Pendahuluan
Sumber-sumber sejarah memberi
informasi bahwa tumbuh dan berkembangnya perdagangan maritim
di Asia dipicu oleh pertumbuhan
dan perkembangan imporium-imporium besar di bagian barat dan timur benua Asia (Poesponegoro
1993: 121-122). Di barat Asia terdapat emporium
Islam di bawah kekuasaan Bani Umayyah (660--749 M) kemudian Bani Abbasiyah (750--870
M), sedangkan di bagian timur terdapat kekaisaran Cina dibawah kekuasaan
Dinasti Tang (618--907 M). Di kawasan Asia Tenggara berkuasa Kerajaan Sriwijaya
yang merupakan kerajaan maritim yang mendominasi perdagangan di Selat Malaka
pada abad 7 – 11 M.
Aktivitas perdagangan melalui
laut di kawasan ini diketahui sejak sekitar abad 6--7 M. Dalam pelayarannya, pedagang-pedagang
tersebut singgah di kota-kota pelabuhan untuk menjual barang-barang dari negeri
mereka dan membeli barang-barang yang dijual di kota pelabuhan tersebut untuk
dijual kembali di kota pelabuhan berikutnya, termasuk kota-kota pelabuhan di
nusantara. Masuknya wilayah nusantara sebagai bagian dari jaringan perdagangan
antar-samudera mempunyai kaitan erat dengan rempah-rempah yang banyak dihasilkan
di wilayah ini. Motivasi pelayaran pedagang-pedagang asing tersebut terutama
untuk memperoleh komoditas sedekat mungkin dengan sumbernya.
Tidak hanya kapal-kapal asing saja yang datang ke nusantara, pada masa
itu Kerajaan Sriwijaya yang berada di pantai timur Sumatera juga mempunyai
peran dalam jaringan perdagangan di kawasan Asia Tenggara (Poesponegoro 1993:
122; Utomo 2006: 1-2). Selain perdagangan antar-samudera, di nusantara sendiri
telah berlangsung perdagangan antar-pulau yang dilakukan oleh penduduk lokal.
Berdasarkan data sejarah jalur pelayaran di wilayah perairan nusantara
bagian barat yang paling sering dilayari adalah Selat Malaka, Selat Bangka,
Selat Gelasa serta Selat Karimata. Dalam pelayarannya tidak jarang kapal-kapal
dagang tersebut diserang oleh perompak, Berita-berita Cina dan Arab cukup
banyak menuliskan bahwa laut antara Pulau Batam dan Bangka tidak banyak
dilayari karena sering terjadi gangguan perompak. Selain itu di perairan
tersebut relatif lebih dangkal dibanding kawasan perairan lainnya (Atmodjo,
2000: 3).
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan potensi arkeologi yang
terdapat perairan Kepulauan Bangka Belitung.
Kepulauan Bangka Belitung dalam lalu lintas
pelayaran nusantara
Keletakan geografis nusantara
menjadikan wilayah ini memiliki sistem angin musim. Pada bulan September sampai
dengan November arah angin bertiup dari barat menuju timur sehingga dengan
memanfaatkan fenomena alam ini pada bulan-bulan tersebut merupakan waktunya
kapal-kapal dari wilayah barat berlayar menuju kota-kota pelabuhan hingga ke
kawasan timur nusantara. demikian juga sebaliknya pada bulan Desember sampai
dengan Februari. Dalam bulan Juni sampai dengan Agustus angin Laut Cina Selatan
bertiup ke arah utara sehingga memudahkan pelayaran ke wilayah utara. (Poesponegoro,
1993: 102-103).
Secara geografis Kepulauan Bangka Belitung berada di antara dua lautan
besar, yaitu Laut Natuna di bagian utara dan Laut Jawa di bagian selatan.
Sedangkan di bagian barat terdapat Selat Bangka yang memisahkan Pulau Bangka
dengan Pulau Sumatera serta di bagian timur terdapat Selat Karimata yang
memisahkannya dengan Pulau Kalimantan serta di antara Pulau Bangka dan Pulau
Belitung dipisahkan oleh Selat Gelasa.
Berdasarkan keletakannya tersebut terlihat bahwa posisi Kepulauan Bangka
Belitung berada di perlintasan kapal-kapal dagang yang berlayar dari arah Selat
Malaka maupun Laut Cina Selatan menuju kota-kota pelabuhan di pantai utara
Jawa, pantai selatan Kalimantan hingga kawasan timur nusantara. Demikian juga
sebaliknya ketika kapal-kapal tersebut berlayar kembali ke Selat Malaka atau
Laut Cina Selatan, mereka akan melintasi Kepulauan Bangka-Belitung.
Secara umum Kepulauan Bangka Belitung ini memiliki dua pulau besar yaitu
Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil yang mengelilingi kedua
pulau tersebut. Luas perairan secara
keseluruhan memiliki luas 65.301 km2.
Pembahasan
Sumber sejarah yang menyebutkan bahwa perairan di wilayah ini merupakan
jalur perlintasan dari Laut Cina Selatan maupun Selat Malaka antara lain peta Mao K’un yang dibuat oleh Ma Huan pada
tahun 1422 dan Shun Feng Hsian Sung
yang merupakan panduan pelayaran pelaut-pelaut Cina yang ditulis sekitar tahun
1620 menyebutkan bahwa Bukit Menumbing yang terletak di pantai barat Pulau
Bangka merupakan penanda bahwa kapal-kapal yang berlayar dari utara menuju Laut
Jawa telah memasuki Selat Bangka (Wolter 1979:34-35).
Pelaut-pelaut Portugis pada abad ke 16 M juga memasukan perairan Bangka
Belitung terutama Selat Bangka dalam Roteiros
yang merupakan buku panduan pelayaran. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa
terdapat 3 titik yang merupakan penanda jika kapal telah memasuki Selat Bangka
yaitu Bukit Menumbing, Pulau Nangka dan Tanjung Berani. Digambarkan juga bahwa
perairan Selat Bangka yang lebih dekat dengan Pulau Sumatera cenderung lebih
dangkal dan berlumpur sedangkan perairan yang
lebih dekat dengan Pulau Bangka banyak terdapat gosong karang (Manguin 1984:
18)
Selain itu Tome Pires dalam catatan perjalanannya yang ditulis antara
tahun 1512-1515 menyebutkan bahwa di bagian akhir selat Bangka terdapat Pulau
Lucipara. Dalam catatan tersebut Pulau Lucipara merupakan titik penanda di
kawasan tersebut menuju Kerajaan Sunda, Kepulauan Mandalika, Pelabuhan Jepara
dan Kepulauan Maluku (Cortesao 1944:157)
Data tertulis lainnya adalah Direction
for Sailing to The East Indies yang ditulis oleh James Horsburgh pada tahun
1848. Dalam buku tersebut ditulis bahwa telah terjadi peristiwa kapal yang
tenggelam di dekat Karang Belvidere di perairan Selat Gelasa, selat antara
Pulau Bangka dan Pulau Belitung, karena menabrak karang. Kapal tersebut berupa
Junk Cina bernama Tek Sing yang berlayar dari Amoy pada tanggal 14 Januari 1822
menuju Batavia (Pickford dan Hatcher 2000: 6).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat dikatakan Kepulauan Bangka
Belitung terletak di lintasan pelayaran yang menghubungkan daratan Asia dengan
Nusantara. Meskipun data sejarah menyebutkan bahwa perairan di wilayah ini
merupakan jalur perdagangan maritim pada abad 15 M, bukti arkeologi menunjukkan
bahwa di wilayah ini telah menjadi jalur perdagangan maritim sejak masa yang
lebih tua, yaitu abad 9 M. Hal ini didasari oleh analisis terhadap temuan
keramik dari situs kapal tenggelam di perairan Kepulauan Bangka Belitung.
Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, terdapat 21 titik
lokasi kapal tenggelam di perairan Bangka belitung (Yuzerman 2008). Direktorat
Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sendiri telah
mendata situs-situs arkeologi bawah air di Kabupaten Belitung antara lain di
perairan Desa Sungai Padang Kecamatan Sijuk, perairan Batu Hitam, perairan
Pulau Siadung dan perairan Karang Raya (Listiyani 2008: 3). Berdasarkan
titik-titik yang terdata oleh Departemen Kelautan dan Direktorat Peninggalan
Bawah Air tersebut, terlihat, lokasi kapal tenggelam tersebut menyebar di
seluruh perairan Bangka Belitung. Keadaan ini karena perairan yang mengelilingi pulau tersebut
sejak masa lalu merupakan jalur pelayaran yang cukup ramai bahkan hingga saat
ini. Keberadaan kapal-kapal tenggelam
beserta muatannya tersebut memberikan bukti bahwa perairan Bangka Belitung
memiliki peranan yang cukup penting dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan
antar pulau maupun benua.
Sebagai penunjang aktivitas
pelayaran di kawasan ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah mercusuar
di beberapa pulau kecil dan tanjung di sekitar perairan Bangka Belitung (Foto
1). Pendirian mercusuar ini karena perairan di wilayah ini banyak terdapat gosong
karang sehingga kapal-kapal yang berlayar di perairan tersebut harus dipandu agar
tidak menabrak karang atau karam.
Kronologi dari benda-benda keramik yang ditemukan bersama kapal-kapal
tenggelam di Kepulauan Bangka Belitung berasal dari abad 9 M hingga abad 19 M.
Umumnya berupa keramik-keramik yang berasal dari Cina. Bentuk keramik-keramik
tersebut dari berbagai macam, yaitu guci, buli-buli, piring, mangkuk, cepuk,
cawan dan sendok (Foto 2).
Selain dari Cina, kapal-kapal dagang tersebut juga mengangkut keramik
dari negara-negara produsen lainnya seperti Jepang, Thailand dan Vietnam. Pada masa-masa
berikutnya kapal-kapal dagang tersebut juga membawa benda-benda keramik yang
diproduksi oleh Eropa (Foto 3) (Listiyani 2008: 2-3).
Tinggalan arkeologi yang berasal dari kapal tenggelam sebenarnya tidak
hanya berupa barang-barang komoditi dagang masa lalu saja, tetapi dapat juga
berupa wadah penyimpanan komoditi dagang atau wadah penyimpanan logistik selama
pelayaran maupun kelengkapan kapal itu sendiri, antara lain barang-barang
tembikar seperti kendi yang berfungsi sebagai wadah air atau periuk untuk memasak
selama di pelayaran (Foto 4). Selain itu
tinggalan arkeologi dapat juga berupa benda-benda milik pribadi nakhoda, awak
maupun penumpang kapal.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya kapal tenggelam baik
yang disebabkan oleh alam atau manusia. Faktor alam yang menyebabkan
kapal-kapal tersebut tenggelam adalah serangan badai yang dapat menyebabkan
kapal pecah atau menabrak gosong karang; sedangkan faktor manusia antara lain
disebabkan oleh kebakaran, serangan perompak atau kelebihan muatan.
Penutup
Banyak hal yang dapat
diceritakan dari hasil penafsiran terhadap tinggalan arkeologi yang berasal
dari kapal tenggelam. Tidak hanya mengenai tinggalannya itu sendiri tetapi
dengan pengkajian yang lebih mendalam dapat diketahui pula kegiatan perdagangan
pada masa lalu. Selain itu juga dapat diungkapkan tentang hubungan kebudayaan
atau hubungan politik pada masa lalu yang terjadi antara kerajaan-kerajaan di
nusantara dengan mancanegara.
Tinggalan arkeologi dari kapal tenggelam memiliki nilai ekonomis. Tinggi
rendahnya nilai ekonomis tinggalan tersebut sangat relatif antara lain
dipengaruhi oleh kondisi dan jumlahnya. Semakin langka benda tersebut maka
semakin tinggi nilai ekonomisnya. Di sisi lain 'cerita' yang ada dibaliknya
juga mempengaruhi nilai ekonomisnya.
Tinggalan arkeologi bawah air merupakan kekayaan budaya bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman, pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Pemanfaatan tinggalan arkeologi bawah air untuk kegiatan ekonomi
semata-mata tidak hanya sekedar dapat dijadikan komoditi dagang belaka tetapi
dapat dimanfaatkan juga sebagai obyek wisata bawah air. Sisa-sisa kapal yang
tenggelam seharusnya tidak dibiarkan begitu saja demi mengambil
tinggalan-tinggalan di dalamnya, karena sisa-sisa kapal tersebut juga merupakan
obyek yang tak kalah menarik selain terumbu karang dan objek-objek bawah air
lainnya dalam kegiatan menyelam.
Daftar Pustaka
Atmodjo, Junus Satrio, 2000, “Sejarah Perdagangan dan Pelayaran Indonesia
Masa Lalu (Abad III-XIII)” Leaflet
Pameran Temuan Harta Karun Bawah Air dalam Sejarah Perdagangan Maritim
Indonesia, Jakarta, 18 – 24 Juli 2000.
Cortesao, Armando, 1944, The Suma Orienta of Tome Pires: An Account of The
East. London : Hakluyt Society
Listiyani, 2008, “Keramik BMKT Hasil Survei Kepurbakalaan di Kabupaten
Belitung”, Relik No 06 September
2008.
Manguin, Piere Yves, 1984, “Garis Pantai Sumatra di selat Bangka: Sebuah
Bukti Baru Tentang Keadaan yang Permanen Pada Masa Sejarah”, Amerta, 8: 17-23).
Pickford, Nigel dan Michael Hatcher, 2000, The Legacy of Tek Sing China’s Titanic- its Tragedy and its Treasure.
Poesponegoro, Marwati Djoened, 1993, Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Utomo, Bambang Budi, 2006, “Kerjasama Iran dan Indonesia dalam
Perspektif Kebudayaan”, www.budpar.go.id
Yuzerman, Budhi, 2008, “Harta Karun di Laut Indonesia”, www.budhiyuzerman12862.blogspot.com
Wibisono, Naniek H, 2006, “Barang-Barang Muatan Kapal Karam Aset Budaya
dan Ekonomi”, www.budpar.go.id
Widiati, R, 2007, Katalog
Peninggalan Bawah Air Indonesia. Direktorat Peninggalan Bawah Air
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudaaan dan Pariwisata.
Wolters, OW, 1979, “A Note on Sungsang Village at The Estuary of The
Musi River in Southeastern Sumatra: A Reconsideration of the Historical
Gography of the Palembang Region”, Indonesia,
27: 33-50
Tulisan ini telah diterbitkan dalam “Siddhayatra” Vol. 13 Nomor 2 November 2008 hal. 1-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar