Kamis, 19 Mei 2011

Prinsip-Prinsip Arkeologi dalam Pelestarian Bangunan Kuno

I

Dalam kaidah arkeologi, pelestarian dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah hilangnya data arkeologi yang berkaitan dengan keberadaan suatu bangsa. Masalah pelestarian tinggalan arkeologi pada dasarnya bukan suatu pekerjaan yang mudah karena dalam kenyataannya dalam kegiatan ini dibutuhkan kerjasama yang baik antara instansi arkeologi dengan pihak-pihak terkait seperti pemerintah daerah setempat, masyarakat umum dan lembaga-lambaga sosial masyarakat yang menaruh perhatian terhadap sejarah budaya. Terkadang kegiatan pelestarian berbenturan dengan kepentingan lain, seperti pembangunan kawasan industri, perumahan, dan sebagainya sehingga permasalahannya menjadi kompleks.

Salah satu tinggalan arkeologi yang cukup sering mengalami permasalahan dalam kegiatan pelestarian adalah bangunan-bangunan yang berasal dari masa kolonial Belanda, yang umumnya dikenal dengan istilah ‘bangunan kuno’. Sebagai tinggalan arkeologi maka bangunan kuno sudah seharusnya dilindungi dan dijaga kelestariannya karena bangunan kuno mengandung nilai penting baik dari segi kesejarahan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, maupun sosial ekonomi. Ditinjau dari segi kesejarahan, bangunan kuno bernilai penting karena berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh sejarah tertentu baik lokal maupun nasional; dari segi ilmu pengetahuan, obyek warisan budaya dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti arkeologi, arsitektur, antropologi atau sosiologi; dari segi kebudayaan, bangunan kuno merupakan pendukung keberadaan dan kelangsungan kebudayaan masyarakat setempat; dan akhirnya dari segi sosial ekonomi, bangunan kuno dapat dijadikan simbol kebanggaan daerah atau dimanfaatkan menjadi sesuatu yang dapat membantu perekonomian masyarakat setempat, pemerintah daerah bahkan pusat.

Kelestarian bangunan kuno terancam karena umumnya berada di lokasi yang cukup strategis sehingga terkadang nilai ekonomis mengalahkan nilai-nilai lain yang dimilikinya. Pelestarian bangunan kuno pada dasarnya dilandasi oleh dua hal yaitu selain memiliki nilai historis, bangunan tersebut juga memiliki nilai estetis gaya arsitektur tertentu yang berkembang pada saat bangunan tersebut didirikan.

Apresiasi masyarakat dalam melestarikan bangunan kuno sangat diperlukan karena sampai saat ini masih ada opini sebagian masyarakat bahkan para pengambil keputusan yang menganggap bahwa bangunan kuno merupakan warisan bangsa penjajah. Pemikiran tersebut seharusnya disingkirkan karena pada kenyataannya masa kolonial juga merupakan bagian dari lembaran sejarah bangsa Indonesia.

II

Dalam pelestarian bangunan kuno dan tinggalan arkeologi lainnya, pemerintah telah menyusun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (BCB) serta peraturan dan beberapa keputusan menteri yang mengatur tentang pelaksanaan pelestarian BCB. Selain itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah juga bertanggungjawab ataspengelolaan sektor kebudayaan .

Secara umum pelestarian terdiri dari empat kegiatan, yaitu penelitian, perlindungan, pemeliharaan, dokumentasi/publikasi. Kegiatan penelitian adalah upaya menemukenali kembali benda cagar budaya dalam upaya mencari bentuk-bentuk kebudayaan dengan deskripsi dan klasifikasi bukti-bukti kehidupan masa lalu, mencari fungsi-fungsi tinggalan arkeologi dalam kebudayaan serta memahami proses perubahan kebudayaan dengan menjawab bagaimana dan mengapa terjadi proses perubahan kebudayaan. Kegiatan perlindungan adalah upaya untuk melindungi keberadaan BCB dari kepunahan melalui kegiatan-kegiatan seperti penyelamatan BCB secara fisik, mengamankan BCB berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku serta mengeluarkan perijinan jika BCB tersebut akan dimanfaatkan.

Kegiatan pemeliharaan adalah upaya untuk menjaga keberadaan BCB secara fisik sehingga tidak terancam dari kepunahan baik yang disebabkan oleh manusia atau alam. Kegiatan ini terdiri dari dua jenis, yaitu perawatan, jika BCB tidak mengalami kerusakan, dan pemugaran, jika BCB telah mengalami kerusakan. Dalam pelaksanaannya kegiatan pemeliharaan tidak hanya dapat dilaksanakan oleh instansi bidang arkeologi tetapi juga dapat dilaksanakan oleh pemilik atau penguasa BCB seperti perorangan/pribadi, LSM, pemerintah daerah setempat atau instansi swasta. Dalam kegiatan pemugaran terdapat lima kegiatan yang dapat dilakukan berdasarkan tingkat kerusakan BCB, yaitu konservasi, konsolidasi, rehabilitasi, rekonstruksi, dan restorasi.

Meskipun semua pihak dapat melakukan pemugaran terhadap BCB, tetapi pihak pemugar harus mematuhi prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letaknya. Dalam beberapa kasus, bahan BCB terkadang harus diganti dengan bahan yang baru. Keadaan ini dapat dilakukan dengan memberi tanda pada bahan baru tersebut pada saat pemugaran berlangsung. Terkadang perubahan interior juga terjadi pada bangunan kuno yang mengalami pengalihan fungsi. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan catatan pihak pemugar tidak mengubah tampak muka dari bangunan kuno tersebut.

Kegiatan selanjutnya adalah dokumentasi/publikasi yang terdiri dari kegiatan pendaftaran dan publikasi. Kegiatan pendaftaran merupakan upaya pengumpulan data mengenai BCB yang dimiliki oleh setiap orang dalam rangka pelestarian dan pemanfaatannya. Kendala yang umum terjadi pada kegiatan ini adalah seringnya masyarakat enggan melaporkan pada instansi terkait jika mereka memiliki BCB. Keengganan ini dikarenakan adanya anggapan yang salah bahwa masyarakat masih banyak beranggapan bahwa setiap benda peninggalan masa lalu atau benda kuna pasti benda cagar budaya (BCB), sehingga benda tersebut pasti bernilai tinggi/mahal dan negara diharapkan atau harus memberi gantirugi atau membeli.

Selain itu masih banyak juga anggapan apabila mereka memiliki atau menemukan benda kuna akan ditangkap polisi, kemudian dihukum dan bendanya disita negara dan seterusnya. Pengertian yang salah tersebut terus merebak dan bahkan disalahgunakan oleh oknum untuk mengelabui atau membohongi masyarakat agar benda tersebut tidak dilaporkan kepada yang berwajib, pamrihnya mereka menginginkan benda tersebut untuk kepentingan sendiri. Pada kenyataannya kepemilikan BCB cukup dilaporkan saja kepada instansi terkait. Pemilik dapat menjual BCB yang dimilikinya kepada orang lain tetapi harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang.

Sebagai salah satu upaya penyebarluasan informasi budaya, dalam pelestarian BCB dilakukan juga kegiatan publikasi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memberikan pemahaman pada masyarakat tentang sejarah budaya baik lokal maupun nasional dalam rangka pemupukan kebanggaan nasional dan memperkokoh jatidiri bangsa.

III

Pembangunan yang tengah berlangsung di Indonesia memberi dampak yang sangat terasa dalam kehidupan kota. Dampak tersebut terlihat jelas merupakan akibat dari pembangunan fisik kota yang terkesan hanya berorientasi pada nilai ekonomis saja. Dengan berdalih pada prinsip efisiensi terkadang perancanaan kota menomorduakan aspek-aspek historis kota tersebut. Keadaan ini tentunya sangat mengancam kelestarian bangunan-bangunan kuno yang merupakan salah satu bukti dalam perjalanan sejarah suatu masyarakat.

Mempertahankan warisan budaya pada dasarnya juga merupakan bagian dari pembangunan, karena itu diperlukan kesamaan konsep dalam pengelolaan warisan budaya tersebut. Anggapan bahwa bangunan kuno merupakan warisan bangsa penjajah sudah seharusnya dihapus sehingga meskipun berada di daerah yang strategis bangunan tersebut tidak dikalahkan oleh bangunan baru. Bangunan kuno dapat dimanfaatkan kembali sesuai kebutuhan saat ini dengan beberapa inovasi sehingga terlihat lebih serasi dengan lingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

Kasnowihardjo, Gunadi, 2001. Manajemen Sumber Daya Arkeologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

nn, 1997, Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

nn. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

nn 2003. Rancangan Standar Pelayanan Minimal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Dalam Perlindungan, Pengembangan, Pembinaan dan Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.


Artikel ini telah diterbitkan di Jurnal Arkeologi "Siddhayatra" vol 10 Nomor 1 Mei 2006