Pendahuluan
Kota Belinyu terletak di ujung utara Pulau Bangka.
Letaknya yang terlindung oleh sebuah teluk, yaitu Teluk Klabat membuat
posisinya cukup potensial untuk dijadikan kota
pelabuhan yang termasuk dalam jalur pelayaran di perairan Selat Malaka.
Data sejarah menyebutkan bahwa Pulau Bangka merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Palembang
Darussalam. Meskipun demikian berdasarkan data arkeologi menunjukan bahwa
pemukiman di Pulau Bangka telah ada sejak abad ke-6 M. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya arca Visnu di Situs Kota Kapur dan didukung juga dengan hasil
analisis arang dari situs yang sama yang menunjukkan pertanggalan absolut tahun
552 M.
Timah pertama kali ditemukan di Pulau Bangka pada awal
abad ke-18 M. Sejak dimulainya penambangan timah di pulau tersebut banyak
pedagang-pedagang mancanegara yang menjadikan timah sebagai salah satu komoditi
dagang mereka. Pada awalnya perdagangan timah di Pulau Bangka dikuasai oleh
Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi sejak VOC memegang monopoli perdagangan
di wilayah tersebut, Kesultanan Palembang Darussalam hanya mendapat hak
pengawasan karena semua hasil penambangan harus dijual kepada pihak VOC.
Tingginya permintaan komoditi dagang ini membuat banyak dibukanya lokasi-lokasi penambangan timah baru. Seiring dengan pembukaan lokasi baru tersebut mengakibatkan banyak dibutuhkan juga tenaga kerja di bidang tersebut. Dikarenakan hal ini banyak kelompok-kelompok etnis yang berasal dari luar Pulau Bangka yang bermigrasi ke wilayah tersebut untuk menjadi pekerja tambang antara lain kelompok etnis Cina.
Permasalahan
Sampai saat ini komunitas kelompok etnis
Cina masih banyak ditemukan di Belinyu. Kehadiran kelompok etnis Cina
mengakibatkan terjadinya kontak budaya antar kelompok yang berbeda latar budaya
di wilayah tersebut. Penyerapan unsur budaya asing tersebut tentunya tidak
hanya terjadi pada penduduk lokal saja, tetapi juga terjadi pada kelompok
masyarakat asing yang menetap di wilayah tersebut. Berdasarkan hal tersebut
permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini mengenai akulturasi yang
terjadi pada tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina yang
terdapat di Belinyu.
Tujuan
Datangnya kelompok etnis Cina ke Belinyu secara tidak
hanya mempengaruhi kebudayaan lokal tetapi juga mendapat pengaruh dari
kebudayaan di wilayah ini yang berbeda dengan daerah asalnya. Berdasarkan hal
tersebut maka tujuan dari tulisan ini untuk mengungkapkan sejauh mana
kebudayaan Cina dan kebudayaan lokal di Kota Belinyu saling mempengaruhi pada
tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina.
Kerangka Teori
Tumbuhnya sebuah permukiman yang kemudian berkembang
menjadi sebuah kota
di Belinyu tidak terlepas dari adanya potensi tambang timah di wilayah
tersebut. Pesatnya peningkatan produksi timah di Belinyu menyebabkan Kesultanan
Palembang Darussalam menjadikan Belinyu seebagai salah satu pusat pengawasan
penggalian timah.
Sejak Kesultanan Palembang Darussalam memutuskan untuk
megadakan penambang timah secara besar-besaran, didatangkanlah pekerja-pekerja
tambang dari kelompok etnis Cina yang telah dikenal piawai dalam teknologi
penambangan timah di Semenanjung Malaya .
Eksploitasi besar-besaran tersebut tidak terlepas dari ledakan permintaan timah
di pasar Eropa, selain lada dan rempah-rempah lainnya, yang menyebabkan harga
timah hampir menyamai harga perak.
Kedatangan imigran asing di Belinyu menyebabkan
penduduk wilayah ini bersifat heterogen. Adanya penduduk yang heterogen dapat
mengakibatkan terjadinya kontak budaya antar kelompok yang berbeda latar
budaya, dimana kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakangi pola kehidupan
kelompok masyarakat tersebut akan saling mempengaruhi.
Di dalam proses percampuran
kebudayaan dikenal istilah local genius.
Local genius merupakan kemampuan
menyerap dari suatu masyarakat pendukung kebudayaan tertentu sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing sampai dapat
dicapai suatu ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat di daerah asalnya.
Dengan demikian local genius
merupakan kekuatan yang dimiliki
masyarakat setempat yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari
luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Sehingga dapat
dikatakan juga local genius merupakan
filter dalam menerima pengaruh kebudayaan asing ( Poespowardojo 1986; 33;
Subadio 1986: 23; Syafei 1986: 98).
Tinggalan Arkeologi dari Kelompok Etnis Cina di
Belinyu
Dari penelitian yang telah dilakukan di Pulau Bangka
yang memfokuskan obyek penelitian pada pemukiman masa kolonial, menunjukan
bahwa tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina cukup banyak
ditemukan di wilayah Belinyu. Secara keseluruhan sisa-sisa pemukiman kelompok
etnis Cina di wilayah ini berupa bangunan hunian, bangunan religi dan bangunan
niaga (Novita dan Wiyana 1998; Wiyana 1999; Novita 2001).
Bangunan Hunian
Sekitar 1 km dari kawasan pemukiman ini terdapat
sisa-sisa bangunan hunian yang dikenal oleh penduduk dengan nama "Benteng
Kutopanji". Rumah ini merupakan tempat tinggal Bong Kiong Fu, seorang pengusaha
timah di wilayah Belinyu pada abad ke-18 M. Keadaan umum bangunan ini sudah
hancur, meskipun demikian denah bangunan dan sisa-sisa beberapa ruangannya
masih dapat terlihat (Novita 2001).
Denah
"Benteng Kutopanji" berbentuk persegipanjang dan menghadap ke arah
tenggara yang berupa rawa-rawa serta berbatasan langsung dengan Sungai Belinyu.
Informasi yang didapat di lapangan menyebutkan bahwa rawa tersebut merupakan
hasil sedimentasi karena sampai sekitar tahun 1930-an sungai tersebut masih
dapat terlihat dan di sebelah selatan benteng terdapat sebuah dermaga (Novita
dan Wiyana 1998: 10).
Bahan bangunan berupa campuran pasir, batu karang dan
pecahan bata yang dihaluskan. Teknik rancang bangun benteng ini menggunakan
sistem cor tanpa menggunakan pondasi dan tiang-tiang penyangga. Bangunan ini
didirikan dengan menyesuaikan kontur lahan yang meninggi ke arah barat laut
sehingga terlihat memiliki tiga undakan. Seperti umumnya bangunan dalam
arsitektur Cina, ruangan di dalam "Benteng Kutopanji" terletak di
bagian sisi-sisinya sedangkan bagian tengahnya merupakan lahan terbuka (Novita
2001: 4).
Dari hasil penelitian tahun 2001 diketahui bahwa
hunian di Situs Kutopanji memiliki masa okupasi yang tidak panjang. Berdasarkan
data sejarah diketahui bahwa pada tahun 1675 Bong Kiong Fu mendapat ijin dari
Sultan Palembang Darussalam membuka kebun lada dan pertambangan timah di
Belinyu. Pada masa itu ia membangun tempat tinggal yang dipagari oleh tembok
keliling. Suatu ketika perompak menjarah tempat tinggalnya dan mengakibatkan
Bong Kiong Fu menjadi pemurung dan sakit-sakitan hingga meninggal pada tahun
1687.
Bangunan Religi
Sebagai tempat ibadah dalam komunitas etnis Cina, di
Belinyu terdapat tiga buah kelenteng. Dari ketiga kelenteng tersebut ada dua
buah yang didirikan pada masa kolonial, yaitu Kelenteng Kutopanji dan Fuk Tet
Che. Tidak ada data yang pasti mengenai kapan didirikannya Kelenteng Kutopanji.
Berdasarkan keterangan informan, kelenteng ini dibangun semasa dengan Benteng
Kutopanji. Sedangkan Kelenteng Fuk Tet Che yang terletak tidak jauh dari
kawasan pemukiman dibangun pada masa yang lebih muda, yaitu 1898. Secara umum
tata ruang kedua kelenteng ini hampir sama dengan kelenteng-kelenteng pada
umumnya, yaitu berdenah persegipanjang dan terdiri dari tiga bagian yaitu
halaman depan, ruang depan dan ruang utama (Wiyana 1999: 9; Novita 2001: 5).
Sebagai salah satu komponen dari suatu pemukiman di
Belinyu juga terdapat kompleks pemakaman. Kompleks pemakaman komunitas etnis
Cina terletak ± 1 km di luar kawasan pemukiman penduduk dan sampai
sekarang masih digunakan.
Bangunan niaga
Bangunan-bangunan yang merupakan tempat usaha dari
kelompok etnis Cina umumnya berfungsi juga sebagai tempat tinggal. Bangunan tersebut
didirikan menghadap jalan, umumnya bertingkat dua. Beberapa bangunan didirikan
hanya satu lantai meskipun demikian biasanya bangunan berlantai satu tersebut
memiliki loteng tersembunyi (Wiyana 1999: 14).
Pembahasan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bangunan hunian
tersebut didirikan menghadap ke jalan dan terbuat dari kayu serta berdiri di
atas pondasi setinggi ± 50 cm. Secara keseluruhan bangunan hunian di
sekitar pasar Belinyu ada yang bertingkat dan tidak bertingkat. Ciri-ciri kuat
yang membedakan kedua jenis bangunan tersebut adalah bentuk atapnya. Pada
bangunan yang bertingkat atapnya berbentuk pelana; sedangkan pada bangunan yang
tidak bertingkat atapnya berbentuk limas. Pada bangunan yang tidak bertingkat
juga terdapat teras yang dilengkapi
dengan pagar dan tiang persegi serta terdapat konsol yang memiliki hiasan
berupa ukiran lotus dan sulur-suluran (Wiyana 1999: 8).
Sejak ditemukannya endapan timah di wilayah Bangka pada awal abad ke 18 M, Sultan Mahmud Badaruddin I
mulai melakukan penambangan timah dalam skala besar. Sejalan dengan hal
tersebut didatangkan tenaga-tenaga kerja pertambangan antara lain dari sejumlah
pelabuhan di kawasan Cina bagian Selatan.
Dalam sejarah Cina perantauan ke Asia Tenggara setidaknya
dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian, Hakka, Tiochiu
atau Hoklo, Kanton dan Hailam. Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai
kelompok pedagang, Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu. Hakka
sebagai pekerja tambang dan perkebunan (Witanto 2000)
Berdasarkan data sejarah kelompok Hakka merupakan
kelompok terakhir yang datang ke Indonesia, yaitu sekitar awal abad ke 18 M dan
mencapai puncaknya pada abad ke 19 M. Sebagai pekerja tambang dan atau
perkebunan, mereka didatangkan ke pertambangan emas di Mandor dan Montrado, Kalimantan
Barat, pertambangan timah di Bangka dan Belitung serta perkebunan karet di
daerah Deli dan sekitarnya, Sumatera Utara (Witanto 2000).
Tumbuhnya Belinyu sebagai sebuah kota tidak terlepas dari meningkatnya
produksi timah di Pulau Bangka . Pada abad ke
18 M atas perintah Sultan Najamuddin,
Tumenggung Dita Manggala mendirikan pusat-pusat pengawasan penggalian
timah yang dinamakan pangkal. Selain Belinyu, pangkal-pangkal tersebar di
sejumlah wilayah Bangka seperti Bandul, Biyat, Bunut, Rambat, Sungaibuluh,
Tempilang, Layang, sungailiat, Cengal, Pangkalpinang, Toboali, Ulim, Bangka
Kota, Kota Waringin dan Koba.
Hasil penelitian pada tahun 1999 diketahui bahwa
sebagian besar kelompok etnis Cina di Belinyu yang telah habis masa kontraknya
sebagai kuli tambang sebagian ada yang kembali ke Cina sebagian lagi tetap
bertempat tinggal di kota tersebut. Umumnya mereka beralih profesi sebagai
pedagang, petani dan nelayan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya tempat usaha
kelompok etnis Cina di Belinyu juga berfungsi sebagai rumah tinggal. Dilihat
dari bentuknya, arsitektur rumah yang tidak bertingkat tidak tercermin kaidah
arsitektur Cina pada umumnya, kecuali pada bagian konsol yang berornamen lotus
dan sulur-suluran. Keadaan ini dapat dikaitkan dengan latar belakang kelompok
Hakka di daratan Cina yang selalu berpindah sehingga mempunyai pola kehidupan
yang cenderung tidak permanen. Hal ini mengakibatkan kelompok Hakka tidak
terlalu mengembangkan sistem seni dan ornamen dekoratif dalam kehidupan
sehari-harinya dan dalam sistem permukiman mereka lebih beradaptasi dengan budaya setempat yang terlihat pada bentuk
atap rumah tinggal mereka yang berbentuk limas seperti umumnya rumah tinggal
kelompok etnis melayu.
Datangnya kelompok etnis asing di suatu tempat pada
dasarnya dapat menambah keberagaman budaya di wilayah tersebut. Kebudayaan yang
telah ada di wilayah itu kemudian mendapat pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan
luar yang dibawa oleh kelompok asing tersebut sehingga terjadi percampuran
budaya. Demikian juga sebaliknya kebudayaan yang dibawa oleh kelompok pendatang
mendapat pengaruh dari kebudayaan setempat.
Meskipun demikian karena alasan-alasan tertentu baik
masyarakat setempat maupun pendatang tetap mempertahankan ciri-ciri
kebudayaannya tanpa pengaruh dengan kebudayaan lain. Hal ini dapat dilihat di
situs Kutopanji yang berdasarkan pengamatan terhadap sisa denah bangunan
menunjukkan ciri arsitektur Cina yang cukup kuat dibanding dengan bangunan-bangunan
hunian lainnya yang telah beradaptasi dengan budaya setempat. Ciri arsitektur
Cina di Situs Kutopanji terlihat dari ruangan-ruangan yang berada di sumbu
utara-selatan serta terdapat taman di bagian tengahnya.
Tetap digunakanya unsur-unsur budaya Cina di Situs
Kutopanji dapat dikaitkan dengan latar belakang Bong Kung Fui yang seorang
pengusaha timah dan lada. Berbeda dengan bangunan hunian lainnya yang
pemiliknya hanya buruh tambang tentunya Situs Kutopanji merupakan bentuk
legitimasi yang menunjukkan status sosial pemiliknya.
Selain karena status sosial, alasan ideologi juga
digunakan kelompok etnis Cina untuk mempertahankan ciri-ciri kebudayaannya pada
bangunan religi. Sebagai bangunan sakral, bagian-bagian kelenteng dibangun memiliki makna-makna simbolis
tentang kesimetrisan dan keseimbangan, hubungan dengan alam semesta serta
fengsui yang merupakan sistem kepercayaan kelompok etnis Cina.
Penutup
Pertumbuhan Kota Belinyu tidak terlepas dari
dijadikannya wilayah ini sebagai salah pusat pengawasan penggalian timah di
Pulau Bangka . Kedatangan kelompok etnis Cina
di Belinyu secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan kota di wilayah ini. Buruh-buruh tambang yang
telah habis masa kontraknya umumnya tidak kembali ke negara asalnya melainkan
memilih untuk tetap tinggal di Belinyu dan berbaur dengan penduduk setempat.
Pada umumnya pekerja-pekerja tambang di Belinyu
berasal dari kelompok Hakka. Berdasarkan latar belakang yang mempunyai pola
kehidupan yang tidak permanen, kelompok Hakka tidak terlalu mengembangkan
sistem seni dan dekoratif dalam
kehidupan sehari-harinya sehingga mereka cenderung beradaptasi dengan
kebudayaan setempat.
Meskipun demikian dalam sistem ideologi mereka tetap
mempertahankan kebudayaan asalnya yang dapat dilihat pada bentuk arsitektur
kelenteng dan makamnya. Selain itu dalam sistem sosial budaya, kelompok Hakka
tidak berbeda dengan kelompok-kelompok suku bangsa Cina lainnya. Sistem
perkawinan monogami, kekerabatan patrilineal, dan tradisi-kepercayaan tetap
dipertahankan dalam kehidupan sehari-harinya.
Daftar Pustaka
Cortesao,
Armando. 1967. The Suma Orienta of Tome
Pires: An Account of The East. London :
Hakluyt Society
Harkantiningsih,
Naniek. 1994. “Variabel Analisis Keramik”, makalah
EHPA, Palembang
11 - 16 Oktober 1994.
Idi,
Abdullah. 2006. Bangka . Sejarah Sosial Cina
dan Melayu. Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Marhaeni
SB, Tri. 1997 “Laporan Penelitian Arkeologi di Kota Kapur, Kabupaten Bangka , Provinsi
Sumatera Selatan”. Berita Penelitian
Arkeologi No 2. Palembang :
Balai Arkeologi Palembang .
Marsden,
William. 1975. The History of Sumatra . Kuala
Lumpur : Oxford
University Press.
Mundardjito.
1993 "Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di
Daerah Yogyakarta : Kajian Arkeologi-Ruang
Skala Makro". Disertasi. Program Pascasarjana - Universitas Indonesia .
Novita,
Aryandini dan Budi Wiyana. 1998 Laporan Penelitian Arkeologi Survei
Tinggalan Arkeologi Kolonial di Pulau Bangka. (in print)
Poespowardojo,
Soerjanto. 1986."Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam
Modernisasi" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi
(ed.) hal. 28-38. Jakarta :
Pustaka Jaya
Satrio
Atmojo, Junus dan Eddy Prabowo Witanto (ed.). 2000. Kelenteng Kuno di DKI
Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta :
Direktorat Purbakala
Sjafei, Soewadji.
1986."Peranan Local Genius dalam Kebudayaan" dalam Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 96-99. Jakarta : Pustaka Jaya
Soeroso,
dkk. 1994. Laporan Penelitian Pemetaan
Geomorfologi Situs Kota
Kapur, Bangka . Palembang : Balai Arkeologi Palembang .
Soeroso.
1998. “Bangka Sebelum Sriwijaya” . Berkala Arkeologi Sangkhakala No II/
1997 - 1998, hal. 18-33.
Tjandrasasmita,
Uka (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Van der
Kemp, P. H. tt. Palembang
en Bangka in 1816 - 1820.
Wellan,
W. J. W. 1932. Zuid Sumatera, Economish overzicht van de Gewsten Djambi, Palembang , De
Lampoengsche Districten en Bengkoelen. Wageningen (Holland ): H Veenman en Zonen.
Witanto,
Eddy Prabowo. 2000. “Hakka dalam Konteks Sejarah Cina Perantauan dan
Kedatanganya di Bangka ”. Makalah Forum Diskusi
Mengupas Sejarah Masyarakat Hakka (Khek) di Pulau Bangka
dan Belitung , 3 Februari 2000.
Tulisan ini telah diiterbitkan
dalam “Siddhayatra” Vol. 12 Nomor 1 Mei 2007 hal. 1 - 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar