Sabtu, 27 Februari 2010

HIASAN PADA MASJID-MASJID KUNO DI WILAYAH KERINCI *)


Pendahuluan

Wilayah Kerinci secara administratif merupakan salah satu kabupaten dari Provinsi Jambi. Wilayah ini terdiri dari enam wilayah kecamatan, yaitu Gunung Kerinci, Air Hangat, Sungai Penuh, Sitinjau Laut, Danau Kerinci; serta lima kecamatan perwakilan, yaitu Kecamatan Perwakilan Kayu Aro, Rawang, Sei Tutung, Batang Merangin dan Keliling Danau.

Batas wilayah Kabupaten Kerinci pada sebelah utara adalah Daerah tingkat II Solok, Provinsi Sumatera Barat; sebelah barat adalah Daerah Tingkat II Mukomuko, Provinsi Bengkulu; sebelah timur adalah Daerah Tingkat II Bungo Tebo, Provinsi Jambi; dan sebelah selatan adalah Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko Provinsi Jambi.

Di wilayah Kerinci banyak ditemui tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa prasejarah sampai masa Islam. Beberapa tinggalan arkeologi tersebut menunjukkan adanya kesinambungan budaya seperti penggunaan kembali batu-batu menhir untuk dijadikan nisan. Salah satu tinggalan arkeologi dari masa Islam yang dapat ditemui di wilayah ini adalah Masjid. Dari survei arkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 1996, terhitung ada delapan buah masjid kuno yang tersebar di wilayah Kerinci. Berdasarkan persebarannya terlihat masjid-masjid tersebut terbagi menjadi dua wilayah persebaran, yaitu di sebelah barat daya Danau Kerinci dan di sebelah tenggara Danau Kerinci. Masjid-masjid yang termasuk dalam wilayah sebelah barat daya adalah Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir, dan Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik. Sedangkan masjid-masjid yang termasuk dalam wilayah sebelah tenggara adalah Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, Masjid Tamiang Hilir, Masjid Lempur Tengah, dan Masjid Lempur Mudik ( Mujib dan Novita 1996: 27-28).

Secara umum bahan dasar dari masjid-masjid kuno tersebut adalah kayu, namun pada beberapa masjid sudah diganti dengan semen. Bentuk dari masjid yang terbuat dari kayu berupa bnagunan panggung. Meskipun demikian pada masjid-masjid yang terbuat dari semen menunjukkan bahwa benutk awal dari bangunan tersebut berupa bangunan panggung, hal ini dapat diketahui dari tiang-tiang pada ruang utama masjid yang pada bagian bawahnya terdapat lubang-lubang bekas balok penyangga lantai. Denah dari keseluruhan masjid-masjid kuno tersebut adalah segi empat (Mujib dan Novita 1996).

Atap masjid berupa atap tumpang yang terdiri atas dua sampai tiga susun. Pada beberapa masjid terdapat variasi bentuk pada susunan teratas atapnya yang berupa kubah. Dibagian atas atap umumnya terdapat hiasan mustaka yang berbentuk bawang, bulat sabit dan bintang, serta gada dengan lapik berbentu bulat pipih. Umumnya masjid-masjid tersebut dihias dengan ukiran dan tegel keramik (Mujib dan Novita 1996).

Dalam perkembangannya kebudayaan suatu daerah mengalami proses-proses pencampuran yang disebabkan oleh adanya kontak antara masyarakat pendukung kebudayaan tersebut dengan masyarakat pendukung kebudayaan asing. Proses pencampuran budaya ini dikenal dengan istilah akulturasi (Koentjaraningrat 1989: 247-248). Proses akulturasi akan terjadi karena adanya hubungan dan pergaulan suatu masyarakat pendukung kebudayaan tertentu dengan masyarakat lain, di mana masing-masing masyarakat saling memberikan dan menerima pengaruh (Poespowardojo 1986: 33).

Menurut Soewadji Syafei, bila kedua bangsa tersebut mempunyai tingkat kebudayaan yang hampir sama maka kemungkinan terjadinya percampuran kebudayaan sangat besar, tetapi jika tidak terdapat kesamaan pada pola kebudayaan dari masyarakat atau bangsa tersebut kemungkinan tidak terjadinya percampuan kebudayaan juga sangat besar (1986: 97-98).

Di dalam proses percampuran kebudayaan dikenal istilah local genius. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales dalam tulisannya The Making of Greater India: A Study in South-east Asia Culture Change, yaitu mengenai bentuk-bentuk kesenian di Jawa, Khmer, dan Indo Cina yang menunjukkan satu sumber yang sama yaitu India tetapi masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri yang kemudian dianggap oleh Quaritch Wales sebagai local genius . Menurutnya local genius merupakan kemampuan menyerap dari suatu masyarakat pendukung kebudayaan tertentu sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing sampai dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat di daerah asalnya. Dengan demikian local genius merupakan kekuatan yang dimiliki masyarakat setempat yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Sehingga dapat dikatakan juga local genius merupakan filter dalam menerima pengaruh kebudayaan asing ( Poespowardojo 1986; 33; Subadio 1986: 23; Syafei 1986: 98).

Sebagaimana diketahui bahwa masjid sebagai salah satu bentuk tinggalan arkeologi dari masa Islam tentunya memiliki unsur-unsur kebudayaan baik lokal maupun asing karena pada dasarnya Islam sebagai agama tidak melahirkan corak kebudayaan baru khususnya budaya materi yang mengantikan budya pra Islam (Nawawi 1990: 273-287). Berdasarkan uraan tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini mengenai akulturasi pada masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci. Dalam tulisan ini proses akulturasi yang akan dibahas didasarkan pada pengamatan terhadap hiasan-hiasan pada masjid-masjid kuno tersebut.


Hiasan-hiasan pada Masjid-masjid Kuno di Wilayah Kerinci

1. Hiasan Ukiran

Hiasan ukiran terdapat di hampir semua masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci. Hiasan ini terdiri dari beberapa motif, yaitu sulur-suluran, bunga, tali, medalion, dan lidah api. Berikut uraian mengenai motif-motif pada hiasan ukiran tersebut:

1a. Motif Sulur-suluran

Motif sulur-suluran adalah motif yangberupa tumbuh-tumbuhan yang menjalar, motif ini dapat ditemui pada hampir semua hiasan ukiran di masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci. Teknik ukir dari motif hias ini dilakukan dengan dua cara, yaitu teknik ukir tembus dan teknik ukir timbul. Pada mihrab Masjid Agung Pondok Tinggi dan bagian atas pintu masuk Masjid Lempur Tengah terlihat motif sulur-sulurannya membentuk wujud kepala kala seperti yang terdapat pada bangunan candi. Pada Masjid Agung Pondok Tinggi dan Masjid Lempur Tengah motif sulur-suluran ini dipadukan dengan motif bunga. Warna-warna yang digunakan pada motif ini umumnya merah, hijau tua, hijau muda, kuning, putih, biru tua, dan krem.

1b. Motif Bunga

Motif ini dapat ditemukan di hampir semua hiasan uukiran di masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci. Pada Masjid Agung Pondok Tinggi motif bunga terdapat di dinding masjid yang berfungsi juga sebagai ventilasi. Pada Masjid Lempur Mudik motif bunganya dipadukan dengan motif tali. Pada masjid tersebut juga terdapat variasi bentuk dari motif bunga ini, yaitu berbentuk kuncup dan berbentuk bunga yang mekar. Warna-warna yang digunakan pada motif ini umumnya hijau, merah, kuning, biru, putih, dan coklat.

1c. Motif Tali

Motif ini dapat ditemui pada Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, Masjid Lempur Tengah dan Masjid Lempur Mudik. Motif ini terdiri dari motif bunga dan motif tali pada sisi-sisinya. Warna-warna yang digunakan pada motif ini umumnya biru, hijau, merah, kuning, dan putih.

1e. Motif Lidah api

Motif lidah api merupakan istilah lokal Kerinci yang berupa jalinan bentuk lengkung yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai lidah api.Motif ini hanya terdpat di Masjid Nurul Iman Lolo Hilir. Pada masjid tersebut motif ini dipaduikan dengan hiasan antefiks . Warna-warna yang digunakan pada motif ini adalah merah, biru, hijau, dan kuning.


2. Hiasan Baluster

Penyebutan hiasan ini didasrkan pada bentuknya yangmenyerupai baluster, yaitu bagian dari tangga atau balkon yang terbuat dari kayu, batu, logam, atau terakota yang berbentuk melenkung dan menyerupai vas atau botol (Mills 1965: 19). Hiasan ini dapat ditemui di Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Lempur Tengah, dan Masjid Lempur Mudik. Hiasan ini terbuat dari kayu dan berfungsi juga sebagai ventilasi . Warna-warna yang digunakan pada hiasan ini umumnya merah, kuning, biru, dan hijau.


3. Hiasan Roster

Istilah roster berasal dari Bahasa Belanda rooster, yaitu lubang-lubang yang berfungsi sebagai ventilasi (Wojowasito 1978: 552). Hiasan roster umumnya terdapat pada bangunan yang masif dan berupa lubang-lubang kecing yang disusung sehingga membentuk pola tertentu. Hiasan ini hanya dapat dijumpai pada masjid-masjid yang terbuat dari semen, yaitu Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik, Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, dan Masjid Tamiang Hilir . Warna yang digunakan pada hiasan ini umumnya disesuaikan dengan warna dinding masjid, seperti pada Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik diberi warna putih; sedangkan pada Masjid Nurul Iman Lolo Hilir tidak diberi warna. Hiasan roster yang diberi warna hanya terdapat di Masjid Tamiang Hilir. Warna-warna yang digunakan adalah kuning, merah, dan biru.


4. Hiasan Tegel Keramik

Hiasan ini dapat ditemui di hampir semua masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci kecuali Masjid Lempur Tengah dan Masjid Lempur Mudik. Tegel keramik tersebut secara keseluruhan berukuran 15cm x 15cm; 10cm x 10cm; dan 5cm x 5cm. Motif hias yang terdapat pada hiasan ini berupa motif bunga, burung merak, dan geometri. Berikut uraian tentang motif-motif yang terdapat pad hiasan tegel keramik:

4a. Motif Bunga

Motif ini dapat ditemui di Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir, Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik, Masjid Keramat Pulau Tangah, Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, dan Masjid Tamiang Hilir. Warna-warna yang digunakan pada motif ini adalah merah tua dan merah muda. Warna dasar tegel keramik yang bermotof bunga umumnya berwarna putih dengan variasi warna tambahan hijau, biru, dan kuning.

4b. Motif Burung Merak

Motif ini hanya dapat ditemui di Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir. Motif burung merak ini digambarkan secara natural dan diberi warna hijau pada bulu-bulunya serta biru pada bagian tubuhnya. Warna dasar dari tegel keramik yang bermotif burung merak ini adalah putih.

4c. Motif Geometris

Sama dengan motif burung merak, motif ini hanya terdapat di Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir. Warna-warna yang digunakan pada motif ini umumnya merah dan hitam.

Pengamatan terhadap hiasan-hiasan pada masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci memperlihatkan bahwa hiasan ukiran yang bermotif sulur-suluran hadir di hampir semua masjid, yaitu di Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir, Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Lempur Tengah, dan Masjid Lempur Mudik. Hiasan ukiran dengan motif bunga dapat terlihat pada Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, Masjid Lempur Tengah, dan Masjid Lempur Mudik. Hiasan ukiran dengan motif tali dapat terlihat pada Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, Masjid Lempur Tengah, dan Masjid Lempur Mudik. Hiasan ukiran dengan motif medalion hanya terdapat di Masjid Lempur Mudik, demikian juga hiasan ukiran dengan motif lidah apai hanya terdapat di satu masjid, yaitu Masjid Nurul Iman Lolo Hilir. Hiasan baluster hadir di Masjid Lempur Tengah. dan Masjid Lempur Mudik. Hiasan Roster hadir di Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik, Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, dan Masjid Tamiang Hilir. Hiasan tegel keramik dengan motif bunga dapat ditemui di hampir semua masjid, yaitu di Masjid Agung Pulau Tengah, Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir, Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh Mudik, Masjid Nurul Iman Lolo Hilir, dan Masjid Tamiang Hilir. Hiasan tegel keramik dengan motif burung merak dan geometris hanya terdapat di Masjid Raya Tanjung Pauh Hilir. Pada tabel 1 dapat dilihat keberadaan hiasan-hiasan pada masjid-masjid kuno tersebut berdasarkan kehadiran (present) dan ketidakhadiran (absent).

Secara keseluruhan keletakan hiasan-hiasan tersebut juga dapat dilihat pada tabel 2. Pada tabel ini hiasan ukiran dengan motif sulur-suluran umumnya diletakan di sudut dinding, tiang, mihrab, pipi tangga tempat adzan, mimbar daun pintu, bagian atas pintu, dan bingkai pintu. Hiasan ukiran dengan motif bunga umumnya diletakkan di dinding, sudut dinding, pagar tempat adzan, tiang, dan mihrab. Hiasan ukiran dengan motif tali umumnya diletakan di konstruksi penyangga atap, dinding dan tiang. Pada konstruksi penyangga atap juga terdapat hiasan ukiran dengan motif lidah api. Hiasan ukiran dengan motif medalion hanya diletakkan di dinding demikian juga dengan hiasan baluster.

Keberadaan hiasan roster terlihat pada dinding, mihrab, bagian kaki menara, dan pagar tubuh menara. Hiasan tegel keramik denga motif bunga dapat ditemui di mihrab, pipi tangga masuk, dinding, umpak, bagian kaki menara, anak tangga naik menara, dan tubuh menara. Hiasan tegel keramik dengan motif burung merak dan geometris dapat ditemui di pipi tangga masuk, dinding, mihrab, dan mimbar.



Pembahasan

Telah diuraikan sebelumnya bahwa Islam memberikan toleransi pada kebudayaan setempat untuk dikembangkan sesuai kepentingannya, selain itu Islam juga memberikan peluang pada kebudayaaan asing lainnya yang melakukan kontak dengan daerah setempat. Dalam hal ini sikap toleransi tersebut dapat dilihat pada hiasaan-hiasan di masjid-masjid kuno di wilayah Kerinci.

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang diketahui hiasan ukiran dengan motif sulur-suluran dan lidah api merupakan motif hias lokal wilayah Kerinci (Mujib dan Novita 1996: 24); sedangkan hiasan tegel keramik yang terdapat pada masjid-masjid kuno tersebut berasal dari Eropa. Selain itu terdapat juga motif-motif hias yang berasal dari luar wilayah Kerinci lainnya, yaitu hiasan ukiran dengan motif tali dan bunga yang merupakan motif hiasa Minangkabau (Mujid dan Novita 1996: 25).

Keadaan ini menunjukkan adanya proses akulturasi pada masjid-masjid kuno tersebut. Sebagaimana diketahui Islam tidak memiliki aturan-aturan khusus dalam pendirian sebuah masjid dan sikap toleransi yang cukup tinggi memungkinkan terjadinya proses-proses akulturasi dalam pendirian bangunan keagamaannya.

Motif sulur-suluran sebenarnya telah ada sejak masa pra Islam, yaitu masa klasik. Hal ini dapat dilihat pada relief-relief candi yang juga mengenal motif tersebut. Bukti-bukti pengaruh Hindu-Buddha di wilayah Kerinci samapi saat ini masih sangat kurang, karena tinggalan dari masa tersebut hanya berupa arca Avalokitesvara yang ditemukan di sungai Penuh. Tetapi jika diamati lebih seksama terlihat pengaruh Hindu-Buddha pada Masjid Agung Pondok Tinggi dan Masjid Lempur Tengah, yaitu motif sulur-sulurannya dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai kepala kala, demikian juga motif sulur-suluran di Masjid Nurul Iman Lolo Hilir yang motif sulur-sulurannya berbentuk antefiks.

Selain motif sulur-suluran, motif medalion, dan bunga pada hiasan ukiran juga berasal dari masa klasik, hal ini dikarenakan motif-motif tersebut juga ditemui di relief-relief pada bangunan candi. Selain moptif-motif tersebut motif hias yang menggambarkan binatang juga ditemui di relief pada bangunan candi. Penggambaran motif-motif hias yang berupa mahluk hidup pada masa pra Islam umumnya digambarkan secara naturalis, tetapi pada masa Islam penggambarannya disamarkan. Hal ini dapat dikaitkan dengan Hadits Nabi yang melarang penggambaran mahluk-mahluk bernyawa. Hadits ini pada dasarnya diturunkan untuk meghindari adanya praktek pemujaan pada mahluk-mahluk yang digambarkan tersebut (Israr 1958:48)

Kenyataannya di masjid-masjid kuno di wilayah Kerinci, motif hias yang berupa mahluk hidup tersebuut tidak disamarkan melainkan digambarkan secara natural. Keadaan ini dapat dikaitkan dengan kronologi masjid yang memiliki motif hias tersebut yang didasari oleh bahan dan ragam hiasnya diperkirakan masjid tersebut didirikan pada pertengahan abad XIX (Mujib dan Novita 1996: 27) yang merupakan puncak perkembangan Islam di Kerinci. Pada saat itu pemehaman kaidah-kaidah Islam pada masyarakat Kerinci dianggap sudah cukup kuat sehingga munculnya motif-motif mahluk hidup pada masjid-masjid tersebut semata-mata hanya berfungsi sebagai hiasan.


Penutup

Akulturasi pada dasarnya adalah proses percampuran budaya yang terjadi karena adanya kontak antara masyarakat pendukung kebudayaan tertentu dengan masyarakat pendukung kebudayaan asing. Dalam proses tersebut umumnya kebudayaan yang ada sebelum kebudayaan asing masuk tetap dipertahankan sehingga proses ini sama sekali tidak menghilanhkan kebudayaan setempat, kemampuan ini dikenal dengan istilah local genius.

Berdasarkan pengamatan terhadap hiasan-hiasan pada masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci menunjukkan adanya proses percampuran antara budaya Kerinci dengan budaya asing. Unsur-unsur budaya asing yang mempengaruhi hiasan pada masjid-masjid tersebut berasal dari Minangkabau dan Eropa.

Unsur-unsur lokal Kerinci pada hiasan masjid-masjid kuno di wilayah Kerinci berupa motif sulur-suluran dan lidah api; sedangkan unsur asing berupa motif tali dan hiasan tegel keramik. Motif sulur-suluran yang merupoakan unsur lokal Kerinci dapat dikatakan sebagai local genius.

Penggambaran motif binatang pada salah satu masjidkuno di Wilayah Kerinci diwujudkan secara natural. Hal ini terlihat tidak seperti penggambaran motif tersebut pada umumnya, keadaan ini dapat dikaitkan dengan kronologi pendirian masjid yaitu pada masa puncak perkembangan Islam di Kerinci sehingga dapat dikatakan tujuan pemakaian motif tersebut hanya sebagai hiasan.

Ketika Agama Islam berkembang di nusantara, terlihat adanya pemakaian budaya-budaya lokal seperti arsitektur bangunan daerah setempat antara lain bentuk bangunan panggung dan penggunaan kayu sebagai bahan bangunannya. Keadaan ini terlihat di masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci sehingga dapat disimpulkan meskipun hiasan-hiasan yang digunakan oleh masjid-masjid tersebut mendapat pengaruh dari luar Kerinci dan pengaruh masa pra Islam tetapi bentuk dan bahan bangunannya masih mengambil unsur-unsur daerah setempat. Dengan demikian bentuk dan bahan bangunan tersebut dianggap sebagai local genius dari masjid-masjid kuno di Wilayah Kerinci.


Daftar Pustaka

Adiwimarta, Sri Sukesi (et.al)

1983 Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Briggs, M. S.

1965 Chamber's Encyclopaedia of Architecture

Djafar dan Anas Madjid

1986 Arsitektur Tradisional Jambi. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah

Koentjaraningrat

1989 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Marah, Risman

1987 Ragam Hias Minang Kabau. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Mills, John Fitz Maurice

1988 The Pergamon Dictionary of Art. Pergamon Press

Mujid dan Aryandini Novita

1996 Laporan Penelitian Masjid-Masjid Kuna di Kerinci (belum diterbitkan)

Munandar, Agus Aris

1997 "Keseninambungan Seni Hias Hindu-Buddha pada Bangunan-Bangunan Masa Awal Masuknya Islam di Jawa" dalam Seminar Hasil Penelitian Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Depok 24 November 1997 (belum diterbitkan0

Nawawi, A Cholik (et.al)

1989 "Kubur Tumpang. Salah Satu Aspek Penguburan dalam Islam" dalam AHPA I hal. 273-287

Poespowardojo, Soerjanto

1986 "Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 28-38. Jakarta: Pustaka Jaya

Rahardjo, Supratikno

1987 "Analisis Kuantitatif untuk Perbandingan Gaya" dalam DIA II hal. 332-354

Sjafei, Soewadji

1986 "Peranan Local Genius dalam Kebudayaan" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 96-99. Jakarta: Pustaka Jaya

Soebadio, Haryati

1986 "Kepribadian Budaya Bangsa" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 18-25. Jakarta: Pustaka Jaya

Tjandrasasmita, Uka

1994 "Laporan Survei Kepurbakalaan Islam di Provinsi Jambi" dalam Laporan Sementara Penelitian Arkeolgi dan Geologi Provinsi Jambi (belum diterbitkan)

Watson, D. W.

1979 "Some Comment of Finds of Archaeology Interest in Kerinci" dalam Majalah Arkeologi Th II no 4 hal. 18-25. Jakarta: Jurusan Arkeologi FSUI

Wojowasito, S

1978 Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru - van Hoeve

Yudoseputro, Wiyoso

1986 Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa


*) Tulisan ini telah dimuat dalam Buku "Dinamika Budaya Asia Tenggara - Pasifik. Dalam Perjalanan" diterbitkan oleh Puslit Arkenas, 1998

Warisan Palembang Ada di Kampung Arab


…Kecuali penduduk asli ada juga Cina, Arab dan orang-orang asing lainnya di ibukota. Yang pertama kebanyakan bertempat tinggal di rakit-rakit. Orang-orang Arab mempunyai kampungnya sendiri….. Orang-orang Arab terdaftar sebanyak 500 jiwa yang kebanyakan mempunyai rumah sendiri…


Begitulah yang dilaporkan oleh Sevenhoeven, regeeringcommissaris di Palembang pada tahun 1821 menggambarkan keberadaan orang-orang Arab di Palembang. Dalam sejarah Kota Palembang, kelompok etnis ini mempunyai catatan tersendiri. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam orang Arab mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding orang-orang asing lainnya yang menetap di Palembang. Sementara orang-orang asing lainnya oleh hanya diperbolehkan tinggal di atas sungai, mereka dapat menikmati tinggal di tempat yang relatif lebih kering dan hangat. Hal ini pernah dilaporkan oleh Sevenhoeven.

Keistimewaan ini telah berlangsung sejak masa pemerintahan Sultan Abdurrahman (1659-1706). Pada saat itu orang-orang Arab mendapat kebebasan untuk tinggal di daratan karena jasa mereka dalam meningkatkan perekonomian Kesultanan Palembang Darussalam. Dalam laporannya Sevenhoeven juga menuliskan bahwa kedekatan orang-orang Arab dengan Sultan juga ditunjukkan dengan pemberian gelar ‘pangeran’; sedangkan orang-orang Cina muslim, biasanya administratur tambang timah yang menjadi mualaf, hanya diberi gelar ‘demang’.

Kitab dan Nisan

Seperti di kota-kota lain di Indonesia, orang-orang Arab di Palembang berasal dari Hadramaut yang terletak di daerah pesisir jazirah Arab bagian selatan, Yaman sekarang. Kelompok etnis ini awalnya merupakan pedagang perantara, seiring dengan perjalanan waktu kemudian menetap dan menikah dengan penduduk Palembang, karena itu mereka lebih merasa sebagai orang Palembang mengingat pendahulu-pendahulu mereka beribukan orang Palembang.

Di Kota Palembang orang Arab menghuni kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Musi, baik di bagian ilir maupun di ulu. Saat ini pemukiman tersebut masih dapat ditemukan seperti di Lorong Asia dan Kampung Sungai Bayas, Kelurahan Kutobatu, Kecamatan Ilir Timur I; Lorong Sungai Lumpur di Kelurahan 9-10 Ulu, Lorong BBC di Kelurahan 12 Ulu, Lorong Almunawar di Kelurahan 13 Ulu, Lorong Alhadad, Lorong Alhabsy dan Lorong AlKaaf di Kelurahan 14 Ulu, dan Kompleks Assegaf di Kelurahan 16 Ulu. Secara administratif situs-situs yang berada di kawasan Seberang Ulu tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Seberang Ulu II. Umumnya antara permukiman-permukiman tersebut masih memiliki ikatan persaudaraan

Ketika langkah memasuki kampung Arab, tampak rumah-rumah mereka seperti rumah orang Palembang. Bagi orang-orang Arab yang merantau jauh dari tanah kelahirannya, mereka berprinsip yang dibawanya hanyalah kitab dan nisan. Kitab artinya adalah ajaran-ajaran Agama Islam yang harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, sedangkan nisan dimaksudkan untuk digunakan sebagai tanda makam bila ia meninggal di perantauan. Di luar dua hal tersebut mereka selalu beradaptasi dengan budaya setempat

Karena itu tak mengherankan kalau bentuk rumah mereka seperti rumah orang Palembang yaitu rumah limas. Seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang Arab juga mengikuti kecenderungan yang sedang berkembang pada saat itu, seperti rumah panggung dan rumah Indies (gaya arsitektur yang merupakan perpaduan budaya lokal dengan Eropa yang menjadi tren di Indonesia pada akhir abad 19 M dan awal abad 20 M). Rumah-rumah tersebut ditempatkan mengelilingi sebuah lapangan terbuka dan rumah orang yang dituakan menghadap ke arah Sungai Musi. Selain itu rumah-rumah ditempatkan berbanjar di sepanjang tepi Sungai Musi dan menghadap ke Sungai Musi.

Selain bentuknya, interior rumah tinggal orang Arab juga serupa dengan rumah orang Palembang. Sama seperti rumah limas pada umumnya, di beberapa rumah limas di pemukiman orang-orang Arab terlihat adanya pembagian ruangan yang bertingkat-tingkat. Namun dalam penerapan kehidupan sehari-hari makna dari pembagian tingkatan yang diyakini oleh orang-orang Arab berbeda dengan orang Palembang. Jika pada masyarakat Palembang pembagian tersebut didasarkan pada status sosial seseorang maka pada kelompok etnis Arab pembagian tersebut didasarkan pada tingkat pengetahuan agama, sehingga dapat dilihat pada acara-acara keagamaan kaum ulama menempati ruangan yang tertinggi.

Melihat bentuk dan interior rumah-rumah orang-orang Arab tersebut kita akan terkenang akan kejayaan mereka sebagai saudagar besar pada masanya. Meskipun sebagian rumah-rumah terlihat suram dan kusam tetapi jika dilihat detilnya menunjukan sebuah karya seni yang sangat indah. Di dalam salah satu rumah limas di Situs Kutobatu, terdapat pintu yang dipasangkan pada bingkai yang terbuat dari satu papan utuh berukuran sekitar 1,5 x 4 meter. Bingkai tersebut dihiasi dengan ukiran khas ‘Palembang lama’. Ukiran ini bermotif hiasan sulur-suluran dan bunga yang diberi warna emas. Keberadaan bingkai berukir tersebut merupakan keunikan tersendiri di Situs Kutobatu karena bingkai tersebut sudah tidak ditemukan lagi di rumah-rumah limas lainnya di Palembang.

Selain itu komponen rumah limas yang sudah sulit ditemukan di rumah orang Palembang adalah adalah ‘pintu kipas’ dan hiasan lakuer yang menghiasi dinding rumah. Pintu kipas adalah pintu yang cara membukanya disibakan ke atas. Sedangkan hiasan lakuer adalah lukisan motif sulur-suluran dan bunga berwarna emas yang dilapisi cairan serlak. Hiasan tersebut saat ini banyak ditemukan pada pajangan yang terbuat dari kayu.

Beban 'Sang Pewaris'
Saat ini penghuni kampung-kampung tersebut tidak hanya keturunan Arab saja tetapi telah bercampur dengan kelompok-kelompok etnis lainnya. Umumnya warga keturunan Arab tersebut berprofesi sebagai pedagang. Sebagian besar rumah-rumah tua di kampung-kampung itu dihuni secara turun-temurun sehingga sudah menjadi hal yang biasa jika di dalam satu rumah terdiri dari beberapa keluarga. Di beberapa kampung dikarenakan keterbatasan ekonomi tidak semua para pewaris dapat merawat rumah-rumah tersebut, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terkadang sedikit demi sedikit komponen rumah dipereteli untuk dijual. Agaknya para pemburu barang antik kerap memanfaatkan kondisi tersebut, dengan iming-iming sejumlah uang yang cukup besar maka komponen-komponen rumah yang dihiasi oleh ukiran-ukiran yang sangat indah dapat dengan mudahnya berpindahtempat ke rumah kolektor.

Wisata Selam di Tanjungkelayang


‘Kalau mau menyelam di sini waktu yang pas ya bulan tiga, empat, lima, sembilan dan sepuluh’ kata Pak Saki,

pemandu kami yang sangat mengetahui kondisi laut perairan Bangka-Belitung. Benar saja, kami datang pada waktu yang kurang tepat. Begitu sampai di lokasi arus yang lumayan kuat karena pengaruh angin tenggara telah menyambut kedatangan kami.


Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan titik lokasi kapal Indomarine yang tenggelam di perairan

sebelah barat laut Tanjungkelayang, tepatnya di sekitar Pulau Lengkuas. Sambil diombang-ambing oleh gelombang akhirnya kami menemukan titik tenggelamnya kapal tersebut. Peralatan segera disiapkan, kemudian dengan berkelompok kami mulai menyelam menikmati keindahan sisa kapal yang tenggelam pada akhir tahun 1999 tersebut.


Di tengah arus yang berkisar 1 hingga 1,5 knot, akhirnya di kedalaman 18 meter kami melihat anjungan kapal Indomarine. Kapal besi tersebut ‘duduk’ dengan manisnya seperti sedang bersandar di tepi dermaga. Terumbu karang mulai tumbuh di dinding-dinding kapal. Tak heran jika banyak nelayan setempat sering mendatangi perairan ini karena tempat yang seperti itu disenangi oleh ikan-ikan.


Kapal Indomarine adalah kapal ekspedisi antar pulau yang tenggelam karena mengalami kebocoran setelah diserang badai. Kapal sepanjang 40 meter tersebut membawa muatan berupa hasil bumi dan dua buah mobil jip Toyota Landcruiser. Saat ini yang tersisa hanyalah karung-karung yang berisi hasil bumi saja. ‘Beberapa karung pernah kami buka, isinya kopra, kalau mobil biasanya sudah digergaji oleh nelayan-nelayan sini untuk dijual’, ujar seorang diver setempat.


Meskipun dengan jarak pandang yang tidak lebih dari 3 meter, kami menyelam menyusuri badan kapal, mulai dari anjungan hingga ke buritan. Secara umum bentuk kapal masih terlihat utuh. Kami menyelam sambil mengamati bagian-bagian kapal dan ikan-ikan yang seolah-olah tidak mempedulikan datangnya ‘makhluk dari dunia lain’. Sebenarnya kami mengharapkan dapat melihat ikan puffer sebesar paha orang dewasa di antara karung-karung, sayang yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Karena batas waktu selam sudah hampir habis maka kami harus segera naik ke permukaan.


Mercusuar Belanda

Tanjungkelayang yang secara adminisratif masuk di wilayah Desa Keciput hanya berjarak ± 27 km atau sekitar 30 menit dari Kota Tanjungpandan, Ibukota Kabupaten Belitung. Pantai yang berpasir putih ini dikelilingi oleh batu-batu granit. Salah satunya adalah sebuah pulau kecil yang terbentuk dari batu granit yang bersusun seperti burung yang sedang duduk. Selain itu di sekitar Tanjungkelayang terdapat pulau-pulau kecil, salah satunya adalah Pulau Lengkuas. Di pulau yang terletak di sebelah barat laut Tanjungkelayang ini terdapat sebuah mercusuar. Jika dilihat dari bentuk dan bahan pembuatannya mercusuar ini dibangun pada masa kolonial Belanda atau sekitar abad 19 M.


Sampai saat ini masih belum banyak orang-orang yang tahu tentang keberadaan sisa kapal Indomarine tesebut. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Tanjungkelayang hanya memakan waktu sekitar 45 menit dengan kapal nelayan. Selain sisa kapal tenggelam, laut di sekitar Tanjungkelayang juga memiliki terumbu karang yang sangat cantik.


Di kedalaman antara 7 hingga 12 meter terdapat hamparan aneka ragam terumbu karang. ‘Terumbu karang di sini tidak beda jauh dengan yang ada di Bunaken’, ujar seorang teman yang telah menyelam di banyak tempat di perairan Indonesia. Menikmati penyelaman di perairan Tanjungkelayang ini memang sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Kondisi laut yang relatif belum tercemar ditambah keramahan penduduk setempat membuat tempat ini sangat cocok untuk berekreasi. Sayangnya potensi wisata tersebut belum tergarap.


Murah Meriah

‘Kalau hari Sabtu dan Minggu biasanya orang-orang dari Tanjungpandan banyak datang ke sini, kadang mereka main jetski atau sekedar berenang’ ujar Pak Kardi, Kades Keciput. Belum tergarapnya potensi wisata di perairan Belitung ini membuat kawasan ini masih sepi pengunjung. ‘Dulu ada yang mau buat resort di Tanjungtinggi, pakai mobil sekitar 10 menit dari sini’ ujar Pak Kardi, seraya menyebut nama salah satu anak penguasa orde baru ketika bercerita tentang potensi wisata di wilayahnya. ‘Tapi setelah reformasi, tanah yang akan dibangun resort tersebut banyak dipatok oleh warga setempat’ ujarnya lagi.


Di Tanjungkelayang telah ada sebuah penginapan yang dikelola oleh pemerintah Desa Keciput. Penginapan ini berupa pondok-pondok berjumlah 8 buah dan harganya cukup terjangkau. Di pantai ini juga ada sebuah rumah makan. ‘Awalnya ini adalah kafe, tapi karena sepi oleh pemiliknya lalu dijual’ ujar Pak Kardi yang sekarang menjadi pemilik rumah makan tersebut. Menu yang disajikan seperti umumnya rumah makan di tepi pantai yaitu segala macam makanan laut yang tentunya masih segar.


Keanekaragaman terumbu karang ditambah kapal tenggelam menjadikan Tanjungkelayang membuat penyelaman menjadi lengkap. Keramahan Pak Kardi dan warganya membuat kami ingin kembali lagi.