Selasa, 17 April 2012

Arsitektur Masa Kolonial di Sumatera Selatan


Pendahuluan

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, arsitektur adalah ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan bangunan dan struktur-struktur lain yang fungsional, terkonstruksi dengan baik, memiliki nilai ekonomi serta nilai estetika (2004: 272). Arsitektur tercipta karena adanya kebutuhan manusia untuk melindungi dirinya dari bahaya alam sehingga dapat dikatakan arsitektur  merupakan salah satu bentuk seni tertua karena telah ada sejak jaman prasejarah.

Bentuk arsitektur pada jaman prasejarah tercermin pada tempat tinggal manusia pada masa itu yang berupa ceruk dan gua. Semakin berkembangnya peradaban, ilmu dan teknologi arsitektur berkembang dalam kehidupan manusia untuk memenuhi tuntutan yang semakin meningkat. Dalam hal ini arsitektur terwujud dalam bentuk bangunan-bangunan yang kuat dan berkesan indah bila dipandang.

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan, wilayah ini memiliki banyak situs-situs arkeologi yang mewakili bentuk arsitektur dari masa prasejarah hingga kolonial[1]. Bentuk arsitektur masa prasejarah dapat ditemui di situs Gua Putri, Gua Penjagaan dan Gua Pondok Selabe, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pada masa Hindu-Buddha, seperti umumnya arsitektur yang ditemukan di Indonesia dari masa itu, bentuk arsitekturnya merupakan bangunan keagamaan. Situs-situs tersebut antara lain terdapat di Bumiayu, Kabupaten Muaraenim; Telukkijing, Kabupaten Musibanyuasin; Tingkip, Lesungbatu dan Binginjungut, Kabupaten Musirawas.

Dalam perkembangan berikutnya, ketika Agama Islam masuk dan berkembang di Sumatera Selatan, wilayah ini merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Bentuk-bentuk arsitektur dari masa tersebut berupa masjid-masjid kuno dan beberapa rumah tinggal yang dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Sumatera Selatan.

Ketika Bangsa Eropa masuk ke Sumatera Selatan, arsitektur di wilayah ini juga mendapat pengaruh kebudayaan Eropa yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu. Pengaruh tersebut terlihat dari penerapan gaya arsitektur Eropa pada bangunan-bangunan tersebut baik pada bentuk bangunan atau  pada ornamen dekoratifnya.

Meskipun pembabakan masa dalam sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan terlihat jelas, tidak serta merta tinggalan-tinggalan budaya yang telah ada pada masa yang lebih muda menjadi hilang dikarenakan adanya perkembangan-perkembangan baru. Pada kenyataannya banyak tinggalan-tinggalan arkeologi yang dipakai dari masa yang lebih muda tetap digunakan pada masa selanjutnya. Hal ini juga terlihat di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan, seperti di Kota Palembang.

Penelitian arkeologi menunjukan bahwa beberapa lokasi situs dari masa Kerajaan Sriwijaya dimanfaatkan kembali oleh penguasa Palembang pada masa pra Kesultanan Palembang Darussalam, seperti Situs Geding Suro, Sabokingking dan Candi Angsoka. Umumnya situs-situs tersebut pada masa pra kesultanan digunakan sebagai lokasi makam para penguasa yang saat itu telah beragama Islam dan merupakan cikal bakal Kesultanan Palembang Darussalam. Di situs-situs tersebut terlihat bahwa masih dipakainya ornamen-ornamen dekoratif yang telah ada sejak masa Hindu-Buddha.

Pada masa Kolonial, hal ini juga dapat dilihat pada beberapa bangunan-bangunan rumah tinggal yang berbentuk limas atau rumah panggung biasa serta bangunan masjid yang didirikan pada masa itu. Bentuk bangunan-bangunan tersebut telah ada sejak masa Kesultanan tetapi pada ragam hiasnya menggunakan ornamen dekoratif bergaya Eropa.

Bentuk arsitektur yang lain di Sumatera Selatan dalam perkembangan sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan adalah benteng. Di wilayah ini terlihat bahwa benteng merupakan bentuk arsitektur dari masa prasejarah yang tetap digunakan hingga masa kolonial, seperti yang yang dapat ditemukan di situs Ulak Lebar, Kota Lubuklinggau.

Permasalahan

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Sumintardja, de Haan, dan van de Wall, penulis membagi bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial menjadi 3 tipe. Tipologi ini dibagi berdasarkan gaya arsitektur yang diterapkan pada bangunan-bangunan tersebut. Melihat ciri khusus dan kronologi pendiriannya bangunan-bangunan tersebut berkembang sejak masa awal bermukimnya bangsa Belanda di Indonesia hingga masa pendudukan Jepang. Secara umum tipe-tipe bangunan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Bangunan tipe 1 dan 2 umumnya berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal sedangkan bangunan tipe 3 berfungsi sebagai bangunan pemerintahan.

Ketiga tipe bangunan tersebut adalah:
Tipe 1
Bangunan tanpa halaman, berjejer padat seperti di Belanda. Berlantai dua, lebar rumah sempit tetapi sangat panjang ke belakang dengan atau tanpa halaman kecil di dalamnya. Kekhususan bangunan ini adalah pintu masuk yang berdaun pintu ganda, terdapat cerobong asap semu dan adanya bentuk seperti tangga.
Tipe 2
Bangunan yang mempunyai serambi depan yang luas dilengkapi tiang-tiang bergaya Eropa. Bagian dalam bangunan terdapat lorong yang di kiri dan kanannya terdapat serambi, dan bangunan-bangunan samping yang berfungsi sebagai dapur, kamar mandi, kamar pelayan dan sebagainya.
Tipe 3
Bangunan yang didirikan mengikuti gaya arsitektur yang sedang berkembang di Eropa pada saat itu.

Berdasarkan ketiga tipe yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat adanya perubahan pola pikir Bangsa Belanda dalam mewujudkan tempat bernaung di daerah koloninya. Bagaimana dengan yang terjadi di Sumatera Selatan? Karena meskipun hubungan Bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang Darusallam sudah berlangsung sejak abad XVII M tetapi secara kronologis bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda di Kota Palembang berasal pada awal abad XX M.


Tujuan


Kebudayaan pada dasarnya juga merupakan tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam beradaptasi dengan lingkungannya manusia bertindak sedemikian rupa untuk melindungi dirinya. Datangnya Bangsa Eropa ke Indonesia secara tidak langsung akan mempengaruhi juga kebudayaan yang bangsa tersebut di daerah koloninya yang kondisi geografis dan iklim yang sangat jauh berbeda dengan negara asalnya.

Dalam sejarah kebudayaan manusia, hubungan antar kelompok masyarakat memungkinkan terjadinya kontak budaya atau yang dikenal dengan istilah akulturasi. Akulturasi sendiri mempunyai definisi suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat 1983: 251). Berdasarkan hal tersebut tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan sejauh mana kebudayaan Eropa dan kebudayaan lokal di kawasan Sumatera Selatan saling mempengaruhi yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial.

Kerangka Teori

Secara umum kebudayaan mempunyai definisi keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya  manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1983: 182). Berdasarkan hal tersebut maka terlihat kebudayaan memiliki tiga wujud yang saling berkaitan menjadi suatu sistem, ketiga wujud kebudayaan tersebut yaitu ide dan gagasan yang membentuk pola pikir dalam suatu masyarakat; aktivitas serta tindakan berpola dari suatu masyarakat; serta benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat 1983: 189). Kebudayaan juga dapat dikatakan merupakan tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Deetz 1967: 7).

Dalam kaitannya dengan ilmu arkeologi, sejarah kebudayaan merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penelitiannya. Sejarah kebudayaan adalah gambaran kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Upaya ini dilakukan dengan cara mendeskripsi dan mengklasifikasi bukti-bukti kehidupan masa lalu. Tujuan ini melahirkan sejarah kebudayaan yang mencoba menyusun kerangka pertumbuhan dan perkembangan bentuk kebudayaan masa lalu. Dalam usaha untuk mencapai tujuan pertama ini, para peneliti berusaha untuk menemukan, mengenali, dan melukiskan bentuk-bentuk kebudayaan materi, baik yang ditemukan dalam keadaan utuh maupun fragmentaris.

Salah satu suatu media pencerminan kebudayaan adalah arsitektur, karena pada dasarnya arsitektur merupakan wujud dari pola tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan sebagai tempat bernaung untuk melindungi dirinya dari gangguan-gangguan dan bahaya alam. Sebagai hasil karya manusia, arsitektur sangat dipengaruhi oleh geografi, geologi, iklim, keadaan sosial, agama dan falsafah kepercayaan, serta sejarah (Oesman 1996: 5). Dengan demikian sebuah karya arsitektur yang merupakan hasil pola pikir manusia masa lalu adalah salah satu obyek penelitian arkeologi.

Pembahasan

Hubungan Bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang Darussalam dimulai pada awal abad XVII M ditandai dengan penandatanganan kontrak perdagangan komoditi lada dan timah dimana pihak Belanda memiliki hak sepenuhnya atas perdagangan kedua komoditi tersebut sementara untuk pengelolaan perkebunan lada dan penambangan timah dibawah pengawasan Kesultanan Palembang Darussalam. Meskipun perjanjian mengenai hak monopoli dagang tersebut telah ditandatangani, pihak kesultanan terkadang juga melakukan transaksi dagang dengan pihak lain. Kenyataan ini yang memicu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Palembang Darussalam menjadi tidak baik (Hanafiah (ed.) 2002).

Pada masa awal monopoli Belanda dalam perdagangan lada dan timah di Sumatera Selatan tersebut sering terjadi konflik-konflik di kawasan tersebut yang akhirnya mengakibatkan diserang dan dibakarnya Keraton Kutogawang oleh pihak Belanda. Penyerangan ini menyebabkan dipindahkannya keraton ke wilayah lain, yaitu di Beringin Janggut pada tahun 1675 (Hanafiah (ed.) 2002).

Selama terjalinnya hubungan dagang antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Bangsa Eropa baik Belanda maupun Inggris telah terjadi beberapa konflik senjata yang dikarenakan kenyataan bahwa pihak Kesultanan Palembang Darussalam berkeberatan akan hak monopoli dagang yang dikuasai oleh bangsa-bangsa tersebut. Puncak dari konflik tersebut adalah penyerahan kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1823 kepada pemerintah Hindia-Belanda (Hanafiah (ed.) 2002).

Setelah dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam, wilayah Sumatera Selatan dijadikan daerah administrasi Hindia-Belanda yang dipimpin oleh seorang residen. Pusat administrasi dilokasikan di sekitar Benteng Kuto Besak, yaitu bekas Keraton Kuto Lamo. Di lokasi ini didirikan sebuah bangunan baru yang diperuntukan sebagai kediaman residen. Pada masa ini Benteng Kuto Besak dialihfungsikan menjadi instalasi militer dan tempat tinggal komisaris Hindia-Belanda, pejabat pemerintahan dan perwira militer. Pemukiman di dekat keraton yang dulunya merupakan tempat tinggal bangsawan Kesultanan pada masa ini ditempati oleh perwira-perwira dan pegawai Hindia-Belanda (Sevenhoven 1971: 14).

Pembangunan fisik Kota Palembang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dimulai pada awal abad XX M. Berdasarkan UU Desentralisasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, Palembang ditetapkan menjadi Gemeente pada tanggal 1 April 1906 dengan Stbl no 126 dan dipimpin oleh seorang burgemeester, yang dalam struktur pemerintahan sekarang setara dengan walikota. Meskipun demikian burgemeester pertama Kota Palembang baru diangkat pada tahun 1919, yaitu L G Larive.

Secara khusus bangunan-bangunan dari masa kolonial masih dapat ditemukan di sepanjang Jl Merdeka dan kawasan Talangsemut. Bangunan-bangunan pada masa itu, baik bangunan rumah tinggal maupun bangunan umum terutama didirikan dengan gaya arsitektur Art Deco yang merupakan tren pada saat itu. Ciri-ciri gaya arsitektur tersebut adalah berbentuk kaku dan bagian depannya dihiasi oleh bentuk-bentuk geometris yang cukup dominan (Blumenson 1977: 77). Selain gaya arsitektur art deco, beberapa bangunan juga dibangun dengan gaya arsitektur de Stijl, yaitu gaya arsitektur ini mempunyai ciri pada atap yang berupa plat beton yang mendatar. Pada bagian bawah atap terdapat plat beton yang berfungsi sebagai teritis yang mengelilingi badan bangunan. Bangunan bergaya arsitektur de Stijl umumnya tidak memiliki elemen dekoratif (Heuken dan Pamungkas 2001: 63).

Bangunan-bangunan umum yang memiliki gaya arsitektur art deco antara lain dapat dilihat pada Kantor Walikota Palembang, Kantor Telkom, Balai Pertemuan, Hotel Musi, Balai Prajurit (Societeit), Gedung ex BP7, Kantor Keuangan Kodam II Sriwijaya, Markas Kodim 044 Garuda Dempo. Sedangkan bangunan umum yang bergaya arsitektur de Stijl adalah Gereja Siloam dan Kantor PMI.

Bangunan rumah yang bergaya arsitektur art deco umumnya terbagi dua bagian yaitu bangunan induk dan bangunan tambahan yang berada di bagian belakang atau samping bangunan induk. Secara keseluruhan bentuk dasar dari atap bangunan di Talangsemut berupa tipe atap perisai, hipped-roof, gambrel-roof dan atap pelana. Pada beberapa rumah yang memiliki atap perisai dibagian puncak atap terdapat hiasan kemuncak yang berbentuk balok. Sebagian rumah yang beratap hipped-roof ada yang memiliki hiasan gable di bagian depannya. Pada bagian tengah gable terdapat lubang angin berbentuk persegi atau lubang-lubang persegi yang disusun secara vertikal.

Rumah tinggal yang mempunyai gaya arsitektur de Stijl umumnya mempunyai bentuk dasar kotak dan berlantai dua atau tiga. Selain itu rumah-rumah tersebut tidak memiliki hiasan yang ramai sehingga terkesan sederhana.

Elemen-elemen yang mendominasi bangunan-bangunan kolonial di Kota Palembang adalah bentuk lubang angin dan tiang. Bentuk lubang angin pada bangunan-bangunan tersebut umumnya berupa lubang persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris yang berbentuk persegi atau bujursangkar. Tiang pada bangunan-bangunan tersebut biasanya berbentuk persegi. Pada bagian atas tiang atau bagian tengah tubuh tiang terdapat hiasan profil. Keberadaan tiang ini berfungsi sebagai penyangga atap kanopi teras depan. Selain itu ornamen dekoratif yang umum terdapat pada bangunan bergaya art deco adalah kaca patri.

Selain Art deco dan de Stijl terdapat juga gaya arsitektur yang merupakan perpaduan gaya arsitektur lokal dan gaya arsitektur Eropa yang dikenal dengan istilah gaya Indis. Yang dimaksud gaya arsitektur lokal adalah gaya arsitektur yang berkembang di suatu daerah sebelum bangsa Eropa datang ke daerah tersebut (Sukiman, 2000).

Tidak hanya di Kota Palembang saja tetapi hampir di seluruh bagian Sumatera Selatan gaya arsitektur ini cukup berkembang pesat. Gaya Indis di Sumatera Selatan terlihat dari bentuk rumah yang berupa rumah limas atau rumah panggung biasa tetapi ornamen-ornamen dekoratifnya bergaya Eropa.Bangunan-bangunan bergaya Indis yang terdapat di Kota Palembang terdapat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II; rumah-rumah tinggal di pemukiman kelompok etnis Arab di Kelurahan Kuto Batu, Kecamatan Ilir Timur I dan Kelurahan 11 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II; rumah Kapiten Cina di Kelurahan 7 Ulu Kecamatan seberang Ulu II serta beberapa rumah di Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang.

Penutup

Seperti yang kita ketahui kebudayaan dapat dikatakan sebagai tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan suatu wilayah merupakan salah satu faktor dalam menentukan pola tingkah laku manusia yang menempatinya.

Sebagai contoh yang menggambarkan bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Rumah dapat dikatakan juga sebagai salah satu dari wujud kebudayaan karena merupakan hasil karya manusia. Sebagai bagian dari suatu sistem selain merupakan hasil karya manusia  terdapat juga norma-norma  yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam mendirikan sebuah rumah.

Terjadinya kontak budaya dengan bangsa asing pada akhirnya memperkaya khasanah budaya setempat. Di kawasan Sumatera Selatan perpaduan budaya Eropa dengan budaya setempat tersebut antara lain dapat dilihat pada penerapan gaya arsitektur Eropa pada bangunan-bangunannya. Berdasarkan tipologi seperti yang diuraikan sebelumnya bangunan rumah tinggal  tidak termasuk dalam tipe manapun; sedangkan bangunan yang berfungsi sebagai bangunan umum di Kota Palembang masih termasuk dalam tipe 3. Tipologi bangunan rumah tinggal di Sumatera Selatan tersebut sebenarnya merupakan tipologi tersendiri yang berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia pada awal abad XX M.

Adanya perubahan tersebut membuktikan bahwa keadaan lingkungan juga mempengaruhi pola tingkah laku manusia yang menempatinya. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada penerapan gaya art deco dan de Stijl pada bentuk bangunan yang dipadukan dengan lubang angin yang berbentuk persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris yang berbentuk persegi atau bujursangkar. Penggunaan lubang angin ini dikarenakan kondisi iklim Indonesia yang merupakan daerah tropis sehingga jelas terlihat bahwa bangsa Eropa tidak serta merta menerapkan gaya arsitektur Eropa pada rumah tinggalnya tetapi juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya kontak budaya yang terjadi antara dua kelompok masyarakat yang saling berbeda dapat juga menghasilkan corak tertentu dalam kebudayaan masyrakat setempat tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya. Pada masa kolonial hal tersebut terlihat pada munculnya gaya Indis, yaitu berpadunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan Eropa. Pada bangunan rumah tinggal  di Sumatera Selatan, perpaduan itu terlihat pada bentuk rumah yang berupa rumah limas atau rumah panggung biasa tetapi ornamen-ornamen dekoratifnya bergaya Eropa.

Bangunan-bangunan umum di Kota Palembang pada dasarnya sama seperti bangunan-bangunan umum lainnya di Indonesia yang didirikan pada awal abad XX M. Bangunan tersebut umumnya menerapkan gaya arsitektur Eropa secara utuh. Hal ini dikarenakan kepemilikan yang merupakan milik pemerintah Hindia-Belanda maka dibangun sedemikian rupa sehingga mencerminkan kewibawaan dan kekuasaan Bangsa Eropa di daerah koloninya. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk legitimasi kekuasaan Kerajaan Belanda di Indonesia.

Daftar Pustaka

Blumenson, John J G,  1977, Identifying American Architecture. New York: WW Norton & Company.
Deetz, James, 1967, Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press.
Fagan, Brian M, 1991, In The Beginning: An Introducing to Archaeology. 7th edition. New York: Harper Collins Publisher.
Hanafiah, Djohan, 1988, Palembang Zaman Bari. Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang.
-----------(ed.), 2002, Perang Palembang Melawan VOC. Jakarta: Millennium Publisher.
Heuken S J, Adolf dan Grace Pamungkas, 2001, Menteng, 'Kota taman' pertama di Indonesia. Jakarta Yayasan Cipta Loka Caraka.
Koentjaraningrat, 1983, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
nn, 2004, Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delta Pamungkas.
Oesman, Osrifoel, 1996, "Rekonstruksi Bangunan Hunian di Situs Trowulan. Suatu Kajian           terhadap Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhinya" dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII, Cipanas, 12 - 16 Maret 1996.
Purwanti, Retno dan Eka Asih P T, 1995, " Situs-Situs Keagamaan di Palembang: Suatu Tinjauan Kawasan dan Tata Letak" dalam Berkala Arkeologi tahun XV - Edisi Khusus - 1995 hal. 65-69.
Sevenhoven, J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.
Shahrer, Robert J. dan Wendy Ashmore, 1979, Fundamental of Archaeology. California: Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.
Sukiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVII - Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Sumintardja, Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
Tim Penelitian Arkeologi Palembang, 1992. Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang tahun 1984 - 1992 (belum diterbitkan).
Utomo, Bambang Budi, 1993, "Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, hal. B4-1 - B4-9.


[1] Berdasarkan perkembangan budayanya masa prasejarah dibagi menjadi tiga, yaitu paleolitik, mesolitik, neolitik. Beberapa ahli arkeologi mencoba membagi perkerangkaan prasejarah berdasarkan subsistensi, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masa bercocoktanam dan masa perundagian. Dalam pelaksanaannya pembagian perkerangkaan berdasarkan subsistensi ini agak sulit diterapkan karena pada kenyataan banyak artefak-artefak dari masa yang lebih tua ternyata  masih dipergunakan pada masa selanjutnya. Bahkan sampai pada masa sejarah pun beberapa artefak dan tradisi dari masa prasejarah terkadang masih dilakukan. Dalam arkeologi sejarah, pembagian juga dapat dilakukan berdasarkan pembabakan waktu, yaitu masa Hindu-Buddha, masa Islam dan Kolonial. Masa Hindu-Buddha atau dikenal juga dengan istilah masa Klasik berlangsung pada saat agama Hindu dan Buddha berkembang di Indonesia; masa Islam berlangsung pada saat awal masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia; sedangkan masa Kolonial berlangsung pada saat mulai adanya hubungan langsung Bangsa Eropa dengan Bangsa Indonesia.


Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban di Sumatera Selatan” Palembang: Balai Arkeologi Palembang, hal. 127-136, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar