapat ditemukan adalah:

Benteng Marlborough

Secara umum Benteng Marlborough mempunyai denah yang ber­bentuk segi empat. Benteng ini mempunyai bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya berupa bangunan yang terpisah dan berde­nah segi tiga. Benteng Marlborough mem­punyai parit keliling yang mengikuti denah benteng. Parit tersebut juga memisahkan bangunan induk de­ngan bangunan depan. Kedua ba­ngunan tersebut dihubungi oleh sebuah jembatan.

Pada bangunan depan terdapat pintu masuk yang berbentuk leng­kung sempurna. Bangunan ini tidak mempunyai ruangan, hanya berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung. Pada dinding lorong tersebut terdapat 4 buah nisan, 2 buah nisan berasal dari masa Ben­teng York dan yang lainnya berasal dari masa Benteng Marlborough. Pada nisan-nisan tersebut tertera nama George Shaw - 1704; Richard Watts Esq - 1705; James Cune - 1737; Henry Stirling – 1774.

Pada bagian atas bangunan ini terdapat tembok keliling yang mem­punyai celah-celah berbentuk segi tiga yang berfungsi sebagai celah in­tai. Pada bagian belakang bangunan terdapat 3 buah makam dengan ni­san yang terbuat dari batu tetapi su­dah tidak dapat dibaca lagi.

Bastion-bastion Benteng Marl­borough terdapat di sudut utara, selatan timur, dan barat. Bastion-bastion ini berdenah segi lima, bagian atas bastion-bastion ini umumnya terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai. Lantai bagian ini terbuat dari tegel ber­glasir coklat. Pada bastion selatan masih terlihat sisa rel meriam yang berbentuk lingkaran. Pada didinding sisi utara bastion selatan dan timur menempel 8 buah cincin besi yang masing-masing berjarak 1 m.

Pada bastion-bastion ini terda­pat beberapa ruangan, yaitu pada bastion utara dan bastion barat. Ru­angan di dalam bastion utara terdiri  dari 2 kamar. langit-langit ruangan ini berbentuk lengkung dan memiliki lubang berdiameter 80 cm yang menembus sampai bagian atas bastion. Ruangan di dalam bastion barat mempunyai 2 kamar yang berfungsi sebagai penjara yang letaknya saling berhadapan. Pada salah satu penjara yang letaknya lebih rendah terdapat lorong yang langit-langitnya terda­pat lukisan binatang yang terbuat dari arang.

Di dalam Benteng Marlbo­rough juga terdapat beberapa ba­ngunan, yaitu di antara bastion utara dan timur, antara bastion selatan dan barat, dan antara bastion selatan dan timur. Bangunan antara bastion utara dan timur mempunyai denah persegi panjang dan terbagi dua yang dipisahkan oleh lorong menuju pintu belakang benteng. Bangunan di sebelah kiri terdiri dari 3 ruang; se­dangkan bangunan di sebelah kanan terdiri dari 4 ruangan. Pada umumnya jendela-jendela pada ba­ngunan ini berbentuk persegi pan­jang. Bagian atas bengunan ini ter­dapat atap yang berbentuk pelana dan pada bagian belakangnya terda­pat lorong selebar 1 m.

Bangunan diantara bastion se­latan dan barat berdenah persegi panjang dan terbagi dua yang dipisahkan oleh lorong yang menuju pintu gerbang utama. Pintu utama tersebut berbentuk lengkung dan dihiasi oleh tiang semu. Bangunan sebelah kiri terdiri dari 3 ruangan yang disekat oleh tembok. Umum­nya jendela dan pintu bangunan ini berbentuk lengkung. Pada ruangan ketiga terdapat pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dengan ruang dalam bastion barat.

Bangunan sebelah kanan terdiri dari 7 ruangan yang disekat dengan tembok. Seperti pada bangunan di sebelah kiri, jendela dan pintunya umumnya berbentuk lengkung. Pada salah satu ruangan terdapat lukisan kompas dan tulisan berbahasa Belanda yang dibuat dengan cara menggoreskannya di tembok. Bagian atas bangunan antara bastion selatan dan barat ini tidak beratap, tapi berupa lantai yang diberi tegel berglasir coklat. Pada bagian ini terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai.

Bangunan di antara bastion timur dan selatan berdenah persegi panjang dan berupa 1 ruangan yang panjang. Jendela-jendela dan pintu pada bangunan ini berbentuk leng­kung. Bagian atas bangunan tidak memiliki atap tapi berupa lantai  yang diberi tegel berglasir coklat. Sama seperti bangunan antara bas­tion selatan dan barat pada bagian atas bangunan ini terdapat tembok keliling yang memiliki celah intai. Pada bagian depan bangunan ini terdapat sebuah sumur yang berdiameter 1 m. Dinding sumur ini terbuat dari bata dengan pola ikat dinding Inggris.

Lingkungan sekitar Benteng Marlborough merupakan daerah pemukiman. Terlihat keberadaan benteng ini lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Keletakan benteng berada di ± 18 m di atas permukaan laut. Di sebelah utara benteng terdapat sebuah bukit kecil yang dikenal dengan nama Tapak Padri. Berdasarkan pengamatan pada penelitian ini dari bukit terse­but wilayah perairan Bengkulu da­pat teramati sampai P Tikus. Hal ini juga ditunjang berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of South East Asia in The India Of­fice Library,  yang menerangkan bahwa bukit ini digunakan juga oleh Inggris (EIC) untuk mengawasi perairan di sekitar Benteng Marlborough.
 
Tugu Thomas Parr

Terletak di sebelah tenggara dan berjarak 170 m dari Benteng Marlborough. Tugu ini berupa bangunan monumental untuk memperingati residen EIC yang tewas dibunuh rakyat Bengkulu. Tugu ini berdenah segi 8 dan mempunyai tiang-tiang bergaya corintian. Pintu masuk pada tugu ini terdapat di bagian depan dan sisi kanan dan kiri. Bentuk dari pintu masuk ini lengkung sempurna dan tidak mempunyai daun pintu. Pada salah satu dinding di ruang dalam tugu terdapat sebuah prasasti, tapi pada saat ini sudah tidak dapat dibaca lagi. Bagian atas tugu mempunyai atap yang berbentuk kubah.
Berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of Sotut East Asia in The India Office Library terlihat di lokasi tugu ini terdapat Gedung Pemerintahan dan Gedung Dewan EIC. Pada saat ini sisa-sisa kedua bangunan tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi karena lokasi tersebut sudah merupakan kawasan pertokoan dan pusat pemerintahan Dati I Bengkulu.

Kompleks Makam Jitra

Komplek makam ini berjarak 640 m di sebelah timur Benteng Marlborough. Komplek makam ini berada di tengah-tengah pemukiman. Pada komplek makam ini terdpat 15 buah makam dengan bentuk makam yang berupa bangun­an monumental. Pada beberapa bangunan terli­hat lebih dari 1 nisan, umumnya ter­dapat 2 sampai 4 nisan. Berdasarkan pembacaan terhadap nisan-nisan yang terdapat di komplek makam ini diketahui kronologi dari nisan-nisan tersebut berkisar antara tahun 1775 sampai 1940.

Dari pengamatan terhadap kro­nologi nisan diperkirakan komplek makam ini juga digunakan ketika Belanda menguasai Bengkulu. Hal ini terlihat dari nama dan bahasa yang terdapat pada nisan-nisan tersebut. Pada nisan-nisan yang ter­tua sampai awal abad XIX yang ter­cantum adalah nama-nama orang Inggris dan keterangan-keterangan lainnya ditulis dalam Bahasa Ing­gris; sedangkan pada nisan-nisan yang lebih muda nama-nama yang tercantum adalah nama-nama orang Belanda dan keterangan-keterangan lainnya ditulis dalam Bahasa Belanda.

Pemukiman Cina

Terletak di sebelah selatan dan berjarak 190 m dari Benteng Marl­borough. Berdasarkan data sejarah kawasan ini merupakan pemukiman Cina sejak masa kolonial Inggris. Keterangan ini mendukung ke­beradaan tinggalan-tinggalan arkeologi di kawasan tersebut yang berupa rumah tinggal yang mem­punyai arsitektur Cina.

Terhitung ada 20 buah rumah tinggal yang berarsitektur Cina di kawasan ini. Rumah-rumah tersebut umumnya memanjang ke arah be­lakang, bertingkat 2 dan mempunyai atap melengkung. Terlihat juga ru­mah-rumah tersebut memakai hiasan terawangan yang terdapat di atas jendela yang berfungsi sebagai ventilasi yang umum pada arsitektur Cina.
  
Gedung Pengadilan

Bangunan bekas gedung Pengadilan kuno ini berada di tengah kota lama, di pinggir pantai pada ketinggian 3,20 m di atas permukaan air laut. Jarak dari tepi laut kurang lebih 110 m. Letak bangunan ini dekat dengan Benteng Marlborough, kira-kira 50 m ke arah timur. Di belakang bangunan bekas gedung pengadilan ini terdapat pusat pertokoan. Di halaman depan terdapat kantor kelurahan, sedangkan di samping kanan dan kiri  merupakan satu kesatuan terdapat gedung yang sekarang dipakai sebagai gudang semen, bangunannya membentuk huruf U. Belum diketahui secara pasti tahun pendirian bangunan tersebut.


Berdasarkan laporan tentang Bengkulu oleh Van Der Vinne, seorang pejabat kolonial Belanda tahun 1843, disebutkan:
Di dekat Benteng Marlborough terdapat Kampung Cina yang dilintasi oleh jalan yang buruk karena tidak terawat. Di jalan tersebut sering dijumpai kerbau dan sapi, di sisi kanan jalan ada rumah sakit, di belakang rumah sakit ada rumah tahanan. Di sisi kiri jalan  terdapat raad huis (Balai Kota). Raad huis bertingkat dua, bagian bawah dipakai untuk kantor Ambtenar dan ruang atas untuk Sidang Pangeran (Pangheran). Di depan raad huis terdapat taman yang luas dan bagus, terdapat taman gubernuran dan tempat tinggal asisten residen.  Di tengah taman ada rumah kecil yang indah digunakan untuk Gereja dan sekolah.
Atas dasar keterangan dari Van der Vinne ini kemungkinan yang disebut dengan raad huis adalah bangunan gedung pengadilan kuno tersebut, sebab gedung Pengadilan Kuno ini juga bertingkat dua dan merupakan satu-satunya gedung pengadilan peninggalan kolonial yang ada di Kota Bengkulu.

Pada masa kolonial Belanda sekitar tahun 1930an, gedung ini dipakai untuk kantor HPB (Hoofd van Plaatschelijke Berstuur) atau pemerintahan kota, kantor demang dan Landraat (pengadilan). Sedangkan bangunan di sebelah kanan gedung disebut lout regi dipakai untuk gudang garam, gudang sebelah kiri disebut opium regi dipakai untuk gudang candu.

Kantor Pos

Gedung kantor pos terletak di sekitar arela gubernuran diapit oleh pasar baru dan tugu Thomas Parr. Gedung ini berjarak sekitar 300 m dari Benteng Marlborough. Melihat model dan gaya bangunannya diperkirakan bangunan ini dibangun pada akhir abad ke XIX dan awal bad ke XX di masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini diperkuat oleh laporan Van Der Vinne tahun 1843, yang tidak menyebutkan keberadaan bangunan ini di Bengkulu pada saat itu.

Bangunan bergaya Eropa ini tidak berkaki, dengan dinding polos. Bentuk pintu persegi panjang berbahan kayu yang tebal, bentuk jendela persegi panjang berbahan kayu dan kaca, berdaun tunggal, terdapat ventilasi. Atap bangunan berbentuk limas. Bahan pondasi adalah batu, bahan dinding batu, bata dan kayu, bahan bingkai pintu kayu. Pola bangunan geometris.

Rumah Pengasingan Bung Karno

Rumah Pengasingan Bung Karno saat ini berlokasi di jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, kecamatan Gading Cempaka. Rumah ini pada awalnya adalah rumah tinggal orang Cina yang bernama Tan Eng Cian, yang bekerja sebagai penyalur bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno menempati rumah tersebut dari tahun 1938 hingga tahun 1942. Rumah ini berjarak sekitar  1,6 km dari Benteng Malborough.

Melihat gaya bangunannya rumah ini dibangun pada abad ke XX. Denah bangunan ini adalah empat persegi panjang. Bangunan ini tidak berkaki. Dindingnya polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan bentuk persegi panjang. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada ventilasi terdapat kisi-kisi berhias. Bentuk atap limas.

Rumah Yayasan St. Carolus

Rumah Yayasan St. Carolus  berfungsi sebagai kantor yayasan katolik yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Bangunan ini berlokasi di Jalan Todak Pasar Baru, Bengkulu. Ciri-ciri dari bangunan ini antara lain bentuk pintu masuknya persegi panjang, bentuk jendela membulat, dan terdapat ventilasi udara. Pada bangunan tersebut terdapat tanda kontraktor yang membangunnya, yaitu:
ARCH.EN.INGRS.BUR:
FERMONT – CUYPERS
Tanda ini berarti bangunan tersebut dirancang dan dibangun oleh Biro arsitek Fermont & Ed. Cuypers. Biro arsitek Fermont & Ed. Cuypers berdiri pada tahun 1910. Biro arsitek yang berkantor di Weltevreden (suatu daerah di Batavia) ini menjadi biro arsitek terbesar di Hindia Belanda antara tahun 1919-1930an. Hampir semua gedung-gedung misi katolik, yang tersebar di kota-kota besar di  Hindia Belanda, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan dirancang oleh biro arsitek ini.

Masjid Jamik Bengkulu

Masjid Jamik Bengkulu berlokasi di Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka. Masjid ini berada pada ketinggian 20 m di atas permukaan laut. Berjarak 1,2 km dari Benteng Marlborough (Darmansyah 2002). Pada abad XIX bangunan masjid  berbentuk sederhana dengan bangunan berbahan kayu dan beratap rumbia. Pada awal abad ke XX masyarakat membangun masjid tersebut menjadi lebih baik dengan cara swadaya. Bagian dinding diganti dengan tembok, dan bagian atap diganti dengan seng, sekaligus memperluas masjid tersebut.

Pada tahun 1938, bangunan masjid didesain ulang oleh Bung Karno yang biaya ditanggung oleh masyarakat sendiri. Bung Karno sebagai arsitek bangunan tersebut tidak merubah secara keseluruhan, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dirubah dan ditambah. Bagian dinding masjid ditinggikan 2 meter, dan bagian lantai ditinggikan 30 cm. Bung Karno memberikan ciri khas pada bagian atap dengan membentuk atap limasan kerucut dengan memberikan celah pada pertengahan atap sebagai sentuhan arsitektur tersendiri. Pada beberapa bagian bangunan ditambah tiang dengan ukiran dan pahatan berbentuk sulur-sulur di bagian atasnya dan dicat dengan warna emas.

Makam Sentot Alibasyah

Sentot Alibasyah adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang Diponegoro (1825-1830). Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi di Sumatera Barat. Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi, akhirnya Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu. Makam Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara.  Pada masa kolonial Belanda letak makam ini berada agak di luar kota. Saat ini karena adanya perluasan kota, makam ini berada di dalam kota.

Pada makam Sentot tertulis tanggal pemakaman 17 April 1885. Makam ini berada di ketinggian 38 m diatas permukaan laut. Berjarak sekitar 1,2 km dari Benteng Marlborough. Bangunan cungkup makam Sentot Alibasyah bergaya bangunan “tabot” dan memiliki keistimewaan, yaitu di dalam cungkup tidak memperlihatkan adanya nisan kubur, sebagaimana biasanya kbur muslim di Indonesia. Cungkup ini berukuran 570 x 420 cm, dan berdenah empat persegi panjang dengan pilar-pilar pada beberapa bagian cungkup. Bagian pusat (makam ) juga berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 327 x 184 cm.

Pembahasan

Hampir di seluruh wilayah nusantara kota-kota yang tumbuh pada masa lalu berada di daerah-daerah pantai, tepi sungai atau di lembah-lembah. Keberadaan sebuah kota di kawasan-kawasan tersebut secara umum didasarkan oleh aspek-aspek politik, keamanan, ekonomi dan keagamaan. Akses transportasi laut dengan dukungan pelabuhan merupakan sarana yang paling penting pada sebuah kota yang tumbuh karena adanya aktivitas perekonomian (Adrisijanti 2000: 3-4).

Mengacu pada uraian di atas dapat dikatakan bahwa  kele­takan sebuah kota dapat dikaitkan dengan keadaan geografisnya untuk memudah­kan hubungan pelayaran dan per­dagangan antara satu kota dengan kota yang lainnya (Tjandrasasmita 1983,786). Dalam hal ini Bengkulu berdasarkan lokasinya dapat dikatakan sebagai kota pantai dan menitikberatkan kekuatan sosial ekonominya pada pelayaran dan perdagangan. Dilihat dari struktur pembentuknya dan didukung dengan data sejarah, Bengkulu terbentuk menjadi sebuah pemukiman yang dikarenakan oleh adanya aktivitas perdagangan. Kota Bengkulu tumbuh dari kegiatan awal pembentukannya yaitu sebagai kota bandar. Tumbuhnya kota tersebut dikarenakan oleh letak geografisnya yang berada di daerah pantai yang mendukung pembentukan kota sebagai pelabuhan.

Bengkulu merupakan salah satu kota yang berkembang karena adanya aktivitas perekonomian di sepanjang pantai barat Sumatera. Berdasarkan temuan arkeologi, perdagangan maritim di pantai barat Sumatera telah ada sejak sekitar abad 7 M yaitu dengan ditemukannya artefak-artefak gelas dan kaca dari Persia di Situs Barus, Sumatera Utara yang pada masa itu merupakan pelabuhan dagang dengan komoditinya berupa kapur barus, damar, kemenyan (Utomo 2006: 2).

Perairan pantai barat Sumatera kemudian menjadi salah satu jalur perdagangan yang ramai sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pada saat itu, Kesultanan Aceh yang menguasai jalur perdagangan sepanjang Selat Malaka mengalihkan wilayah perdagangannya ke pantai barat Sumatera (Poesponegoro 1993: 125-126).  Kondisi tersebut kemudian ditunjang dengan adanya rute pelayaran baru dari pelaut-pelaut Eropa yang awalnya berlayar menyusuri Teluk Parsi kemudian beralih berlayar langsung dari Tanjung Harapan menuju Samudera Hindia (Ambary 1998:135)

Menurut Hasan Muarif Ambary, keberadaan kota-kota dagang di pantai barat Sumatera  jika dilihat dari kronologi eksistensinya dapat dibagi menjadi dua fase. Fase pertama muncul pada masa Hindu-Budha hingga masa awal munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Pada fase ini pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi adalah Lamuri (abad 12 – 19 M), Barus (abad 7 – 16 M), Tiku dan Pariaman (abad 15 – 17 M). Fase kedua muncul sejalan dengan peranan pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda dalam pelayaran dan perdagangan serta hegemoni politiknya di nusantara. Kota-kota pelabuhan yang tumbuh dan berkembang pada fase ini adalah Meulaboh, Sibolga, Padang, Bengkulu dan Panjang (1998: 135). Fase-fase tersebut juga menandai kekuasaan yang berperan di kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatera ini. Pada fase awal, penguasaan ekonomi dan perdagangan berada sepenuhnya oleh penguasa lokal; sedangkan pada fase berikutnya penguasaannya telah beralih  ke penguasa kolonial yaitu Belanda atau Inggris.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologi, Kota Bengkulu menunjukkan ciri-ciri kota kolonial dimana selain sebagai pusat ekonomi kota tersebut juga berfungsi sebagai pusat administrasi (Nas 2007: 209). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa ketika Inggris berhasil menguasai perdagangan lada di seluruh wilayah Bengkulu, Kota Bengkulu  dijadikan tempat pengumpulan lada dimana penguasa kolonial Inggris mengatur prosedur perdagangan lada antara lain jumlah produksi, harga hingga peraturan penanaman lada hingga tidak terjadi produksi yang berlebih (Marsden 2008: 127- 138). Sebagai pusat administrasi, di Kota Bengkulu juga didirikan gedung pemerintahan dan gedung Dewan EIC. Berdasarkan lukisan Joseph C Stadler, diketahui kedua gedung tersebut terletak di sebelah tenggara Benteng Marlborough (Bastin 1979). Keadaan ini berlanjut hingga Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dimana selain rumah asisten residen didirikan juga bangunan pengadilan dan bangunan lain yang berfungsi sebagai fasilitas pemenuhan kebutuhan kota dan penduduknya.

Selain sebagai pusat ekonomi dan administrasi, ciri lain yang menunjukkan Kota Bengkulu sebagai kota kolonial yaitu adanya kelompok-kelompok penduduk yang didasarkan oleh latar belakang etnisnya. Data sejarah menyebutkan pada tahun 1766, penduduk Kota Bengkulu terdiri dari kelompok etnis Eropa, Cina, Benggali, Jawa, Bugis dan Melayu (Siddik 1996: 55). Pada awal abad 19 M diberitakan kelompok etnis eropa umumnya bermatapencaharian sebagai pedagang, pegawai sipil dan militer; kelompok etnis Cina bermatapencaharian sebagai pedagang, kelompok etnis Benggali bermatapencaharian di bidang pertukangan, tukang jahit dan tukang cuci. Selain ketiga kelompok-kelompok etnis tersebut diberitakan terdapat juga kelompok orang-orang yang bekerja sebagai budak yang didatangkan dari Madagaskar (Siddik 1996: 80).

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan laporan Nahuijs pada tahun 1828 penduduk Kota Bengkulu dilaporkan berjumlah 12.000 jiwa yang terdiri dari kelompok etnis Eropa, India, Arab, Cina, pribumi dan kelompok-kelompok etnis lain di nusantara seperti Bugis dan Madura. Pada tahun 1845, van der Vinne melaporkan bahwa jumlah penduduk Kota Bengkulu berkurang menjadi 10.000 jiwa, terdiri dari 5.392 pribumi, yang terdiri dari orang Bengkulu dan kelompok etnis lain di nusantara seperti Bugis dan Madura; 4.616 orang asing yang terdiri dari kelompok etnis Eropa, India dan Arab; dan 544 jiwa kelompok etnis Cina (Novita dan Darmansyah 2004: 20). Dalam laporan tersebut tidak disebutkan penyebab dari berkurangnya jumlah penduduk di Kota Bengkulu.

Penutup

Keberadaan Bengkulu sebagai salah satu kota dagang di pantai barat Sumatera pada dasarnya ditunjang oleh sumber daya alam berupa lada. Pengaruh kekuasaan kolonial dalam perkembangan kota-kota di wilayah ini dapat dikatakan sangat kuat sehingga menyebabkan peranan kota-kota yang awalnya merupakan pelabuhan yang ramai menjadi surut. Hal ini juga menandai pergantian peranan dalam pengelolaan ekonomi dan perdagangan yang awalnya dipegang oleh penguasa lokal beralih ke penguasa kolonial.

Beralihnya penguasa kolonial dalam mengelola perekonomian dan perdagangan di kota-kota di pantai barat Sumatera dapat dilihat dari tinggalan-tinggalan arkeologinya. Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologi dan didukung oleh data pustaka di Kota Bengkulu dapat disimpulkan bahwa kota tersebut merupakan pusat perdagangan dan pusat pemerintahan dimana penduduknya terdiri dari beragam kelompok etnis baik lokal maupun mancanegara. Sampai saat ini beberapa daerah di Kota Bengkulu masih memiliki toponimi yang menunjukkan keberadaan kelompok etnis tersebut seperti Kampung Cina dan Kebun Keling.

Daftar Pustaka
Adrisijanti, Inajanti. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Bandar Niaga Pantai Barat Sumatera dalam Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi) hal. 129 - 152. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bastin, John dan Pauline Rohat­gi. 1979. Prints of South East Asia in The India Office Li­brary. London: The Majesty's Stationery Office.
Marsden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
Nas, Peter J. M. 2007. Kota-Kota Indonesia. Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Novita, Aryandini dan Darmansyah. 2004. Perkembangan Arsitektur Kota Bengkulu Masa Kolonial, BPA no 10. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Siddik, Haji Abdullah. 1996. Sejarah Bengkulu 1500 – 1990. Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 1985 "Kota Pemukiman Masa Pertumbuhan Kerajaan-Kerajaan Pengaruh Islam di Indonesia (Penerapan Arkeologis dan Konsep Ilmu-Ilmu Sosial) dalam Pertemuan Ilmiah Arkeolgi ke III, Ciloto, 23 - 28 Mei 1983. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Utomo, Bambang Budi. 2006. ‘Kerjasama Iran dan Indonesia dalam Perspektif Kebudayaan’ dalam www.budpar.go.id
Wellan, J W J. 1932. Zuid Sumatra Economisch Overzich van De gewesten Djambi, Palembang, De Lampoengsche Districten, en Bengkoelen. Holland: H. Veenman en Zonen - Wa­geningen.


Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku “Bengkulu Riwayatnu Dulu, Menyingkap Tabir Masa Lalu Mengenali Jati Diri” Palembang: Balai Arkeologi Palembang, hal. 68-83 tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar