Jumat, 19 Maret 2010

Sembarangan Angkat "Harta Karun" Bawah Laut. Musnahkan Data Sejarah Budaya Bangsa*)

I

Wilayah laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah. Hal ini didasari atas luas, kedudukan, tatanan dan karakteristik fisik dari wilayah kelautan Indonesia. Selain sumberdaya alam tersebut, terdapat pula hasil budaya materi asal muatan kapal yang tenggelam sebelum abad XX atau yang lebih umum lagi dikenal dengan "harta karun" sebagai salah satu potensi kelautan yang belum dioptimalkan pemanfaatannya.

Inventarisasi yang dilakukan oleh Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (sekarang Departemen Kelautan dan Perikanan) terdata potensi kekayaan laut Indonesia yang berkaitan dengan benda berharga asal muatan kapal kuno yang tenggelam sebelum Perang Dunia II sekurangnya terdapat di 463 lokasi. Diketahui kapal-kapal tersebut tenggelam antara tahun 1508 sampai dengan tahun 1878. Umumnya kapal yang tenggelam adalah kapal dagang VOC; sedang selebihnya kapal Portugis, Amerika, Perancis, Jerman dan Belgia tetapi tidak tertutup kemungkinan jika kapal tersebut juga kapal-kapal dari Asia (Soesilo 2000).

Keberadaan kapal-kapal tersebut tersebar di kawasan perairan Sabang, Selat Malaka, Laut Jawa, Perairan Riau, Perairan Bangka-Belitung, Selat Karimata, Laut Flores, Perairan Halmahera dan Maluku. Benda-benda yang terdapat di dalam kapal tenggelam tersebut biasanya diistilahkan oleh masyarakat sebagai "harta karun" atau "benda berharga".

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua pengertian 'harta karun' yaitu harta benda yang tidak diketahui pemiliknya dan harta benda yang didapat dengan tidak sah (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1996: 342). Terlepas dari pengertian tersebut dalam perspektif arkeologi, tidak dikenal istilah "harta karun" maupun "benda berharga". Mengacu pada UU Cagar Budaya tahun 1992 maka benda-benda yang terdapat di kapal tenggelam tersebut dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Namun demikian, sebenarnya tidak hanya benda-benda yang terdapat di dalam kapal tenggelam itu saja yang dikategorikan sebagai BCB tetapi kapal yang tenggelam itu juga termasuk dalam kategori BCB.

II

Dewasa ini BCB telah menjadi berbagai macam simbol seperti kekayaan, kebesaran, martabat bahkan prestise seseorang sehingga menjadi komoditi dagang yang tinggi nilainya. Hal inilah yang selalu membuat BCB selalu diburu orang seperti yang sedang marak di tahun-tahun terakhir ini adalah BCB dari kapal tenggelam yang umumnya berupa keramik.

BCB yang berasal dari kapal tenggelam sebenarnya tidak hanya berupa barang-barang komoditi dagang masa lalu, tetapi dapat juga berupa wadah penyimpanan komoditi dagang atau wadah penyimpanan logistik selama pelayaran. Selain itu BCB tersebut dapat juga berupa milik pribadi awak kapal. BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman, pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu BCB juga memiliki nilai ekonomis. Tinggi rendahnya nilai ekonomis suatu BCB sangat relatif antara lain dipengaruhi oleh kondisi dan jumlahnya. Semakin langka BCB tersebut maka semakin tinggi nilai ekonomisnya. Di sisi lain 'cerita' yang ada dibalik BCB juga mempengaruhi nilai ekonomisnya. Dalam hal ini disinilah peranan arkeologi dibutuhkan.

Ditinjau dari sudut pandang akademis, BCB bawah air mempunyai nilai informatif yang merupakan data penting untuk mengetahui gambaran kehidupan masyarakat masa lalu terutama masyarakat pendukung kebudayaan maritim. Selain itu BCB tersebut juga dapat digunakan sebagai data untuk membuktikan adanya interaksi antara kerajaan-kerajaan di nusantara dengan mancanegara.

Arkeologi bawah air di Indonesia secara instansional baru dimulai pada akhir dekade tujuhpuluhan, terhitung sejak diikutsertakannya arkeolog Indonesia untuk mengikuti program Arkeologi Bawah Air yang diadakan SPAFA di Thailand. Kegiatan penelitian arkeologi bawah air sendiri pertama kali dilakukan pada tahun 1981, yaitu di perairan Tuban dan Lamongan, Jawa Timur. Kemudian penelitian tersebut dilanjutkan pada tahun 1983 dan 1986 yang dipusatkan di Situs Bom Tuban dan Karangbeling, Jawa Timur (Warta Arkeologi 1991: 10).

Setelah itu kegiatan arkeologi bawah air di Indonesia mengalami 'masa kekosongan' dan 'kurang populer' di kalangan arkeolog sendiri. Keadaan ini disebabkan masih kurangnya tenaga peneliti dan tenaga teknis yang menguasai ketrampilan menyelam yang merupakan syarat pokok dalam kegiatan ini. Selain itu masalah 'klasik' yang menjadi kendala adalah pengadaan peralatan dan operasional arkeologi bawah air membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Pada tahun 1996 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala kemudian mengembangkan kembali program arkeologi bawah air (Gunawan 1999: 30). Namun sesuai dengan tugas dan fungsi dari instansi tersebut kegiatan ini cenderung diarahkan pada aspek pelestarian dan pemanfaatan BCB dari situs bawah air. Sedangkan kegiatan penelitian, yang merupakan tugas dari Pusat Penelitian Arkeologi, sampai saat ini terlihat belum ada upaya untuk dikembangkan lagi.

Arkeolog bertugas menafsirkan pikiran-pikiran manusia, teknologi, dan perilaku manusia yang diwujudkan melalui BCB bawah air. Dalam mengungkapkan 'cerita' ini, arkeolog sangat tergantung pada konteks di mana BCB ditemukan. Tanpa diketahui konteksnya sulit bagi arkeolog dalam mengungkapkannya. Dengan demikian dalam suatu kegiatan pengangkatan BCB bawah air selayaknya didahului oleh kegiatan penelitian. Dalam penelitian ini , kegiatan yang dilakukan adalah pengukuran keletakan BCB dalam koordinat tertentu, penggambaran serta memetakannya di dalam konteks. Selain itu juga harus dilakukan pencatatan mengenai bentuk, ukuran dan jenis kapal serta teknologi pembuatannya sehingga dapat diketahui asal kapal, besaran dan umur kapal tersebut.

III

Sudah menjadi rahasia umum bahwa BCB bawah air memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, karena itu BCB tersebut selalu diburu. Berkaitan dengan hal tersebut banyak berdiri perusahan yang bergerak di bidang pengangkatan BCB dari kapal tenggelam. Namun sangat disayangkan kegiatannya tidak dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah arkeologi bahkan cenderung mengarah kepada pengrusakan kelestarian BCB, artefak-artefak yang diambil umumnya hanya yang utuh sedangkan yang rusak, baik yang terjadi pada masa lalu atau pada saat proses pengangkatan dibiarkan begitu saja. Selain itu kegiatan pengangkatan tersebut juga tidak diikuti dengan proses perekaman, sehingga BCB tersebut tidak diketahui dengan pasti bagaimana keletakannya dan hubungannya dengan BCB lain. Kenyataan inilah yang sebenarnya membuat nilai informasi dari BCB tersebut menjadi semakin berkurang. Gambaran tentang kehidupan masa lalu tidak akan pernah diketahui selama kegiatan pengangkatan BCB bawah air dilakukan dengan cara yang sudah-sudah, padahal 'cerita' dibalik BCB tersebut juga merupakan sesuatu yang sangat penting.

Disamping melakukan kegiatan pengangkatan yang tidak sesuai dengan kaidah arkeologi, mereka juga terkadang tidak melaporkan hasil pengangkatannya melainkan langsung diekspor ke luar negeri. Keadaan ini kemudian diperparah lagi dengan adanya sekelompok orang yang melakukan pengangkatan BCB bawah air secara ilegal. Seperti yang terjadi di perairan Bangka-Belitung karena ingin meminimalisasikan biaya operasional, maka perusahaan-perusahan pengangkatan mengiming-imingi kompensasi yang sangat besar pada nelayan-nelayan tradisional jika menemukan lokasi keletakan kapal tenggelam serta memberdayakan para penyelam alam untuk mengangkat BCB bawah air. Terkadang juga para nelayan dan penyelam alam tersebut mengangkat BCB bawah air itu sendiri untuk kemudian dijual kepada penadah barang antik.

Mengantisipasi hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no 107 tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam yang merupakan revisi dari Keppres sebelumnya yang telah dikeluarkan pada tahun 1989[1]. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut maka setiap kegitan pengangkatan dan pemanfaatan BCB bawah air berada di bawah pemantauan dan pengawasan panitia nasional tersebut.

Disamping proses pengangkatan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah arkeologi, proses penanganan dan penyimpanan BCB bawah air terkadang juga tidak dilakukan sebenar-benarnya. Seringkali BCB bawah air tidak mendapat penanganan desalinasi sehingga mudah hancur, demikian juga sistem penyimpanannya yang terkesan sembarangan sehingga mengakibatkan BCB tersebut menjadi pecah (Rochmani 2000).

Pada dasarnya keadaan ini diakibatkan oleh keinginan untuk meraup keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Hal ini juga berdampak pada pemanfaatan BCB bawah laut menjadi sembarangan. Situs-situs bawah air dieksploitasi sedemikian rupa tanpa memperhatikan kelestariannya sehingga nilai ideologis dan akademiknya menjadi hilang. BCB bawah air tersebut hanya dinilai dari sudut pandang ekonomi semata.

Sebenarnya pemanfaatan BCB bawah air untuk kegiatan ekonomi semata-mata tidak hanya sekedar dapat dijadikan komoditi dagang belaka tetapi dapat dimanfaatkan juga sebagai obyek wisata bawah air. Sisa-sisa kapal yang tenggelam seharusnya tidak dihancurkan begitu saja demi mengambil tinggalan-tinggalan di dalamnya, karena sisa-sisa kapal tersebut juga merupakan obyek yang tak kalah menarik selain terumbu karang dan obyek-obyek bawah air lainnya dalam kegiatan menyelam.

IV

Banyak hal yang dapat diceritakan dari hasil penafsiran terhadap BCB yang berasal dari kapal tenggelam. Tidak hanya mengenai BCB-nya itu sendiri tetapi dengan pengkajian yang lebih mendalam dapat diketahui pula kegiatan perdagangan pada masa lalu. Selain itu juga dapat diungkapkan tentang hubungan kebudayaan atau hubungan politik pada masa lalu yang terjadi antara kerajaan-kerajaan di nusantara dengan mancanegara. Karena itu dalam kegiatan pengangkatan BCB dari kapal tenggelam harus diawalii dengan kegiatan penelitian.

Pengangkatan BCB ke permukaan juga harus dilakukan dengan seksama karena tidak jarang akibat pengangkatan yang sembarangan menyebabkan BCB tersebut rusak. Karena itu jika pengangkatannya dilakukan sesuai prosedur arkeologi, maka kelestarian BCB - yang tergolong dalam sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui - dapat terjaga. Dengan demikian dapat dimanfaatkan secara optimal.

Selama ini pemanfaatan BCB dari kapal yang tenggelam terasa berat sebelah. Hal ini disebabkan adanya keinginan mengeruk keuntungan besar yang akan didapat baik oleh perusahaan pengangkatan atau perseorangan sehingga proses pengangkatannya cenderung mengarah ke pengrusakan. Pemanfaatan tersebut seharusnya dilaksanakan secara berimbang baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun sektor perekonomian.

Di sektor perekonomian, pemanfaatannya juga bukan hanya dapat dijadikan komoditi dagang saja tetapi dapat juga dijadikan obyek wisata bawah air. Dengan memanfaatkan BCB tersebut sebagai obyek wisata bawah air, maka tidak hanya uang saja yang bisa kita dapatkan tetapi kita juga bisa menikmati bagian dari lembaran sejarah budaya bangsa.

Daftar Pustaka

Gunawan, 1999, "Arkeologi Bawah Air atau Arkeologi Bahari" Buletin Cagar Budaya vol 1 no 1 Maret 1999 hal. 30 - 32.

Koestoro, Lucas Pertanda, 2000, "Teknik Survei dan Ekskavasi Dalam Arkeologi Bawah Air" Berkala Arkeologi Sangkhakala nomor 07 Juli 2000 hal. 24 - 45.

Mundardjito, 1996, "Benda Cagar Budaya: Pengertian dan Nilai" Buletin Arkeologi Amoghapasa, 5/11/Maret 1996 hal. 3 - 9.

Mundardjito, 2000, "Temuan Harta Karun Bawah Air Dalam Perspektif Arkeologi" makalah Diskusi Panel Harta Karun Bawah Air - Tantangan Bagi Arkeologi (tidak diterbitkan).

nn, 1991, "Arkeologi Maritim Selalu Terbentu Hukum Laut" Warta Arkeologi no 3 Pebruari 1991 hal. 9 - 11.

nn, 2000, Keputusan Presiden nomor 107 tahun 2000 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam.

Novita, Aryandini, 2002, Laporan Peninjauan Benda Cagar Budaya di Kabupaten Belitung Provinsi Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).

Rochmani, Koos Siti, 2000, "Harta Karun Dan Kriminalitas Arkeologi" Pameran Temuan Harta Karun Bawah Air Dalam Sejarah Perdagangan Maritim Indonesia.

Soesilo, Indroyono, 2000, " Harta Karun Bawah Air Sebagai Potensi Kelautan" makalah Diskusi Panel Harta Karun Bawah Air - Tantangan Bagi Arkeologi (tidak diterbitkan).

Supardi, Nunus, 2000, "Aspek Pelestarian Temuan Harta karun Bawah Air" makalah Diskusi Panel Harta Karun Bawah Air - Tantangan Bagi Arkeologi (tidak diterbitkan).

Sutjipto, Achmad, 2000, "Pengamanan Terhadap Temuan Harta Karun Bawah Air" makalah Diskusi Panel Harta Karun Bawah Air - Tantangan Bagi Arkeologi (tidak diterbitkan).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Widianto, Harry dan Lucas Pertanda Koestoro, 1984, "Masa Depan Arkeologi Bawah Air di Indonesia" Berkala Arkeologi tahun V no 1 Maret 1984 hal. 25 - 38.

Widianto, Harry dan Soeroso Mp, 2000, "Penyelaman Harta Karun Bawah Air" makalah Diskusi Panel Harta Karun Bawah Air - Tantangan Bagi Arkeologi (tidak diterbitkan).



[1] Menurut penulis Keppres ini selayaknya ditinjau kembali antara lain karena pada saat dibuat, instansi yang berwenang yang pada saat itu masih bernama Direktorat Jenderal Kebudayaan masih berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional sedangkan saat ini berada di bawah Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata.


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Naditira Widya Nomor 13, Oktober 2003

Situs Ulak Lebar, Kabupaten Musirawas. Tinggalan Megalitik Pada Masa Awal Perkembangan Agama Islam*)

Kabupaten Musirawas memiliki peran yang cukup berarti dalam perjalanan sejarah Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Selatan. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam wilayah ini sempat dijadikan pusat kekuatan angkatan perang oleh Sultan Mahmud Badaruddin II ketika menghadapi armada Inggris.

Dari data arkeologi yang terdapat di wilayah ini, diketahui bahwa pemukiman kuno di Musirawas diperkirakan telah ada sejak masa prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya alat-alat paleolitik berupa alat serut berpunggung tinggi tipe tapal kuda serta kapak genggam yang dibuat dengan teknik bifasial. Tinggalan arkeologi dari masa prasejarah ini ditemukan di Situs Lesungbatu.

Pada masa kemudian, ketika pengaruh agama Hindu-Buddha berkembang, sisa-sisa pemukiman kuno dari masa tersebut ditemukan di Situs Bukitcandi yang berupa reruntuhan bangunan candi dan yoni serta di Situs Binginjungut dan Situs Tingkip di mana ditemukan beberapa arca Buddha. Dalam perkembangan selanjutnya meskipun pengaruh agama Hindu-Buddha maupun agama Islam telah masuk ke wilayah Musirawas, tradisi kehidupan dari masa prasejarah ternyata masih terus berlanjut seperti yang dapat dilihat di Situs Ulaklebar.

Situs Ulaklebar terletak tidak jauh dari pusat kota Lubuklinggau, yaitu hanya 2,5 km ke arah barat dari ibukota Kabupaten Musirawas tersebut. Di situs yang berada di kaki Bukit Sulap ini terdapat sebuah benteng tanah yang letaknya di antara Sungai Kelingi dan Sungai Ketue. Benteng ini berupa gundukan tanah yang membentang di sisi barat dan timurnya, sedangkan pada sisi utara dan selatannya berbatasan langsung dengan Sungai Kelingi dan Ketue yang bertebing curam. Gundukan tanah yang merupakan dinding benteng mempunyai tinggi ± 2 m dan lebar ± 4 m. Benteng Ulaklebar ini berdenah agak membulat dengan pintu masuk terdapat di sisi timur.

Tempat para tokoh dimakamkan

Di dalam benteng Ulaklebar terdapat sebuah makam dan 3 buah kompleks makam yang terdapat di sekitar benteng. Tokoh-tokoh yang dimakamkan di situs tersebut dikenal penduduk setempat sebagai Raden Kuning, Depati Bodo dan Depati Jokuto. Satu kompleks makam lagi tidak diketahui siapa tokoh yang dimakamkan, oleh penduduk setempat kompleks makam tersebut dinamakan Kompleks Makam Batu Bertunas. Keunikan yang terlihat di makam-makam di Situs Ulaklebar ini adalah nisan-nisan pada makam-makam tersebut berbentuk seperti menhir.

Makam Depati Jokuto berada di dalam Benteng Ulaklebar, ia adalah Depati Negeri Ulaklebar yang memerintah di wilayah tersebut pada tahun 1824. Sebenarnya ia merupakan depati sementara karena menggantikan kakaknya, Depati Lang Gandus, yang pada saat itu dimintai bantuan oleh Sultan Palembang untuk ikut berperang melawan Belanda. Kompleks Makam Batu Bertunas terletak di sebelah timur bagian luar benteng. Di kompleks makam ini terdapat paling tidak 45 buah makam, namun seperti yang telah diuraikan sebelumnya tokoh yang dimakamkan di kompleks tersebut tidak diketahui.

Jika makam Depati Jokuto dan Kompleks Makam Batu Bertunas terletak di lahan yang sama dengan Benteng Ulaklebar, maka Kompeleks makam Raden Kuning dan Depati Bodo terletak di seberang Sungai Keling yang berada di sebelah selatan benteng. Di Kompleks Makam Raden Kuning terdapat 4 buah makam, sedangkan di Kompleks Makam Depati Bodo yang berada di sebelah barat lautnya terdapat 5 buah makam.

Berdasarkan catatan sejarah, Depati Bodo adalah depati pertama negeri Ulaklebar yang memerintah sekitar tahun 1789. Ia berasal dari Palembang dan pernah menjabat sebagai hulubalang pada Kesultanan Palembang Darussalam. Berbeda dengan Depati Bodo, tokoh yang bernama Raden Kuning ini tidak diketahui jabatan dan kedudukannya, tetapi jika dilihat dari keletakan makamnya yang berada di dekat tokoh Negeri Ulaklebar kemungkinan ia juga merupakan seorang yang cukup penting di negeri ini.

Tradisi dari masa prasejarah

Dalam perkembangannya, sebuah pemukiman yang dilengkapi oleh benteng tanah diperkirakan telah ada sejak masa prasejarah tepatnya pada saat dikenalnya kegiatan bercocoktanam. Pada masa itu pemukimannya sudah mulai menetap sehingga diperlukan sebuah bangunan yang berfungsi untuk melindungi pemukiman tersebut dari ancaman-ancaman binatang buas maupun antar kelompok pemukiman yaitu benteng yang berupa gundukan tanah.

Pada masa itu juga berkembang sebuah tradisi ysng dikenal dengan istilah ‘tradisi megalitik’. Tradisi ini mengacu pada pendirian bangunan dari batu besar yang berkaitan dengan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman.

Tradisi megalitik diwujudkan dalam bentuk antara lain bangunan punden berundak, dolmen, sarkofagus, dan menhir. Bangunan-bangunan dari tradisi megalitik ini umumnya berfungsi sebagai kuburan atau tempat pemujaan terhadap roh leluhur. Salah satu tinggalan arkeologi dari tradisi megalitik yang berfungsi sebagai tempat pemujaan tersebut adalah menhir. Menhir ialah batu tegak, yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Menhir dianggap sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang dihormati.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tradisi dari masa prasejarah ini ternyata terus dipakai oleh masyarakat Musirawas meskipun pengaruh agama baik Hindu-Buddha maupun Islam telah masuk di wilayah ini. Memang setelah agama Islam masuk di wilayah ini, benda-benda dari tradisi megalitik masih digunakan tetapi fungsinya sudah beralih. Jika pada awalnya menhir dianggap sebagai media penghormatan, maka pada masa perkembangan Agama Islam menhir tersebut digunakan sebagai nisan. Jadi meskipun keberadaannya tetap berkaitan dengan penghormatan terhadap orang yang telah mati tetapi pada masa itu menhir sudah tidak dipuja lagi melainkan hanya digunakan sebagai tanda sebuah makam seperti halnya pada makam-makam di Situs Ulaklebar.

*) Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post, tanggal 3 Juni 2001

Kamis, 18 Maret 2010

Sistem Pertahanan Benteng Kuto Besak Palembang*)

I

Dalam Ensiklopedia Indonesia terminologi benteng adalah lokasi militer atau bangunan yang didirikan secara khusus, diperkuat dan tertutup yang dipergunakan untuk melindungi sebuah instalasi, daerah atau sepasukan tentara dari serangan musuh atau untuk menguasai suatu daerah (1950: 198). Dalam kehidupan sehari-hari benteng terkadang diasosiasikan dengan kegiatan pertahanan militer.


Berdasarkan data arkeologi, masyarakat Indonesia telah mengenal benteng sejak masa prasejarah. Pengetahuan tentang pertahanan diri ini mengikuti perkembangan pola kehidupan masyarakat masa itu dari kehidupan berpindah ke kehidupan menetap. Tujuan didirikannya benteng tersebut merupakan upaya melindungi diri dari serangan musuh atau binatang buas.


Seperti pada umumnya masyarakat Indonesia, masyarakat Sumatera Selatan juga diperkirakan telah mengenal benteng sejak masa prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya benteng-benteng tanah di beberapa wilayah di daerah tersebut. Dari temuan-temuan arkeologi yang terdapat di sekitar benteng menunjukkan bahwa sampai masa selanjutnya benteng-benteng tanah itu masih digunakan oleh masyarakat pendukung budaya setempat.


II

Salah satu tinggalan arkeologi yang berupa benteng yang sangat monumental di Sumatera Selatan adalah Benteng Kuto Besak. Secara administratif Benteng Kuto Besak terletak di Kel 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang. Benteng yang didirikan tahun 1780 ini merupakan tempat tinggal Sultan Palembang Darusallam.


Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta mengahdap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.


Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya. Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan ini ditentang oleh Sultan Palembang sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin. Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Utomo dan Hanafiah 1993: B3-1 – B3-12; Hanafiah 1989).


Benteng Kuto Besak didirikan masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804) atas prakarsa Sultan Mahmud Badaruddin I. Pembangunan benteng tersebut memakan waktu selamat 17 tahun dan dipercayakan pada orang-orang Cina. Secara resmi Benteng Kuto Besak dipakai sebagai tempat kediaman sultan dan keluarganya pada tanggal 21 Februari 1792 (Utomo dan Hanafiah 1993: B3-1 – B3-12; Hanafiah 1989).


Sebagai bangunan yang juga berfungsi sebagai bangunan pertahanan, Benteng Kuto Besak dikelilingi oleh sungai-sungai, yaitu Sungai Musi di sebelah selatan, Sungai Kapuran di sebelah utara, Sungai Tengkuruk di sebelah timur dan Sungai Sekanak di sebelah barat. Saat ini yang masih dapat dilihat tinggal Sungai Musi dan Sungai Sekanak saja, sedangkan Sungai Tengkuruk dan Kapuran sudah tidak dapat dijumpai lagi.


III

Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Muhammad Bahauddin telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendiirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.


Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda di masing-masing sisi benteng, begitu juga dengan tingginya. Selain tiu pada salah satu bastion juga mempunyai bentuk yang berbeda, yaitu segilima.


jika diamati secara menyeluruh dinding tembok sisi tenggara mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal daripada bagian atasnya sehingga terlihat semakin ke atas semakin mengecil. Tebal dinding bagian bawah adalah 2,45 m; tinggi bagian luar 5,7 m serta bagian dalam 6,8 m sehingga tampak dari luar membentuk bidang miring yang cukup curam. Bagian luar dinding sisi tenggara ini dihias oleh hiasan profil, selain tiu dilengkapi jug oleh celah intai yang berbentuk persegipanjang dengan bagian atasnya berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut berbentuk mengecil di bagian tengahnya.


Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinidng tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai oleh profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi oleh celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.


Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu 2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.


Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.


IV

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya terlihat Sultan Muhammad Bahauddin telah memperhitungkan sedemikian rupa ketika mendirikan Benteng Kuto Besak. Lokasi benteng yang dikelilingi oleh sungai-sungai membuat keberadaan benteng seperti berada di tengah pulau sehingga cukup aman. Melihat bentuk dan tinggi dinding serta bentuk bastion yang berbeda-beda dapat dianggap didirikan demikian karena faktor pertahanan dan keamanan.


Dinding timur laut yang paling tinggi yaitu 13,04 m dapat diasumsikan karena wilayah yang dianggap paling rawan adalah sisi timur laut benteng. Secara geografis bagian timur laut Benteng Kuto Besak merupakan arah menuju muara sungai Musi. Data sejarah menunjukan bahwa serangan-serangan bersenjata yang terjadi terhadap Kesultanan Palembang adalah berasal dari pihak luar, seperti Banten[1], Belanda dan Inggris. Sampai saat ini memang tidak ditemukan data-data lain yng menunjukan adanya penyerangan terhadap pusat pemerintahan Kesultanan Palembang tersebut yang berasal dari wilayah pedalaman. Berdasarkan hal ini dapat diartikan juga bahwa Kesultanan Palembang memiliki pengaruh politik yang cukup kuat terhadap daerah-daerah pedalamannya.


Keberadaan Benteng Kuto Besak yang menghadap langsung ke sungai Musi membuat dinding di bagian tenggara juga dibangun lebih tinggi dari dinding barat laut dan barat daya. Selain sebagai pengamanan terhadap bagian depan benteng yang merupakan pintu masuk utama keraton, pendirian dinding setinggi 6,8 m tersebut juga untuk mengantisipasi adanya penyerangan dari melalui sungai Musi yang merupakan media yang potensial bagi armada musuh. Sistem pertahanan baik di sisi tenggara dan timur laut ini kemudian dilengkapi dengan dibuatnya celah intai di kedua dinding tersebut.


Meskipun telah memiliki pengaruh politik yang cukup kuat terhadap daerah pedalaman, Sultan Muhammad Bahauddin tidak begitu saja mengabaikan faktor keamanan di bagian benteng yang berhadapan dengan wilayah tersebut, yaitu bagian barat daya dan barat laut. Pendirian dinding di kedua sisi yang hanya 2,5 m dan 2,25 m saja menunjukan bahwa wilayah di bagian ini tidak terlalu rawan tetapi untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan cukup dengan mendirikan bastion yang berbentuk segi lima dan relatif berukuran lebih besar dari bastion-bastion lainnya.


Daftar Pustaka

Cortesao, Armando. 1944. The Suma Orienta of Tome Pires. An Account of The East from The Red Sea to Japan, Writen in Malacca and India 1512-1515. London: Hakluyt Society.

Hanafiah, Djohan. 1989. Benteng Kuto Besak Upaya Kesultanan Palembang Menegakan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.

-----------------------. 1989. Palembang Zaman Bari Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang.

----------------------. 1995. “Kesultanan Palembang Darusalam dalam Perspektif Sumatera Selatan” makalah Seminar Sejarah Program Studi Sejarah FKIP UNSRI (tidak diterbitkan).

Marsden, William. 1975. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Mujib. 2001. “Data Arkeologi tentang Kesultanan Palembang”, Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Zulkifli dan Abdul Karim Nasution (ed.) hal. 25 – 67.

Novita, Aryandini dan Darmansyah, Armadi. 2001. Laporan Penelitian Arkeologi di Benteng Kuto Besak Palembang (tidak diterbitkan).

nn. 1950. Ensiklopedia Indonesia

nn. 1984. Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II. Palembang: Pemerintah Daerah Tk I Provinsi Sumatera Selatan.

Rahim, Husni. 1989. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos.

Salaman, Aly. 1986. “Sejarah Kesultanan Palembang”, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. KHO Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono (ed.) hal 123 – 165.

Soetadji, Nanang S. 2000. Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad 19. Jakarta: Millenium Publisher.

Utomo, Bambang Budi dan Djohan Hanafiah. 1993. “Palembang Masa Pasca-Sriwijaya” , Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah hal. B3-1 – B3-12.

Wolders, M O. 1975. Het Sultanaat Palembang 1811 – 1825. ‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.



[1] Kesultanan Banten menyerang Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1596, ketika keraton masih berada di Kuto Gawang (Hanafiah 1989:3; Aly 1986: 123 – 165).


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Tammadun No /Vol III/Januari 2003