Selasa, 17 April 2012

Pemukiman Kelompok Etnis Cina di Belinyu


Pendahuluan

Kota Belinyu terletak di ujung utara Pulau Bangka. Letaknya yang terlindung oleh sebuah teluk, yaitu Teluk Klabat membuat posisinya cukup potensial untuk dijadikan kota pelabuhan yang termasuk dalam jalur pelayaran di perairan Selat Malaka.

Data sejarah menyebutkan bahwa Pulau Bangka merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Meskipun demikian berdasarkan data arkeologi menunjukan bahwa pemukiman di Pulau Bangka telah ada sejak abad ke-6 M. Hal ini terbukti dengan ditemukannya arca Visnu di Situs Kota Kapur dan didukung juga dengan hasil analisis arang dari situs yang sama yang menunjukkan pertanggalan absolut tahun 552 M.

Timah pertama kali ditemukan di Pulau Bangka pada awal abad ke-18 M. Sejak dimulainya penambangan timah di pulau tersebut banyak pedagang-pedagang mancanegara yang menjadikan timah sebagai salah satu komoditi dagang mereka. Pada awalnya perdagangan timah di Pulau Bangka dikuasai oleh Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi sejak VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah tersebut, Kesultanan Palembang Darussalam hanya mendapat hak pengawasan karena semua hasil penambangan harus dijual kepada pihak VOC.


Tingginya permintaan komoditi dagang ini membuat banyak dibukanya lokasi-lokasi penambangan timah baru. Seiring dengan pembukaan lokasi baru tersebut mengakibatkan banyak dibutuhkan juga tenaga kerja di bidang tersebut. Dikarenakan hal ini banyak kelompok-kelompok etnis yang berasal dari luar Pulau Bangka yang bermigrasi ke wilayah tersebut untuk menjadi pekerja tambang antara lain kelompok etnis Cina.



Permasalahan

Sampai saat ini komunitas kelompok etnis Cina masih banyak ditemukan di Belinyu. Kehadiran kelompok etnis Cina mengakibatkan terjadinya kontak budaya antar kelompok yang berbeda latar budaya di wilayah tersebut. Penyerapan unsur budaya asing tersebut tentunya tidak hanya terjadi pada penduduk lokal saja, tetapi juga terjadi pada kelompok masyarakat asing yang menetap di wilayah tersebut. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini mengenai akulturasi yang terjadi pada tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina yang terdapat di Belinyu.

Tujuan

Datangnya kelompok etnis Cina ke Belinyu secara tidak hanya mempengaruhi kebudayaan lokal tetapi juga mendapat pengaruh dari kebudayaan di wilayah ini yang berbeda dengan daerah asalnya. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari tulisan ini untuk mengungkapkan sejauh mana kebudayaan Cina dan kebudayaan lokal di Kota Belinyu saling mempengaruhi pada tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina.

Kerangka Teori

Tumbuhnya sebuah permukiman yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota di Belinyu tidak terlepas dari adanya potensi tambang timah di wilayah tersebut. Pesatnya peningkatan produksi timah di Belinyu menyebabkan Kesultanan Palembang Darussalam menjadikan Belinyu seebagai salah satu pusat pengawasan penggalian timah.

Sejak Kesultanan Palembang Darussalam memutuskan untuk megadakan penambang timah secara besar-besaran, didatangkanlah pekerja-pekerja tambang dari kelompok etnis Cina yang telah dikenal piawai dalam teknologi penambangan timah di Semenanjung Malaya. Eksploitasi besar-besaran tersebut tidak terlepas dari ledakan permintaan timah di pasar Eropa, selain lada dan rempah-rempah lainnya, yang menyebabkan harga timah hampir menyamai harga perak.

Kedatangan imigran asing di Belinyu menyebabkan penduduk wilayah ini bersifat heterogen. Adanya penduduk yang heterogen dapat mengakibatkan terjadinya kontak budaya antar kelompok yang berbeda latar budaya, dimana kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakangi pola kehidupan kelompok masyarakat tersebut akan saling mempengaruhi.

Di dalam proses percampuran kebudayaan dikenal istilah local genius. Local genius merupakan kemampuan menyerap dari suatu masyarakat pendukung kebudayaan tertentu sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing sampai dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat di daerah asalnya. Dengan demikian local genius merupakan kekuatan yang  dimiliki masyarakat setempat yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Sehingga dapat dikatakan juga local genius merupakan filter dalam menerima pengaruh kebudayaan asing ( Poespowardojo 1986; 33; Subadio 1986: 23; Syafei 1986: 98).


Tinggalan Arkeologi dari Kelompok Etnis Cina di Belinyu

Dari penelitian yang telah dilakukan di Pulau Bangka yang memfokuskan obyek penelitian pada pemukiman masa kolonial, menunjukan bahwa tinggalan-tinggalan arkeologi dari kelompok etnis Cina cukup banyak ditemukan di wilayah Belinyu. Secara keseluruhan sisa-sisa pemukiman kelompok etnis Cina di wilayah ini berupa bangunan hunian, bangunan religi dan bangunan niaga (Novita dan Wiyana 1998; Wiyana 1999; Novita 2001).

 Bangunan Hunian

Sekitar 1 km dari kawasan pemukiman ini terdapat sisa-sisa bangunan hunian yang dikenal oleh penduduk dengan nama "Benteng Kutopanji". Rumah ini merupakan tempat tinggal Bong Kiong Fu, seorang pengusaha timah di wilayah Belinyu pada abad ke-18 M. Keadaan umum bangunan ini sudah hancur, meskipun demikian denah bangunan dan sisa-sisa beberapa ruangannya masih dapat terlihat (Novita 2001).

Denah "Benteng Kutopanji" berbentuk persegipanjang dan menghadap ke arah tenggara yang berupa rawa-rawa serta berbatasan langsung dengan Sungai Belinyu. Informasi yang didapat di lapangan menyebutkan bahwa rawa tersebut merupakan hasil sedimentasi karena sampai sekitar tahun 1930-an sungai tersebut masih dapat terlihat dan di sebelah selatan benteng terdapat sebuah dermaga (Novita dan Wiyana 1998: 10).

Bahan bangunan berupa campuran pasir, batu karang dan pecahan bata yang dihaluskan. Teknik rancang bangun benteng ini menggunakan sistem cor tanpa menggunakan pondasi dan tiang-tiang penyangga. Bangunan ini didirikan dengan menyesuaikan kontur lahan yang meninggi ke arah barat laut sehingga terlihat memiliki tiga undakan. Seperti umumnya bangunan dalam arsitektur Cina, ruangan di dalam "Benteng Kutopanji" terletak di bagian sisi-sisinya sedangkan bagian tengahnya merupakan lahan terbuka (Novita 2001: 4).

Dari hasil penelitian tahun 2001 diketahui bahwa hunian di Situs Kutopanji memiliki masa okupasi yang tidak panjang. Berdasarkan data sejarah diketahui bahwa pada tahun 1675 Bong Kiong Fu mendapat ijin dari Sultan Palembang Darussalam membuka kebun lada dan pertambangan timah di Belinyu. Pada masa itu ia membangun tempat tinggal yang dipagari oleh tembok keliling. Suatu ketika perompak menjarah tempat tinggalnya dan mengakibatkan Bong Kiong Fu menjadi pemurung dan sakit-sakitan hingga meninggal pada tahun 1687.

Bangunan Religi

Sebagai tempat ibadah dalam komunitas etnis Cina, di Belinyu terdapat tiga buah kelenteng. Dari ketiga kelenteng tersebut ada dua buah yang didirikan pada masa kolonial, yaitu Kelenteng Kutopanji dan Fuk Tet Che. Tidak ada data yang pasti mengenai kapan didirikannya Kelenteng Kutopanji. Berdasarkan keterangan informan, kelenteng ini dibangun semasa dengan Benteng Kutopanji. Sedangkan Kelenteng Fuk Tet Che yang terletak tidak jauh dari kawasan pemukiman dibangun pada masa yang lebih muda, yaitu 1898. Secara umum tata ruang kedua kelenteng ini hampir sama dengan kelenteng-kelenteng pada umumnya, yaitu berdenah persegipanjang dan terdiri dari tiga bagian yaitu halaman depan, ruang depan dan ruang utama (Wiyana 1999: 9; Novita 2001: 5).

Sebagai salah satu komponen dari suatu pemukiman di Belinyu juga terdapat kompleks pemakaman. Kompleks pemakaman komunitas etnis Cina terletak ± 1 km di luar kawasan pemukiman penduduk dan sampai sekarang masih digunakan.

Bangunan niaga

Bangunan-bangunan yang merupakan tempat usaha dari kelompok etnis Cina umumnya berfungsi juga sebagai tempat tinggal. Bangunan tersebut didirikan menghadap jalan, umumnya bertingkat dua. Beberapa bangunan didirikan hanya satu lantai meskipun demikian biasanya bangunan berlantai satu tersebut memiliki loteng tersembunyi (Wiyana 1999: 14).

Pembahasan

Berdasarkan pengamatan di lapangan, bangunan hunian tersebut didirikan menghadap ke jalan dan terbuat dari kayu serta berdiri di atas pondasi setinggi  ±  50 cm. Secara keseluruhan bangunan hunian di sekitar pasar Belinyu ada yang bertingkat dan tidak bertingkat. Ciri-ciri kuat yang membedakan kedua jenis bangunan tersebut adalah bentuk atapnya. Pada bangunan yang bertingkat atapnya berbentuk pelana; sedangkan pada bangunan yang tidak bertingkat atapnya berbentuk limas. Pada bangunan yang tidak bertingkat juga terdapat teras  yang dilengkapi dengan pagar dan tiang persegi serta terdapat konsol yang memiliki hiasan berupa ukiran lotus dan sulur-suluran (Wiyana 1999: 8).

Sejak ditemukannya endapan timah di wilayah Bangka pada awal abad ke 18 M, Sultan Mahmud Badaruddin I mulai melakukan penambangan timah dalam skala besar. Sejalan dengan hal tersebut didatangkan tenaga-tenaga kerja pertambangan antara lain dari sejumlah pelabuhan di kawasan Cina bagian Selatan.

Dalam sejarah Cina perantauan ke Asia Tenggara setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian, Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton dan Hailam. Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai kelompok pedagang, Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu. Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan (Witanto 2000)

Berdasarkan data sejarah kelompok Hakka merupakan kelompok terakhir yang datang ke Indonesia, yaitu sekitar awal abad ke 18 M dan mencapai puncaknya pada abad ke 19 M. Sebagai pekerja tambang dan atau perkebunan, mereka didatangkan ke pertambangan emas di Mandor dan Montrado, Kalimantan Barat, pertambangan timah di Bangka dan Belitung serta perkebunan karet di daerah Deli dan sekitarnya, Sumatera Utara (Witanto 2000).

Tumbuhnya Belinyu sebagai sebuah kota tidak terlepas dari meningkatnya produksi timah di Pulau Bangka. Pada abad ke 18 M atas perintah Sultan Najamuddin,  Tumenggung Dita Manggala mendirikan pusat-pusat pengawasan penggalian timah yang dinamakan pangkal. Selain Belinyu, pangkal-pangkal tersebar di sejumlah wilayah Bangka seperti Bandul, Biyat, Bunut, Rambat, Sungaibuluh, Tempilang, Layang, sungailiat, Cengal, Pangkalpinang, Toboali, Ulim, Bangka Kota, Kota Waringin dan Koba.

Hasil penelitian pada tahun 1999 diketahui bahwa sebagian besar kelompok etnis Cina di Belinyu yang telah habis masa kontraknya sebagai kuli tambang sebagian ada yang kembali ke Cina sebagian lagi tetap bertempat tinggal di kota tersebut. Umumnya mereka beralih profesi sebagai pedagang, petani dan nelayan.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya tempat usaha kelompok etnis Cina di Belinyu juga berfungsi sebagai rumah tinggal. Dilihat dari bentuknya, arsitektur rumah yang tidak bertingkat tidak tercermin kaidah arsitektur Cina pada umumnya, kecuali pada bagian konsol yang berornamen lotus dan sulur-suluran. Keadaan ini dapat dikaitkan dengan latar belakang kelompok Hakka di daratan Cina yang selalu berpindah sehingga mempunyai pola kehidupan yang cenderung tidak permanen. Hal ini mengakibatkan kelompok Hakka tidak terlalu mengembangkan sistem seni dan ornamen dekoratif dalam kehidupan sehari-harinya dan dalam sistem permukiman mereka lebih beradaptasi dengan  budaya setempat yang terlihat pada bentuk atap rumah tinggal mereka yang berbentuk limas seperti umumnya rumah tinggal kelompok etnis melayu.

Datangnya kelompok etnis asing di suatu tempat pada dasarnya dapat menambah keberagaman budaya di wilayah tersebut. Kebudayaan yang telah ada di wilayah itu kemudian mendapat pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan luar yang dibawa oleh kelompok asing tersebut sehingga terjadi percampuran budaya. Demikian juga sebaliknya kebudayaan yang dibawa oleh kelompok pendatang mendapat pengaruh dari kebudayaan setempat.

Meskipun demikian karena alasan-alasan tertentu baik masyarakat setempat maupun pendatang tetap mempertahankan ciri-ciri kebudayaannya tanpa pengaruh dengan kebudayaan lain. Hal ini dapat dilihat di situs Kutopanji yang berdasarkan pengamatan terhadap sisa denah bangunan menunjukkan ciri arsitektur Cina yang cukup kuat dibanding dengan bangunan-bangunan hunian lainnya yang telah beradaptasi dengan budaya setempat. Ciri arsitektur Cina di Situs Kutopanji terlihat dari ruangan-ruangan yang berada di sumbu utara-selatan serta terdapat taman di bagian tengahnya.

Tetap digunakanya unsur-unsur budaya Cina di Situs Kutopanji dapat dikaitkan dengan latar belakang Bong Kung Fui yang seorang pengusaha timah dan lada. Berbeda dengan bangunan hunian lainnya yang pemiliknya hanya buruh tambang tentunya Situs Kutopanji merupakan bentuk legitimasi yang menunjukkan status sosial pemiliknya.

Selain karena status sosial, alasan ideologi juga digunakan kelompok etnis Cina untuk mempertahankan ciri-ciri kebudayaannya pada bangunan religi. Sebagai bangunan sakral, bagian-bagian kelenteng  dibangun memiliki makna-makna simbolis tentang kesimetrisan dan keseimbangan, hubungan dengan alam semesta serta fengsui yang merupakan sistem kepercayaan kelompok etnis Cina.

Penutup

Pertumbuhan Kota Belinyu tidak terlepas dari dijadikannya wilayah ini sebagai salah pusat pengawasan penggalian timah di Pulau Bangka. Kedatangan kelompok etnis Cina di Belinyu secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan kota di wilayah ini. Buruh-buruh tambang yang telah habis masa kontraknya umumnya tidak kembali ke negara asalnya melainkan memilih untuk tetap tinggal di Belinyu dan berbaur dengan penduduk setempat.

Pada umumnya pekerja-pekerja tambang di Belinyu berasal dari kelompok Hakka. Berdasarkan latar belakang yang mempunyai pola kehidupan yang tidak permanen, kelompok Hakka tidak terlalu mengembangkan sistem seni dan dekoratif  dalam kehidupan sehari-harinya sehingga mereka cenderung beradaptasi dengan kebudayaan setempat.

Meskipun demikian dalam sistem ideologi mereka tetap mempertahankan kebudayaan asalnya yang dapat dilihat pada bentuk arsitektur kelenteng dan makamnya. Selain itu dalam sistem sosial budaya, kelompok Hakka tidak berbeda dengan kelompok-kelompok suku bangsa Cina lainnya. Sistem perkawinan monogami, kekerabatan patrilineal, dan tradisi-kepercayaan tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-harinya.

Daftar Pustaka

Cortesao, Armando. 1967. The Suma Orienta of Tome Pires: An Account of The East. London: Hakluyt Society
Harkantiningsih, Naniek. 1994. “Variabel Analisis Keramik”, makalah EHPA, Palembang 11 - 16 Oktober 1994.
Idi, Abdullah. 2006. Bangka. Sejarah Sosial Cina dan Melayu. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Marhaeni SB, Tri. 1997 “Laporan Penelitian Arkeologi di Kota Kapur, Kabupaten Bangka,  Provinsi Sumatera Selatan”. Berita Penelitian Arkeologi No 2. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Marsden, William. 1975. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Mundardjito. 1993 "Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro". Disertasi. Program Pascasarjana - Universitas Indonesia.
Novita, Aryandini dan Budi Wiyana. 1998 Laporan Penelitian Arkeologi Survei Tinggalan Arkeologi Kolonial di Pulau Bangka. (in print)
Poespowardojo, Soerjanto. 1986."Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 28-38. Jakarta: Pustaka Jaya
Satrio Atmojo, Junus dan Eddy Prabowo Witanto (ed.). 2000. Kelenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jakarta: Direktorat Purbakala
Sjafei, Soewadji. 1986."Peranan Local Genius dalam Kebudayaan" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.) hal. 96-99. Jakarta: Pustaka Jaya
Soeroso, dkk. 1994. Laporan Penelitian Pemetaan Geomorfologi Situs Kota Kapur, Bangka. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Soeroso. 1998. “Bangka Sebelum Sriwijaya” . Berkala Arkeologi Sangkhakala No II/ 1997 - 1998, hal. 18-33.
Tjandrasasmita, Uka (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Van der Kemp, P. H. tt. Palembang en Bangka in 1816 - 1820.
Wellan, W. J. W. 1932. Zuid Sumatera, Economish overzicht van de Gewsten Djambi, Palembang, De Lampoengsche Districten en Bengkoelen. Wageningen (Holland): H Veenman en Zonen.
Witanto, Eddy Prabowo. 2000. “Hakka dalam Konteks Sejarah Cina Perantauan dan Kedatanganya di Bangka”. Makalah Forum Diskusi Mengupas Sejarah Masyarakat Hakka (Khek) di Pulau Bangka dan Belitung, 3 Februari 2000.

Tulisan ini telah diiterbitkan dalam “Siddhayatra” Vol. 12 Nomor 1 Mei 2007 hal. 1 - 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar