I
Selama berdirinya,
Kota Palembang yang telah berusia 13 abad lebih telah mengalami perkembangan
yang sangat menarik untuk dikaji dalam studi perkotaan. Pada masa Sriwijaya,
ketika ditetapkannya kota
ini menjadi sebuah pemukiman, Dapunta Hyang Sri Jayanasa dengan cermat menata kota ini sedemikian rupa
sehingga menjadi wilayah yang layak untuk dimukimi.
Berdasarkan data
arkeologi, perencanaan kota
terlihat dari penempatan bangunan-bangunan keagamaannya. Lokasi situs-situs
keagamaan tersebut umumnya ditempatkan di daerah yang jarang dilanda banjir
atau di lahan yang dikelilingi saluran buatan. Situs-situs arkeologi tersebut
umumnya berada di meander Sungai Musi yang berupa tanggul alam atau tanah yang
meninggi (Purwanti dan Taim 1995: 65 - 69).
Hal ini menunjukkan
bahwa dalam menentukan lokasi pemukiman, Sri Jayanasa menempatkannya sesuai
dengan kondisi geografis Palembang ,
yaitu di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang berupa rawa dan
sungai. Selain itu Sri Jayanasa juga melakukan kegiatan reklamasi daerah rawa
untuk lokasi pemukiman dengan cara menimbun rawa tersebut dan mebuat
saluran-saluran air yang bermuara ke Sungai Musi atau anak-anak sungainya
(Utomo 1993: B4-1 - B4-9).
Pada masa
Kesultanan Palembang Darussalam, kegiatan kota
terkonsentrasi di sepanjang tepi Sungai Musi. Sebagian besar aspek pemukiman
berlokasi di tepi utara sungai, seperti bangunan keraton, masjid dan pemukiman
rakyat. Rumah tinggal berupa rumah panggung dari bahan kayu atau bambu dan
beratap daun kelapa. Selain rumah panggung, penduduk kota juga tinggal di rumah rakit yang
ditambatkan di tepi Sungai Musi.
Pusat pemerintahan
terdapat di keraton yang dilindungi oleh tembok keliling dan sungai yang
dikenal dengan nama benteng Kuto Besak. Bidang tanah yang dikelilingi oleh
sungai-sungai tersebut merupakan milik kesultanan yang dipakai untuk tempat
tinggal keluarga dekat sultan dan pejabat keagamaan. Pemukiman penduduk
dibagi-bagi berdasarkan status sosial-ekonomi, keagamaan, kekuasaan dalam
pemerintahan, keahlian dan mata pencaharian serta kelompok etnis (Utomo 1993:
B3-3 - B3-4).
Setelah
dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam, wilayah ini dijadikan daerah
administrasi Hindia-Belanda yang dipimpin oleh seorang residen. Pusat
administrasi dilokasikan di sekitar Benteng Kuto Besak, yaitu bekas Keraton
Kuto Lamo. Di lokasi ini didirikan sebuah bangunan baru yang diperuntukan
sebagai kediaman residen. Pada masa ini Benteng Kuto Besak dialihfungsikan
menjadi instalasi militer dan tempat tinggal komisaris Hindia-Belanda, pejabat
pemerintahan dan perwira militer. Pemukiman di dekat keraton yang dulunya
merupakan tempat tinggal bangsawan Kesultanan pada masa ini ditempati oleh
perwira-perwira dan pegawai Hindia-Belanda (Sevenhoven 1971: 14).
II
Secara umum
pembangunan fisik Kota Palembang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda
dimulai pada awal abad XX M. Berdasarkan UU Desentralisasi yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Hindia-Belanda, Palembang
ditetapkan menjadi Gemeente pada tanggal 1 April 1906 dengan Stbl no 126 dan
dipimpin oleh seorang burgemeester, yang dalam struktur pemerintahan sekarang
setara dengan walikota. Meskipun demikian burgemeester pertama Kota Palembang
baru diangkat pada tahun 1919, yaitu L G Larive.
Sejak saat itu
pusat pemerintahan dipindahkan ke lokasi baru, yaitu di sebelah barat Benteng
Kuto Besak. Di kawasan ini juga didirikan bangunan-bangunan umum seperti gedung
peradilan, kantor pos dan telepon, rumah gadai, sekolah, gereja dan hotel serta
tempat-tempat hiburan seperti bioskop dan gedung pertemuan. Pada saat ini pula,
tempat transaksi jual beli yang dulunya dilakukan di atas perahu di Sungai Musi
atau anak-anak sungainya dipindahkan ke tepi Sungai Musi dengan dibangunnya
sebuah pasar permanen yang terletak di sebelah timur benteng.
Dalam tata ruang
Kota Palembang pada awal abad XX M ini, dibangun pula lokasi pemukiman
orang-orang Eropa yang merupakan warga kelas satu. Sebagai lokasi yang dipilih
adalah di sebelah barat pusat pemerintahan. Selain diperuntukan untuk pejabat
pemerintahan, rumah-rumah di kawasan ini juga disewakan untuk orang-orang Eropa
lainnya. Pada masa ini Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pelabuhan baru yang
terletak di sebelah timur kota
di antara Sungai Belabak dan Sungai Lawangkidul. Pelabuhan ini merupakan
pelabuhan samudra dan antar pulau.
III
Secara fisik, kota merupakan daerah
perumahan dan bangunan-bangunan yang merupakan kesatuan tempat kediaman, selain
itu kota juga
merupakan pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dalam perspektif sosiologi, kota
merupakan salah satu organisasi sosial dari sekumpulan individu dalam jumlah
yang cukup besar, sangat kompleks dengan berbagai strategi hidup yang kurang
terikat lagi pada pertanian. Kompleksitas kota
ditandai dengan makin menajamnya perbedaan sosial yang didasari oleh profesi,
status, ras, bahasa dan sebagainya. Gejala perbedaan antar individu tersebut
akan terwujud pada pengelompokan masyarakat dalam bermukim (Harkantiningsih et.
al 1999:185).
Pengelompokan
masyarakat dalam satu kota
pada dasarnya dapat dilihat dari tata kota
tersebut. Sebagaimana diketahui tata kota
adalah suatu pengaturan pemanfaatan ruang kota
di mana dapat terlihat fungsi kota
sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan penduduknya maupun kota itu sendiri.
Dalam
perkembangannya, terdapat peningkatan kompleksitas Kota Palembang sejak masa
awal pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sampai ditetapkannya kota ini menjadi staadgemeente. Pada masa
awal pemerintahan kolonial Hindia-Belanda tata kota msih meneruskan pola dari masa
Kesultanan, yaitu pusat pemerintahan terletak di sekitar Benteng Kuto Besak.
Seperti pada masa sebelumnya kaum elit kota
juga menetap di sekitar benteng.
Peningkatan
pembangunan fisik kota
terlihat jelas ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke lokasi baru, yaitu di
sebelah barat benteng. Sebagai pusat pelayanan jasa bagi penduduknya di kawasan
ini selain didirikan gedung kantor burgemeester didirikan juga
bangunan-bangunan fasilitas umum.
Pemukiman penduduk
terlihat masih mengikuti pola tata ruang dari masa kesultanan, yaitu
berdasarkan status sosial-ekonomi, kekuasaan dalam pemerintahan, keahlian dan
mata pencaharian serta kelompok etnis. Penambahan lokasi pemukiman penduduk
juga terlihat pada masa ini. Jika pada masa kesultanan kelompok etnis Cina
tinggal di rumah-rumah rakit di tepi Sungai Musi, pada masa kolonial pemerintah
Hindia-Belanda membolehkan kelompok etnis tersebut menetap di daratan tepatnya
di sisi selatan Sungai Musi. Sebagai kelompok penguasa pemerintah
Hindia-Belanda juga membangun sebuah kawasan pemukiman baru yang terpisah dari
pemukiman-pemukiman penduduk lainnya. Lokasi pemukiman tersebut berada di
sebelah barat kawasan pusat pemerintahan, yaitu Talangsemut.
Meneruskan
penguasa-penguasa Palembang
terdahulu, pemerintah Hindia-Belanda dalam menentukan lokasi penempatan
fasilitas kota
yang baru juga memperhatikan kondisi tapak wilayah Palembang . Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa Sri Jayanasa meletakan lokasi pemukimannya di lahan yang lebih
tinggi dari daerah sekitarnya. Pemukiman-pemukiman tersebut kemudian berkembang
hingga masa Kesultanan Palembang
dan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Umumnya pemerintah Hindia-Belanda
membangun fasilitas-fasilitas kota
yang baru juga di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, seperti
pemukiman di Talangsemut, pasar dan pelabuhan. Secara geografis lokasi-lokasi
tersebut juga dialiri oleh anak-anak Sungai Musi.
Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya pada masa kolonial, di Kota Palembang dibangun sebuah pemukiman yang
dikhususkan untuk warga keturunan Eropa dan kalangan elit lainnya yaitu di
Talangsemut (Peta 1). Secara khusus kawasan ini didirikan seperti umumnya
kawasan-kawasan pemukiman di Indonesia
yang dibangun pada akhir abad XIX M dan awal abad XX M.
Pada masa itu
kawasan yang diperuntukan untuk kalangan elit tersebut dibangun dengan konsep
'kota taman' dimana rumah-rumah tidak didirikan saling berdempetan dengan tepian
jalan yang ditanami pohon-pohon, median jalan yang difungsikan sebagai jalur
hijau serta ditambah beberapa taman atau lapangan olah raga yang terletak di
antara perumahan. Dalam sejarahnya, konsep 'kota taman' ini mulai dikembangkan
pada akhir abad XIX M, tepatnya ketika pemerintah Hindia-Belanda merencanakan
sebuah pemukiman elit baru di lokasi yang sekarang dikenal dengan kawasan
Menteng, Jakarta dan selanjutnya dikembangkan di beberapa kota di nusantara
yang menjadi wilayah administrasi pemerintahan Hindia-Belanda (Heuken dan
Pamungkas 2001).
Secara umum
penerapan konsep 'kota
taman' di kawsan Talangsemut terlihat pada pendirian banguan yang tidak saling
berdempetan, tepian jalan yang ditanami pohon-pohon serta lahan hijau. Jaringan
jalan di kawasan Talangsemut terlihat dibangun dengan tipe lengkung, hal ini
dikaitkan dengan keadaan geografis kawasan ini yang berbukit-bukit sehingga
bentuk jalannya disesuaikan dengan bentuk lahan setempat (Peta 2, 3, 4).
Bangunan-bangunan pada masa itu, baik
bangunan rumah tinggal maupun bangunan umum terutama didirikan dengan gaya arsitektur Art Deco
yang merupakan tren pada saat itu. Ciri-ciri gaya arsitektur tersebut adalah berbentuk
kaku dan bagian depannya dihiasi oleh bentuk-bentuk geometris yang cukup
dominan (Blumenson 1977: 77).
Di Talangsemut selain dibangun rumah-rumah dengan bentuk
‘engkel’ (foto 1), dibangun juga rumah-rumah dengan bentuk ‘kopel’ (foto 2).
Bangunan rumah di kawasan Talangsemut umumnya terbagi dua bagian yaitu bangunan
induk dan bangunan tambahan yang berada di bagian belakang atau samping
bangunan induk. Secara keseluruhan bentuk dasar dari atap bangunan di
Talangsemut berupa tipe atap perisai, hipped-roof, gambrel-roof dan
atap pelana (foto 3,4,5,6). Pada beberapa rumah yang memiliki atap perisai
dibagian puncak atap terdapat hiasan kemuncak yang berbentuk balok (foto 3). Pada
rumah kopel yang beratap hipped-roof ada
yang memiliki hiasan gable di bagian
depannya (foto 2,6). Pada bagian tengah gable terdapat lubang angin berbentuk
persegi atau lubang-lubang persegi yang disusun secara vertikal.
Elemen-elemen yang mendominasi bangunan-bangunan di
Talangsemut yang mencirikan gaya
arsitektur yang berkembang pada awal XX M adalah bentuk lubang angin dan tiang.
Bentuk lubang angin pada bangunan-bangunan tersebut umumnya berupa lubang
persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang mendatar atau profil
yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan,
lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris yang berbentuk
persegi atau bujursangkar. Tiang pada bangunan-bangunan di kawasan Talangsemut
biasanya berbentuk persegi. Pada bagian atas tiang atau bagian tengah tubuh
tiang terdapat hiasan profil. Keberadaan tiang ini berfungsi sebagai penyangga
atap kanopi teras depan.
Selain
bangunan-bangunan yang didirikan dengan gaya
arsitektur yang menjadi tren pada masa itu, elemen kota yang mencirikan sebuah kota taman adalah adanya lahan hijau. Dalam
hal ini di kawasan Talangsemut, lahan hijau kota dilengkapi dengan danau. Terdapat dua
buah danau di kawasan ini yang berfungsi juga sebagai kolam retensi untuk
mengendalikan banjir. Dari salah satu danau tersebut dibangun juga saluran air
yang bermuara ke Sungai Sekanak.
IV
Pada awal kolonial
Belanda, kebijakan pemerintahan menetapkan adanya pemisahan sistem administrasi
pemerintahan antara waraga Eropa dengan pribumi, hal ini juga berlaku dalam
menentukan lokasi wilayah pemukiman dimana penetapankan ditentukan berdasarkan
kelompok etnis. Meskipun pada akhir abad XIX M, pembaharuan administrasi
pemerintah Hindia-Belanda telah menlepaskan konsepsi pengelompokan kelompok
etnis ini, dasar pembagian ras dalam soal kependudukan dan susunan wilayah
pemukiman tetap dipertahankan (Soekiman 2000: 194).
Dalam hal ini
kawasan Talangsemut merupakan salah satu contoh dari kebijakan pemerintah
Hindia-Belanda tersebut. Seperti umumnya pemukiman-pemukiman yang dibangun pada
awal abad XX M, kawasan Talangsemut juga dirancang tidak mengikuti pola yang
diterapkan di negeri Belanda melainkan menerapkan suatu konsep baru, yaitu 'kota taman'. Sejak awal
diterapkannya konsep 'kota
taman' di wilayah administrasi
Hindia-Belanda, pemukiman ini memang diperuntukan sebagai pemukiman elit.
Meskipun tidak mengikuti pola tata kota di negeri asalnya, kecenderungan mengikuti
tren yang sedang berkembang di dunia pada umumnya dan Eropa pada khususnya
ternyata masih dilakukan. Hal ini terlihat dari bangunan-bangunan yang
didirikan pada masa tersebut umumnya memiliki gaya arsitektur Art Deco dan De Stijl yang
memang sedang menjadi tren pada saat itu.
Tabel 1. Daftar Nama-Nama Jalan di Kawasan Talangsemut
No
|
Nama Lama
|
Nama Baru
|
1.
|
Raadhuisweg
|
Jl Merdeka
|
2.
|
Nassaulaan
|
Jl Merdeka
|
3.
|
Nassauplein
|
Jl Taman
Talangsemut
|
4.
|
Oranjelaan
|
Jl P A K
Abdurrachim
|
5.
|
Kerkweg
|
Jl Gubah
|
6.
|
Emmalaan
|
Jl Ratna
|
7.
|
Sophielaan
|
Jl Joko
|
8.
|
Wilhelminalaan
|
Jl Diponegoro
|
9.
|
Prins Hendriklaan
|
Jl Diponegoro
|
10.
|
Julianalaan
|
Jl Kartini
|
11.
|
Willemslaan
|
Jl Supeno
|
12.
|
De Ruyterlaan
|
Jl Hang Tuah
|
13.
|
Trompweg
|
Jl Hang Suro
|
14.
|
Kortenaerweg
|
Jl Ario Damar
|
15.
|
Witte de Wittweg
|
Jl Pembayun
|
16.
|
Van Speykweg
|
Jl Perwira
|
17.
|
Regenteslaan
|
Jl Gajahmada
|
18.
|
Vijverlaan
|
Jl Tasik
|
19.
|
Palmenlaan
|
Jl Telaga
|
20.
|
Stadhouderslaan
|
|
21.
|
Anna Poulownaweg
|
Jl Thamrin
|
22.
|
Alexanderweg
|
Jl Senopati
|
23.
|
Weimarlaan
|
Jl Kusuma
|
24.
|
Florisweg
|
Jl Jaya
|
25.
|
Beatrixlaan
|
Jl Indra
|
26.
|
Fredriklaan
|
|
27.
|
Bernhardlaan
|
Jl Cipto
|
28.
|
Bergenlaan
|
Jl Cokroaminoto
|
29.
|
Bloemenlaan
|
Jl Raden Fatah
|
30.
|
Vogellaan
|
Jl Cik Bakar
|
31.
|
Irenelaan
|
Jl Teuku Umar
|
32.
|
Bukit Besar
|
Jl J A R Suprapto
|
Daftar Pustaka
Blumenson, John J G,
1977, Identifying American Architecture. New York: WW Norton
& Company.
De Chiara, Joseph dan Lee E Koppelman,1978, Standar
Perencanaan Tapak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Fleming, John, dan Hugh Honour, Nicolaus Peusner,
1977, The Penguin Dictinary of Architecture. New York: Penguin Book Ltd.
Hanafiah, Djohan, 1988, Palembang Zaman Bari. Citra
Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II
Palembang.
Harkantiningsih, Nanik (et.al), 2000. Metode Penelitian
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Heuken S J, Adolf dan Grace Pamungkas, 2001, Menteng,
'Kota taman'
pertama di Indonesia. Jakarta
Yayasan Cipta Loka Caraka.
Purwanti, Retno dan Eka Asih P T, 1995, "
Situs-Situs Keagamaan di Palembang: Suatu Tinjauan Kawasan dan Tata Letak"
dalam Berkala Arkeologi tahun XV - Edisi Khusus - 1995 hal. 65-69.
Sevenhoven, J.L. van, 1971,
Lukisan Tentang Ibukota Palembang.
Jakarta: Bhratara.
Sukiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup
Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVII - Medio Abad XX). Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Sumintardja, Jauhari, 1978,Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Bangunan.
Tim Penelitian Arkeologi Palembang , 1992. Himpunan Hasil Penelitian
Arkeologi di Palembang
tahun 1984 - 1992 (belum diterbitkan).
Utomo, Bambang Budi, 1993, "Belajar Menata Kota
Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam Perspektif
Arkeologi dan Sejarah, hal. B4-1 - B4-9
Wiryomartono, A. Bagoes P, 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota
di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak
Peradaban Hindu-Buddha, Islam, Hingga Sekarang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Tulisan ini telah diterbitkan dalam Jurnal "Siddhayatra" volume 7 nomor 2 November 2002 hal 1 -11
Angka Main HONGKONG : 90315 BB
BalasHapusJaga BB Colok bebas HONGKONG : 9 1
Colok Macau 2D HONGKONG : 90 31 BB
Angka Jadi 2D Bom Bandar HONGKONG : 21*26*25*29*12*16*15*19*62*61*65*69*52*51*56*59*92*91*96*95*
Main Ganjil Genap HONGKONG : GENAP
Main Besar Kecil HONGKONG : BESAR
Prediksi Togel Terlengkap
Prediksi gratis tanpa mahar