1. Pendahuluan
Keberadaan Pulau
Bangka pada umumnya secara geografis terletak di lintasan jalur perdagangan
yang cukup ramai sejak masa lalu. Selain itu keletakan geografisnya secara politik
merupakan “pintu gerbang” Kota Palembang. Keadaan ini kemudian ditunjang
oleh potensi sumberdaya alam berupa
kandungan timah. Kenyataan-kenyataan tersebut merupakan faktor-faktor yang
memungkinkan tumbuhnya pemukiman di wilayah ini, dari sebuah pemukiman yang
sederhana menjadi sebuah kota
yang merupakan pemukiman yang lebih kompleks.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
pertumbuhan pemukiman di wilayah Bangka
cenderung berkembang di daerah pantai. Tinggalan-tinggalan arkeologi yang
berhasil didata pada saat itu tentunya masih sangat kurang dalam upaya
penggambaran perkembangan pemukiman terutama masa Islam/Kolonial di wilayah
ini. Berkaitan dengan hal itu maka penelitian kali diawali dengan mengkaji pola
pemukiman di Kota Muntok dalam upaya mengetahui gambaran perkembangan pemukiman
di Pulau Bangka serta kedudukannya dalam jalur
perdagangan dan pelayaran di pantai timur Sumatera
2. Permasalahan
Tata kota adalah
suatu pengaturan pemanfaatan ruang kota di mana terlihat fungsi kota sebagai
pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan penduduknya maupun kota itu sendiri. Identifikasi tinggalan
arkeologi yang telah dilakukan pada penelitian menunjukkan tinggalan-tinggalan
arkeologi masa Islam/Kolonial di wilayah Bangka
merupakan komponen-komponen fisik kota .
Dari persebaran tinggalan-tinggalan tersebut terlihat bahwa pemukiman di
wilayah Bangka yang kemudian berkembang
menjadi sebuah kota
terletak di daerah pantai.
Letaknya yang berada di daerah perlintasan jalur pelayaran antara
Malaka, Jawa, dan wilayah Indonesia bagian timur sangat memungkinkan bagi
tumbuhnya kota-kota di Bangka terutama Kota Muntok dari sebuah pemukiman yang
sederhana menjadi pemukiman yang lebih kompleks, terlebih lagi pertumbuhan
tersebut ditunjang oleh potensi sumberdaya alam daerah setempat yang sangat
besar, yaitu timah. Berdasarkan hal tersebut maka
permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian kali ini adalah bagaimana pola keruangan Kota Muntok serta
hubungan antar bagian di kota tersebut?
3. Kerangka Pikir
Tumbuhnya sebuah
kota di daerah pantai terutama didasari oleh fungsinya yang merupakan
pusat-pusat pasar yang menghubungkan jaringan perdagangan laut (Rahardjo 1991:
49). Pernyataan
ini dapat dikaitkan dengan keletakan geografis Kota Mentok yang merupakan
daerah perlintasan jalur pelayaran antara Malaka, Jawa, dan wilayah Indonesia
bagian timur.
Sejak masa Kesultanan
Palembang Darussalam, Pulau Bangka adalah daerah penghasil timah yang merupakan salah satu komoditi dagang yang
diperjualbelikan ke mancanegara. Pengelolaan pertambangan timah pada saat itu
dapat dikatakan masih sederhana dan dikuasakan oleh kelompok etnis Cina.
Sejalan dengan
perkembangan waktu pemerintah kolonial Hindia-Belanda kemudian mengeplorasi
tambang timah secara besar-besaran. Eksplorasi ini mengakibatkan migrasi
besar-besaran orang-orang Cina ke Bangka . Hal
ini juga berdampak dengan perkembangan Kota Mentok, dari sebuah kota pra kolonial menjadi
sebuah kota
kolonial dengan basis ekonomi pertambangan.
4. Sejarah Perkembangan Kota Muntok
Berdasarkan data sejarah, Muntok pernah menjadi
pusat pemerintahan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa itu di
Muntok ditempatkan seorang Menteri Rangga. Kedudukan menteri itu sangat kuat,
yaitu sebagai wakil sultan Alasan Sultan menempatkan seorang Menteri Rangga,
karena Bangka dianggap wilayah yang penting bagi Kesultanan Palembang
Darussalam, yaitu karena produk timahnya. Menteri Rangga pertama Muntok adalah
Wan Usman atau Datu Aji Manteri Rangga Usman. Ia adalah seorang bangsawan
Siantan yang pada masa itu merupakan daerah bawahan dari Kesultanan Johor.
Hubungan Kesultanan Johor dengan Kesultanan
Palembang Darussalam diawali oleh konflik kekuasaan yang terjadi dalam tubuh
Kesultanan Palembang Darussalam, yang mengakibatkan Pangeran Ratu Mahmud
Badaruddin pergi meninggalkan Palembang
menuju Johor. Di tempat barunya tersebut Pangeran Ratu Mahmud Badaruddin
mempelajari sistem penambangan timah dikala itu dari proses produksi, sampai
sistem pendistribusiannya.
Ketika Pangeran Ratu Mahmud Badaruddin ingin
merebut kembali haknya sebagai penguasa Kesultanan Palembang Darussalam, ia
membawa serta bangsawan Siantan yang bernama Wan Akub bin Wan Awang.
Selanjutnya Pangeran Ratu Mahmud Badaruddin berhasil menjadi Sultan Palembang
Darussalam dan menunjuk Wan Akub sebagai Kepala Urusan Penambangan timah di Bangka .
Sejak saat itu penambangan timah mulai dilakukan
secara serius dan dalam skala besar. Wan Akub membangun Muntok dan berdiam
disana sebagai pemegang kekuasaan mewakili Sultan Palembang. Melihat kemajuan
Muntok yang luar biasa, pada saat Wan Usman menjadi Kepala Urusan penambahan
timah, Sultan Palembang melengkapi Muntok dengan sistem pemerintahan yang
teratur dan tertata dengan rapi yaitu dengan mengangkat Wan Usman menjadi
Menteri Rangga.
Pada masa kolonial Muntok tetap berfungsi sebagai
pusat pemerintahan, terbukti dengan ditempatkannya seorang resident, yang
mengurusi perdagang timah pihak kolonial. Sampai dengan tahun 1912 Residen Bangka , selain dia pemegang kekuasaan pemerintah juga
merangkap sebagai penanggungjawab pertambangan timah dengan bertempat kedudukan
di Muntok. Pada tahun 1912 pusat pemerintahan dipindahkan ke Pangkalpinang,
sedangkan Muntok dijadikan pusat eksplorasi timah.
5. Pembahasan
Secara umum pemukiman di Kota Muntok terdiri
dari tiga klaster yang dibagi berdasarkan kelompok etnis, yaitu Melayu, Cina
dan Eropa. Secara geografis klaster Melayu dan Cina berlokasi di tepi pantai;
sedangkan klaster Eropa terletak di sebelah utara kedua klaster tersebut dan
berada lebih jauh dari pantai.
Klaster Melayu terdiri dari tiga subklaster,
yaitu Kampung Tanjung di bagian barat, Kampung Teluk Rubia di bagian timur dan
Kampung Ulu di bagian utara. Dari ketiga subklaster Melayu, Kampung Tanjung
merupakan pemukiman tertua dari semua pemukiman di Kota Mentok. Klaster Cina
terletak di antara Kampung Tanjung dan kampung Teluk Rubia.
Pengamatan di lapangan batas-batas antar klaster
berupa batas geografi. Klaster Eropa terletak di bentang lahan yang paling
tinggi dibanding klaster-klaster lainnya. Berdasarkan hasil wawancara diketahui
bahwa antara klaster Cina dengan subklaster Kampung Tanjung dipisahkan oleh
Sungai Muntok, tetapi pada awal abad 20 M oleh pemerintah Hindia Belanda aliran
sungai tersebut dialihkan ke bagian tengah Klaster Cina.
Jenis tinggalan arkeologi di ketiga klaster
tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu bangunan religi, bangunan hunian,
bangunan umum, dan bangunan pertahanan. Berdasarkan fungsinya bangunan religi
terdiri dari masjid, makam dan gereja; bangunan hunian berupa rumah; bangunan
umum berupa sekolah, kantor dan penjara; sedangkan bangunan pertahanan berupa
benteng.
Dalam studi tentang pertumbuhan
Menurut Peter J M
Nas, salah satu ciri sebuah kota
kolonial adalah adanya pemisahan kelompok penduduk berdasarkan latar belakang
etnisnya, sehingga pada umumnya dalam suatu kota kolonial terdapat tiga nuansa budaya
yaitu budaya lokal, Cina dan Eropa (Nas 2007). Dalam halnya Kota Muntok, ketiga
nuansa ini terlihat dengan jelas. Hasil penelitian pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa di Kota Muntok setidaknya terdapat empat kelompok pemukiman yang dapat
dibagi berdasarkan kelompok etnis, yaitu Melayu, Cina, Eropa dan Arab.
Secara fisik, tata kota Muntok mencirikan sebuah kota kolonial yang tumbuh
setelah tahun 1870. Adapun pertumbuhan Kota Muntok dikarenakan adanya kegiatan
perekonomian, yaitu pertambangan timah. Konsep-konsep kosmologis yang umum
diterapkan pada kota-kota tradisional tidak terlihat dalam tata kota Muntok. Tata letak
klaster-klaster di kota
ini lebih disebabkan oleh unsur praktis, di mana mobilitas penduduknya dapat
dilakukan dengan mudah. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa daerah yang
tidak jauh dari pantai merupakan kawasan yang dipilih oleh kelompok etnis
Melayu, Cina, dan Arab. Sedangkan kelompok etnis Eropa lebih memilih kawasan
yang lebih tinggi, karena pada masa kolonial ada kecenderungan pada kelompok
etnis ini untuk melegitimasi kedudukannya sebagai penguasa di daerah koloninya.
6. Penutup
Potensi sumberdaya alam berupa kandungan timah
merupakan faktor pemacu tumbuhnya pemukiman di Kota Muntok, dari sebuah
pemukiman yang sederhana menjadi sebuah kota
yang merupakan pemukiman yang lebih kompleks. Perkembangan permukiman di Kota
Muntok berawal dari sebelah timur laut kota ,
yaitu Kampung Tanjung kemudian berkembang ke arah barat daya dan akhirnya
menyebar ke arah pedalaman yaitu di
bagian barat laut.
Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologi dan
ditunjang oleh lokasi geografis dan potensi sumberdaya alamnya menunjukkan
bahwa Kota Muntok memiliki kedudukan yang cukup penting dalam jalur perdagangan
di pantai timur Sumatera. Data sejarah menunjukkan bahwa pada masa Sriwijaya,
Bukit Menumbing yang merupakan daerah tertinggi di Kota Muntok digunakan
sebagai penunjuk arah oleh pelaut-pelaut yang berlayar dari arah utara menuju
Kota Palembang. Padatnya kegiatan pelayaran di perairan Selat Bangka tersebut
terus berlangsung hingga masa-masa berikutnya, oleh sebab itu pemerintah Hindia
Belanda kemudian mendirikan sebuah mercusuar di Tanjung Kelian sebagai alat
bantu navigasi pelayaran.
Daftar Pustaka
Atmodjo, Junus Satrio dan Heni Fajria Rifati. 1996. Laporan Pendokumentasian dan Survei Situs dan Benda Cagar Budaya di
Kabupaten Bangka , Provinsi Sumatera Selatan. Jambi: Suaka PSP Provinsi Jambi, Sumsel dan
Bengkulu.
Cortesao, Armando. 1967. The Suma
Orienta of Tome Pires: An Account of The East. London : Hakluyt Society
Hardiati, Endang Sri. 1993. Laporan
Penelitian Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung . Provinsi Sumatera Selatan. Jakarta : Puslit Arkenas.
Marsden, William. 1975. The
History of Sumatra . Kuala Lumpur : Oxford University
Press.
Nas, Peter J. M. 2007. Kota-Kota Indonesia . Bunga Rampai. Yogyakarta :
Gadjah Mada University
Press.
Novita, Aryandini dan Budi Wiyana, 2001. “Laporan Penelitian
Tinggalan-Tinggalan Arkeologi Kolonial di Pulau Bangka ”
Berita Penelitian Arkeologi Nomor 6. Palembang : Balai
Arkeologi Palembang .
Rahardjo, Supratikno. 1991. “Pertumbuhan dan Keruntuhan Kota-Kota
Prakolonial di Indonesia: Suatu Kajian Menurut Model Evolusi”, Tesis. Fakultas Pascasarjana -
Universitas Indonesia .
Setyorini, Rusmeijani. 1997. Laporan
Survei Mentok, Kabupaten Bangka, Provinsi Sumatera Selatan. Jambi: Suaka PSP Jambi, Sumsel
dan Bengkulu (tidak diterbitkan).
Somers Heidnues, Mary
F. 1992. Bangka Tin and Mentok Peper Social Issues in
Sutheast Asia. Institute
of Southeast Asia Studies.
Singapore :
Institute of Southeast Asian Studies.
Van der Kemp, P. H. tt. Palembang
en Bangka in 1816 - 1820.
Wellan, W. J. W. 1932. Zuid
Sumatera, Economish overzicht van de Gewsten Djambi, Palembang, De Lampoengsche
Districten en Bengkoelen. Wageningen (Holland ):
H Veenman en Zonen.
Wijaya, Arif. 2007. “Muntok” dalam www.majalahsagang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar