Pendahuluan
Dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia, arsitektur adalah ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan
bangunan dan struktur-struktur lain yang fungsional, terkonstruksi dengan baik,
memiliki nilai ekonomi serta nilai estetika (2004: 272). Arsitektur tercipta
karena adanya kebutuhan manusia untuk melindungi dirinya dari bahaya alam
sehingga dapat dikatakan arsitektur
merupakan salah satu bentuk seni tertua karena telah ada sejak jaman
prasejarah.
Bentuk arsitektur pada jaman
prasejarah tercermin pada tempat tinggal manusia pada masa itu yang berupa
ceruk dan gua. Semakin berkembangnya peradaban, ilmu dan teknologi arsitektur
berkembang dalam kehidupan manusia untuk memenuhi tuntutan yang semakin
meningkat. Dalam hal ini arsitektur terwujud dalam bentuk bangunan-bangunan
yang kuat dan berkesan indah bila dipandang.
Dalam perkembangan sejarah
kebudayaan di Sumatera Selatan, wilayah ini memiliki banyak situs-situs
arkeologi yang mewakili bentuk arsitektur dari masa prasejarah hingga kolonial[1].
Bentuk arsitektur masa prasejarah dapat ditemui di situs Gua Putri, Gua
Penjagaan dan Gua Pondok Selabe, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pada masa
Hindu-Buddha, seperti umumnya arsitektur yang ditemukan di Indonesia dari
masa itu, bentuk arsitekturnya merupakan bangunan keagamaan. Situs-situs
tersebut antara lain terdapat di Bumiayu, Kabupaten Muaraenim; Telukkijing,
Kabupaten Musibanyuasin; Tingkip, Lesungbatu dan Binginjungut, Kabupaten Musirawas.
Dalam perkembangan berikutnya,
ketika Agama Islam masuk dan berkembang di Sumatera Selatan, wilayah ini
merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Bentuk-bentuk
arsitektur dari masa tersebut berupa masjid-masjid kuno dan beberapa rumah
tinggal yang dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Sumatera Selatan.
Ketika Bangsa Eropa masuk ke
Sumatera Selatan, arsitektur di wilayah ini juga mendapat pengaruh kebudayaan
Eropa yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu.
Pengaruh tersebut terlihat dari penerapan gaya
arsitektur Eropa pada bangunan-bangunan tersebut baik pada bentuk bangunan
atau pada ornamen dekoratifnya.
Meskipun pembabakan masa dalam sejarah kebudayaan
di Sumatera Selatan terlihat jelas, tidak serta merta tinggalan-tinggalan
budaya yang telah ada pada masa yang lebih muda menjadi hilang dikarenakan
adanya perkembangan-perkembangan baru. Pada kenyataannya banyak
tinggalan-tinggalan arkeologi yang dipakai dari masa yang lebih muda tetap
digunakan pada masa selanjutnya. Hal ini juga terlihat di situs-situs arkeologi
di Sumatera Selatan, seperti di Kota
Palembang .
Penelitian arkeologi menunjukan bahwa beberapa lokasi situs dari masa
Kerajaan Sriwijaya dimanfaatkan kembali oleh penguasa Palembang pada masa pra Kesultanan Palembang
Darussalam, seperti Situs Geding Suro, Sabokingking dan Candi Angsoka. Umumnya
situs-situs tersebut pada masa pra kesultanan digunakan sebagai lokasi makam
para penguasa yang saat itu telah beragama Islam dan merupakan cikal bakal
Kesultanan Palembang Darussalam. Di situs-situs tersebut terlihat bahwa masih
dipakainya ornamen-ornamen dekoratif yang telah ada sejak masa Hindu-Buddha.
Pada masa Kolonial, hal ini juga
dapat dilihat pada beberapa bangunan-bangunan rumah tinggal yang berbentuk
limas atau rumah panggung biasa serta bangunan masjid yang didirikan pada masa
itu. Bentuk bangunan-bangunan tersebut telah ada sejak masa Kesultanan tetapi
pada ragam hiasnya menggunakan ornamen dekoratif bergaya Eropa.
Bentuk arsitektur yang lain di
Sumatera Selatan dalam perkembangan sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan adalah
benteng. Di wilayah ini terlihat bahwa benteng merupakan bentuk arsitektur dari
masa prasejarah yang tetap digunakan hingga masa kolonial, seperti yang yang
dapat ditemukan di situs Ulak Lebar, Kota Lubuklinggau.
Permasalahan
Berdasarkan penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh Sumintardja, de Haan, dan van de Wall, penulis membagi
bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial menjadi 3 tipe. Tipologi
ini dibagi berdasarkan gaya
arsitektur yang diterapkan pada bangunan-bangunan tersebut. Melihat ciri khusus
dan kronologi pendiriannya bangunan-bangunan tersebut berkembang sejak masa
awal bermukimnya bangsa Belanda di Indonesia hingga masa pendudukan
Jepang. Secara umum tipe-tipe bangunan tersebut mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Bangunan tipe 1 dan 2 umumnya berfungsi sebagai bangunan rumah
tinggal sedangkan bangunan tipe 3 berfungsi sebagai bangunan pemerintahan.
Ketiga tipe bangunan tersebut
adalah:
Tipe 1
Bangunan tanpa halaman, berjejer
padat seperti di Belanda. Berlantai dua, lebar rumah sempit tetapi sangat
panjang ke belakang dengan atau tanpa halaman kecil di dalamnya. Kekhususan
bangunan ini adalah pintu masuk yang berdaun pintu ganda, terdapat cerobong
asap semu dan adanya bentuk seperti tangga.
Tipe 2
Bangunan yang mempunyai serambi
depan yang luas dilengkapi tiang-tiang bergaya Eropa. Bagian dalam bangunan
terdapat lorong yang di kiri dan kanannya terdapat serambi, dan bangunan-bangunan
samping yang berfungsi sebagai dapur, kamar mandi, kamar pelayan dan
sebagainya.
Tipe 3
Bangunan yang didirikan mengikuti
gaya arsitektur
yang sedang berkembang di Eropa pada saat itu.
Berdasarkan ketiga tipe yang
telah diuraikan sebelumnya, terlihat adanya perubahan pola pikir Bangsa Belanda
dalam mewujudkan tempat bernaung di daerah koloninya. Bagaimana dengan yang
terjadi di Sumatera Selatan? Karena meskipun hubungan Bangsa Belanda dengan
Kesultanan Palembang Darusallam sudah berlangsung sejak abad XVII M tetapi
secara kronologis bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda
di Kota Palembang berasal pada awal abad XX M.
Tujuan
Tujuan
Kebudayaan pada dasarnya juga
merupakan tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Dalam beradaptasi dengan lingkungannya manusia bertindak sedemikian rupa untuk
melindungi dirinya. Datangnya Bangsa Eropa ke Indonesia secara tidak langsung
akan mempengaruhi juga kebudayaan yang bangsa tersebut di daerah koloninya yang
kondisi geografis dan iklim yang sangat jauh berbeda dengan negara asalnya.
Dalam sejarah kebudayaan manusia, hubungan antar kelompok masyarakat
memungkinkan terjadinya kontak budaya atau yang dikenal dengan istilah
akulturasi. Akulturasi sendiri mempunyai definisi suatu proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat 1983: 251). Berdasarkan hal tersebut tulisan ini
bertujuan untuk mengungkapkan sejauh mana kebudayaan Eropa dan kebudayaan lokal
di kawasan Sumatera Selatan saling mempengaruhi yang terlihat pada
bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial.
Kerangka Teori
Secara umum kebudayaan mempunyai
definisi keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1983: 182).
Berdasarkan hal tersebut maka terlihat kebudayaan memiliki tiga wujud yang
saling berkaitan menjadi suatu sistem, ketiga wujud kebudayaan tersebut yaitu
ide dan gagasan yang membentuk pola pikir dalam suatu masyarakat; aktivitas
serta tindakan berpola dari suatu masyarakat; serta benda-benda hasil karya
manusia (Koentjaraningrat 1983: 189). Kebudayaan juga dapat dikatakan merupakan
tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Deetz
1967: 7).
Dalam kaitannya dengan ilmu
arkeologi, sejarah kebudayaan merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitiannya. Sejarah kebudayaan adalah gambaran kebudayaan suatu
kelompok masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Upaya ini dilakukan dengan
cara mendeskripsi dan mengklasifikasi bukti-bukti kehidupan masa lalu. Tujuan
ini melahirkan sejarah kebudayaan yang mencoba menyusun kerangka pertumbuhan
dan perkembangan bentuk kebudayaan masa lalu. Dalam usaha untuk mencapai tujuan
pertama ini, para peneliti berusaha untuk menemukan, mengenali, dan melukiskan
bentuk-bentuk kebudayaan materi, baik yang ditemukan dalam keadaan utuh maupun
fragmentaris.
Salah satu suatu media
pencerminan kebudayaan adalah arsitektur, karena pada dasarnya arsitektur
merupakan wujud dari pola tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan sebagai
tempat bernaung untuk melindungi dirinya dari gangguan-gangguan dan bahaya
alam. Sebagai hasil karya manusia, arsitektur sangat dipengaruhi oleh geografi,
geologi, iklim, keadaan sosial, agama dan falsafah kepercayaan, serta sejarah
(Oesman 1996: 5). Dengan demikian sebuah karya arsitektur yang merupakan hasil
pola pikir manusia masa lalu adalah salah satu obyek penelitian arkeologi.
Pembahasan
Hubungan Bangsa Belanda dengan
Kesultanan Palembang Darussalam dimulai pada awal abad XVII M ditandai dengan
penandatanganan kontrak perdagangan komoditi lada dan timah dimana pihak
Belanda memiliki hak sepenuhnya atas perdagangan kedua komoditi tersebut sementara
untuk pengelolaan perkebunan lada dan penambangan timah dibawah pengawasan
Kesultanan Palembang Darussalam. Meskipun perjanjian mengenai hak monopoli
dagang tersebut telah ditandatangani, pihak kesultanan terkadang juga melakukan
transaksi dagang dengan pihak lain. Kenyataan ini yang memicu hubungan antara
Belanda dan Kesultanan Palembang Darussalam menjadi tidak baik (Hanafiah (ed.)
2002).
Pada masa awal monopoli Belanda
dalam perdagangan lada dan timah di Sumatera Selatan tersebut sering terjadi
konflik-konflik di kawasan tersebut yang akhirnya mengakibatkan diserang dan
dibakarnya Keraton Kutogawang oleh pihak Belanda. Penyerangan ini menyebabkan
dipindahkannya keraton ke wilayah lain, yaitu di Beringin Janggut pada tahun
1675 (Hanafiah (ed.) 2002).
Selama terjalinnya hubungan
dagang antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Bangsa Eropa baik Belanda
maupun Inggris telah terjadi beberapa konflik senjata yang dikarenakan kenyataan
bahwa pihak Kesultanan Palembang Darussalam berkeberatan akan hak monopoli
dagang yang dikuasai oleh bangsa-bangsa tersebut. Puncak dari konflik tersebut
adalah penyerahan kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1823 kepada
pemerintah Hindia-Belanda (Hanafiah (ed.) 2002).
Setelah dihapuskannya Kesultanan
Palembang Darussalam, wilayah Sumatera Selatan dijadikan daerah administrasi
Hindia-Belanda yang dipimpin oleh seorang residen. Pusat administrasi
dilokasikan di sekitar Benteng Kuto Besak, yaitu bekas Keraton Kuto Lamo. Di
lokasi ini didirikan sebuah bangunan baru yang diperuntukan sebagai kediaman
residen. Pada masa ini Benteng Kuto Besak dialihfungsikan menjadi instalasi
militer dan tempat tinggal komisaris Hindia-Belanda, pejabat pemerintahan dan
perwira militer. Pemukiman di dekat keraton yang dulunya merupakan tempat
tinggal bangsawan Kesultanan pada masa ini ditempati oleh perwira-perwira dan
pegawai Hindia-Belanda (Sevenhoven 1971: 14).
Pembangunan fisik Kota Palembang
yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dimulai pada awal abad XX M.
Berdasarkan UU Desentralisasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, Palembang ditetapkan
menjadi Gemeente pada tanggal 1 April 1906 dengan Stbl no 126 dan dipimpin oleh
seorang burgemeester, yang dalam
struktur pemerintahan sekarang setara dengan walikota. Meskipun demikian burgemeester pertama Kota Palembang baru
diangkat pada tahun 1919, yaitu L G Larive.
Secara khusus bangunan-bangunan
dari masa kolonial masih dapat ditemukan di sepanjang Jl Merdeka dan kawasan
Talangsemut. Bangunan-bangunan pada masa itu, baik bangunan rumah tinggal
maupun bangunan umum terutama didirikan dengan gaya arsitektur Art Deco yang merupakan tren pada saat itu. Ciri-ciri gaya arsitektur tersebut
adalah berbentuk kaku dan bagian depannya dihiasi oleh bentuk-bentuk geometris yang
cukup dominan (Blumenson 1977: 77). Selain gaya arsitektur art deco, beberapa bangunan juga dibangun dengan gaya arsitektur de Stijl, yaitu gaya
arsitektur ini mempunyai ciri pada atap yang berupa plat beton yang mendatar.
Pada bagian bawah atap terdapat plat beton yang berfungsi sebagai teritis yang
mengelilingi badan bangunan. Bangunan bergaya arsitektur de Stijl umumnya tidak memiliki elemen dekoratif (Heuken dan
Pamungkas 2001: 63).
Bangunan-bangunan umum yang
memiliki gaya arsitektur art deco antara
lain dapat dilihat pada Kantor Walikota Palembang, Kantor Telkom, Balai
Pertemuan, Hotel Musi, Balai Prajurit (Societeit),
Gedung ex BP7, Kantor Keuangan Kodam II Sriwijaya, Markas Kodim 044 Garuda
Dempo. Sedangkan bangunan umum yang bergaya arsitektur de Stijl adalah Gereja Siloam dan Kantor PMI.
Bangunan rumah yang bergaya
arsitektur art deco umumnya terbagi
dua bagian yaitu bangunan induk dan bangunan tambahan yang berada di bagian
belakang atau samping bangunan induk. Secara keseluruhan bentuk dasar dari atap
bangunan di Talangsemut berupa tipe atap
perisai, hipped-roof, gambrel-roof dan atap pelana. Pada beberapa rumah yang memiliki
atap perisai dibagian puncak atap terdapat hiasan kemuncak yang berbentuk
balok. Sebagian rumah yang beratap hipped-roof
ada yang memiliki hiasan gable di
bagian depannya. Pada bagian tengah gable
terdapat lubang angin berbentuk persegi atau lubang-lubang persegi yang disusun
secara vertikal.
Rumah tinggal yang mempunyai gaya arsitektur de Stijl umumnya mempunyai bentuk dasar
kotak dan berlantai dua atau tiga. Selain itu rumah-rumah tersebut tidak
memiliki hiasan yang ramai sehingga terkesan sederhana.
Elemen-elemen
yang mendominasi bangunan-bangunan kolonial di Kota Palembang adalah bentuk
lubang angin dan tiang. Bentuk lubang angin pada bangunan-bangunan tersebut
umumnya berupa lubang persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang
mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada
beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris
yang berbentuk persegi atau bujursangkar. Tiang pada bangunan-bangunan tersebut
biasanya berbentuk persegi. Pada bagian atas tiang atau bagian tengah tubuh
tiang terdapat hiasan profil. Keberadaan tiang ini berfungsi sebagai penyangga
atap kanopi teras depan. Selain itu ornamen dekoratif yang umum terdapat pada
bangunan bergaya art deco adalah kaca
patri.
Selain
Art deco dan de Stijl terdapat juga gaya
arsitektur yang merupakan perpaduan gaya
arsitektur lokal dan gaya
arsitektur Eropa yang dikenal dengan istilah gaya Indis. Yang dimaksud gaya arsitektur lokal adalah gaya arsitektur yang berkembang di suatu
daerah sebelum bangsa Eropa datang ke daerah tersebut (Sukiman, 2000).
Tidak
hanya di Kota Palembang saja tetapi hampir di seluruh bagian Sumatera Selatan gaya arsitektur ini cukup
berkembang pesat. Gaya Indis di Sumatera Selatan terlihat dari bentuk rumah
yang berupa rumah limas atau rumah panggung biasa tetapi ornamen-ornamen
dekoratifnya bergaya Eropa.Bangunan-bangunan bergaya Indis yang terdapat di
Kota Palembang terdapat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II; rumah-rumah
tinggal di pemukiman kelompok etnis Arab di Kelurahan Kuto Batu, Kecamatan Ilir
Timur I dan Kelurahan 11 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II;
rumah Kapiten Cina di Kelurahan 7 Ulu Kecamatan seberang Ulu II serta beberapa
rumah di Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang.
Penutup
Seperti yang kita ketahui
kebudayaan dapat dikatakan sebagai tindakan manusia dalam usahanya untuk
beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan suatu wilayah merupakan
salah satu faktor dalam menentukan pola tingkah laku manusia yang menempatinya.
Sebagai contoh yang menggambarkan
bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya dapat dilihat dari bentuk
rumahnya. Rumah dapat dikatakan juga sebagai salah satu dari wujud kebudayaan
karena merupakan hasil karya manusia. Sebagai bagian dari suatu sistem selain
merupakan hasil karya manusia terdapat
juga norma-norma yang mempengaruhi
tingkah laku manusia dalam mendirikan sebuah rumah.
Terjadinya kontak budaya dengan
bangsa asing pada akhirnya memperkaya khasanah budaya setempat. Di kawasan
Sumatera Selatan perpaduan budaya Eropa dengan budaya setempat tersebut antara
lain dapat dilihat pada penerapan gaya
arsitektur Eropa pada bangunan-bangunannya. Berdasarkan tipologi seperti yang
diuraikan sebelumnya bangunan rumah tinggal
tidak termasuk dalam tipe manapun; sedangkan bangunan yang berfungsi
sebagai bangunan umum di Kota Palembang masih termasuk dalam tipe 3. Tipologi
bangunan rumah tinggal di Sumatera Selatan tersebut sebenarnya merupakan
tipologi tersendiri yang berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia pada
awal abad XX M.
Adanya perubahan tersebut
membuktikan bahwa keadaan lingkungan juga mempengaruhi pola tingkah laku
manusia yang menempatinya. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada penerapan
gaya art deco dan de Stijl pada bentuk bangunan yang
dipadukan dengan lubang angin yang berbentuk persegi yang bagian tengahnya
dipasang profil beton yang mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang
dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan
kerawangan bermotif geometris yang berbentuk persegi atau bujursangkar.
Penggunaan lubang angin ini dikarenakan kondisi iklim Indonesia yang
merupakan daerah tropis sehingga jelas terlihat bahwa bangsa Eropa tidak serta
merta menerapkan gaya
arsitektur Eropa pada rumah tinggalnya tetapi juga beradaptasi dengan kondisi
lingkungan setempat.
Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya kontak budaya yang terjadi antara dua kelompok masyarakat yang
saling berbeda dapat juga menghasilkan corak tertentu dalam kebudayaan
masyrakat setempat tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya. Pada masa kolonial
hal tersebut terlihat pada munculnya gaya
Indis, yaitu berpadunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan Eropa. Pada bangunan
rumah tinggal di Sumatera Selatan,
perpaduan itu terlihat pada bentuk rumah yang berupa rumah limas atau rumah
panggung biasa tetapi ornamen-ornamen dekoratifnya bergaya Eropa.
Bangunan-bangunan umum di Kota
Palembang pada dasarnya sama seperti bangunan-bangunan umum lainnya di Indonesia yang
didirikan pada awal abad XX M. Bangunan tersebut umumnya menerapkan gaya arsitektur Eropa
secara utuh. Hal ini dikarenakan kepemilikan yang merupakan milik pemerintah
Hindia-Belanda maka dibangun sedemikian rupa sehingga mencerminkan kewibawaan
dan kekuasaan Bangsa Eropa di daerah koloninya. Hal ini dapat dianggap sebagai
salah satu bentuk legitimasi kekuasaan Kerajaan Belanda di Indonesia.
Daftar Pustaka
Blumenson, John J G, 1977, Identifying
American Architecture. New York :
WW Norton & Company.
Deetz, James,
1967, Invitation to Archaeology. New York : The Natural
History Press.
Fagan, Brian
M, 1991, In The Beginning: An Introducing
to Archaeology. 7th edition. New
York : Harper Collins Publisher.
Hanafiah,
Djohan, 1988, Palembang
Zaman Bari .
Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang :
Humas Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang .
-----------(ed.),
2002, Perang Palembang Melawan VOC. Jakarta:
Millennium Publisher.
Heuken S J,
Adolf dan Grace Pamungkas, 2001, Menteng, 'Kota taman' pertama di Indonesia. Jakarta Yayasan Cipta
Loka Caraka.
Koentjaraningrat,
1983, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
nn, 2004, Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta : PT Delta
Pamungkas.
Oesman, Osrifoel, 1996, "Rekonstruksi Bangunan Hunian di Situs
Trowulan. Suatu Kajian terhadap
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhinya" dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII, Cipanas, 12 - 16 Maret 1996.
Purwanti,
Retno dan Eka Asih P T, 1995, " Situs-Situs Keagamaan di Palembang: Suatu
Tinjauan Kawasan dan Tata Letak" dalam Berkala Arkeologi tahun XV -
Edisi Khusus - 1995 hal. 65-69.
Sevenhoven,
J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota
Palembang. Jakarta :
Bhratara.
Shahrer, Robert
J. dan Wendy Ashmore, 1979, Fundamental
of Archaeology. California :
Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.
Sukiman,
Djoko, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa (Abad XVII - Medio Abad XX). Yogyakarta :
Yayasan Bentang Budaya.
Sumintardja,
Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah
Arsitektur Jilid I. Bandung :
Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
Tim
Penelitian Arkeologi Palembang ,
1992. Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang tahun 1984 - 1992 (belum
diterbitkan).
Utomo,
Bambang Budi, 1993, "Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri
Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah,
hal. B4-1 - B4-9.
[1] Berdasarkan perkembangan budayanya masa prasejarah dibagi menjadi tiga, yaitu paleolitik, mesolitik, neolitik. Beberapa ahli arkeologi mencoba membagi perkerangkaan prasejarah berdasarkan subsistensi, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masa bercocoktanam dan masa perundagian. Dalam pelaksanaannya pembagian perkerangkaan berdasarkan subsistensi ini agak sulit diterapkan karena pada kenyataan banyak artefak-artefak dari masa yang lebih tua ternyata masih dipergunakan pada masa selanjutnya. Bahkan sampai pada masa sejarah pun beberapa artefak dan tradisi dari masa prasejarah terkadang masih dilakukan. Dalam arkeologi sejarah, pembagian juga dapat dilakukan berdasarkan pembabakan waktu, yaitu masa Hindu-Buddha, masa Islam dan Kolonial. Masa Hindu-Buddha atau dikenal juga dengan istilah masa Klasik berlangsung pada saat agama Hindu dan Buddha berkembang di Indonesia; masa Islam berlangsung pada saat awal masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia; sedangkan masa Kolonial berlangsung pada saat mulai adanya hubungan langsung Bangsa Eropa dengan Bangsa Indonesia.
Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban di Sumatera Selatan” Palembang: Balai Arkeologi Palembang, hal. 127-136, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar