Selasa, 17 April 2012

Sumberdaya Arkeologi di Kawasan Benteng Kuto Besak


1. Pendahuluan

Dalam pengembangan pariwisata di Kota Palembang, sumber daya arkeologi merupakan salah satu potensi daya tarik kota yang dapat digunakan obyek wisata. Kebijakan pemerintah Kota Palembang dalam program penataan kawasan Benteng Kuto Besak merupakan upaya  menjadikan Kota Palembang sebagai Kota Wisata Budaya. Kawasan ini telah menjadi pusat pemerintahan Kota Palembang sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Sebagai obyek wisata, Kawasan Benteng Kuto Besak dapat dikatakan menarik karena sampai saat ini pun kawasan tersebut tetap difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kota Palembang.

Secara geografis Kawasan Benteng Kuto Besak mempunyai batas-batas yang cukup jelas berupa sungai-sungai yang mengelilinginya, yaitu Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk. Meskipun Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk saat ini sudah hilang tetapi polanya masih dapat terlihat, yaitu  Sungai Kapuran menjadi Jl Kapuran dan Sungai Tengkuruk menjadi Jl Sudirman. Beberapa bangunan yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Hindia-Belanda sampai saat ini masih dapat ditemukan di kawasan tersebut.

2. Sumberdaya Arkeologi di Kawasan Benteng Kuto Besak

Benteng Kuto Besak

Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya. Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan ini ditentang oleh Sultan Palembang sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).

Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.

Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.

Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda di masing-masing sisi benteng, begitu juga  dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinidng tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga  bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai oleh profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi oleh celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.

Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu  2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.

Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.

Saat ini Keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya; sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah  gerbang utama Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke XX.

Masjid Agung Palembang

Letak Masjid Agung Palembang berada di sebelah timur laut dari Benteng Kuto Besak dengan jarak ± 150 m. Bangunan yang didirikan tahun 1738 ini telah mengalami beberapa perubahan baik pada masa Kesultanan Palembang Darussalam hingga sekarang. Pada awalnya Masjid Agung Palembang tidak memiliki menara, menara yang terletak di sebelah barat laut mesjid baru dibangun  pada tahun 1758.

Seperti masjid-masjid kuno pada umumnya, denah Masjid  Agung Palembang berbentuk segiempat dengan ukuran 30 x 36 m dilengkapi mihrab yang berada di dinding  barat. Atap masjid berbentuk tumpang, yang terdiri dari dua susun. Pintu masuk terdapat di dinding timur, utara, dan selatan masjid. Di dalam ruang utama masjid terdapat 4 tiang utama  yang berbentuk segi delapan dengan ukuran 0,50 x 0,50 m setinggi 7 meter. Di keliling tiang utama terdapat 12 tiang penunjang. Sama seperti tiang utama, tiang penunjang ini berbentuk segi delapan dan berukuran 0,35 x 0,35 m setinggi 5 m. Sebagian besar dari tiang-tiang tersebut pada bagian bawahnya telah diganti karena rusak.

Pada tahun 1893, pemerintah Hindia Belanda melakukan penambahan teras yang dilengkapi dengan tiang-tiang bergaya doric dan pada ketiga pintu masuk masjid dibentuk seperti gerbang yang beratap pelana yang ditunjang oleh tiang-tiang bergaya doric, tetapi kemudian tahun 1916 ketiga gerbang tersebut dibongkar kembali. Pada sekitar tahun 1938  atap teras yang mengeliling bangunan utama dijadikan satu dengan atap masjid. Pada tahun 1952 di bagian teras masjid didirikan bangunan bertingkat dua sehingga menutupi bangunan utama masjid. Pada tahun tersebut dibangun pintu masuk utama di sisi timur yang berbentuk bangunan berdenah segiempat  dengan atap berbentuk kubah. Tahun 1970 di sebelah timur laut masjid  didirikan menara setinggi 45 m. Pada tahun 2000, bangunan di bagian teras masjid dibongkar dan digantikan dengan sebuah bangunan berlantai 3 yang diletakkan terpisah di sebelah timur masjid. Meskipun dibangun terpisah, bangunan baru tersebut tetap menutupi bangunan utama masjid.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II pada awalnya merupakan rumah tinggal komisaris Hindia Belanda. Bangunan ini didirikan diatas reruntuhan Keraton Kuto Lamo, dibangun pada tahun 1823. Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata dan memiliki gaya Indis. Selain difungsikan sebagai museum, bangunan ini juga digunakan sebagai Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang. Meskipun telah mengalami renovasi tetapi bentuk asli bangunan tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung.

Kantor Walikota Palembang


Bangunan Kantor Walikota Palembang sejak awal telah digunakan sebagai pusat pemerintahan Gemeente Palembang. Bangunan yang dibangun pada tahun 1929 ini didirikan dengan gaya de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar. Selain sebagai kantor pemerintahan, dibagian atas bangunan didirikan menara setinggi 35 m yang difungsikan sebagai penampungan air bersih dengan kapasitas 1200 m3.


Hotel Musi

Bangunan yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai penginapan merupakan hotel yang terbaik di Palembang pada tahun 1930-an. Pada awalnya hotel ini bernama Hotel Schwartz dan dibangun pada tahun 1923 dengan gaya Indis. Secara keseluruhan bangunan terdiri dari dua, yaitu bangunan utama dan bangunan penunjang. Pada bangunan utama terdapat dua bagian, yaitu ruang aula dan kamar tamu yang terdiri dari 20 kamar. Pada bangunan penunjang terdapat beberapa ruangan yang difungsikan sebagai gudang, dapur dan kamar mandi untuk kamar-kamar kelas ekonomi.

Societeit
Penduduk Kota Palembang pada masa kolonial Hindia Belanda menyebut bangunan ini sebagai ‘Rumah Bola’. Bangunan ini didirikan pada tahun 1928 dan merupakan gedung pertemuan warga Kota Palembang keturunan Eropa. Di bagian belakang bangunan terdapat bangunan tambahan yang berfungsi sebagai bangunan pertunjukan. Balai Prajurit ini dibangun denga gaya arsitektur Art Deco dengan ciri khasnya yaitu elemen dekoratif geometris pada dinding eksteriornya. Saat ini bangunan tersebut dikelola oleh KODAM II Sriwijaya dan menjadi ‘Balai Prajurit’.

‘Guguk Pengulon’

‘Guguk Pengulon’ yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung merupakan pemukiman pemuka agama masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam pemukiman penduduk dikelompokan berdasarkan atas keahlian, mata pencaharian dan tempat asal penghuninya. Kelompok pemukiman terkecil dalam struktur pemerintahan pada masa itu adalah guguk, yang pada saat ini setara dengan desa atau kelurahan. Saat ini bisa dikatakan di lokasi ini dapat dikatakan sudah tidak ditemukan lagi tinggalan-tinggalan arkeologinya diakibatkan oleh kebakaran pada tahun 1997 yang menghabiskan hampir seluruh rumah kayu di lokasi tersebut. Keadaan tersebut diperparah lagi pada tahun 2000 dengan dibebaskannya lokasi tersebut untuk dijadikan jalan lingkar Masjid Agung.

3. Pembahasan

Pembangunan yang tengah berlangsung di Indonesia memberi dampak yang sangat terasa dalam kehidupan kota. Dampak tersebut terlihat jelas merupakan akibat dari pembangunan fisik kota yang terkesan hanya berorientasi pada nilai ekonomis saja. Dengan berdalih pada prinsip efisiensi terkadang perancanaan kota menomorduakan aspek-aspek historis kota tersebut. Keadaan ini tentunya sangat mengancam kelestarian bangunan-bangunan kuno yang merupakan salah satu bukti dalam perjalanan sejarah suatu masyarakat.

Kelestarian bangunan kuno terancam karena umumnya berada di lokasi yang cukup strategis sehingga terkadang nilai ekonomis mengalahkan nilai-nilai lain yang dimilikinya. Pelestarian bangunan kuno pada dasarnya dilandasi oleh dua hal yaitu selain memiliki nilai historis, bangunan tersebut juga memiliki nilai estetis gaya arsitektur tertentu yang berkembang pada saat bangunan tersebut didirikan.

Salah satu tinggalan arkeologi yang cukup sering mengalami permasalahan dalam kegiatan pelestarian adalah bangunan-bangunan yang berasal dari masa kolonial Belanda, yang umumnya dikenal dengan istilah ‘bangunan kuno’. Sebagai tinggalan arkeologi maka bangunan kuno sudah seharusnya dilindungi dan dijaga kelestariannya karena bangunan kuno mengandung nilai penting baik dari segi kesejarahan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, maupun sosial ekonomi. Ditinjau dari segi kesejarahan, bangunan kuno bernilai penting karena berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh sejarah tertentu baik lokal maupun nasional; dari segi ilmu pengetahuan, obyek warisan budaya dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti arkeologi, arsitektur, antropologi atau sosiologi; dari segi kebudayaan, bangunan kuno merupakan pendukung keberadaan dan kelangsungan kebudayaan masyarakat setempat; dan akhirnya dari segi sosial ekonomi, bangunan kuno dapat dijadikan simbol kebanggaan daerah atau dimanfaatkan menjadi sesuatu yang dapat membantu perekonomian masyarakat setempat, pemerintah daerah bahkan pusat.

Mempertahankan warisan budaya pada dasarnya juga merupakan bagian dari pembangunan, karena itu diperlukan kesamaan konsep dalam pengelolaan warisan budaya tersebut. Anggapan bahwa bangunan kuno merupakan warisan bangsa penjajah sudah seharusnya dihapus sehingga meskipun berada di daerah yang strategis bangunan tersebut tidak dikalahkan oleh bangunan baru. Bangunan kuno dapat dimanfaatkan kembali sesuai kebutuhan saat ini dengan beberapa inovasi sehingga terlihat lebih serasi dengan lingkungan sekitarnya.

Salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kelestarian tinggalan arkeologi di Kota Palembang adalah dengan menerbitkan Keputusan Menteri No KM.09/PW.007/MKP/2004, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menetapkan Benteng Kuto Besak sebagai salah satu situs di wilayah Sumatera Bagian Selatan yang merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang.  Sebelum Keputusan Menteri tersebut terbit, pihak Pemerintah Kota Palembang sendiri telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengatur peruntukan kawasan benteng Kuto Besak, yaitu No 3 Tahun 1987 tentang Peruntukan Kawasan Wisata Benteng Kuto Besak dan Sekitarnya di Bagian Wilayah Inti Kota Palembang dan No 8 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 1999-2009.

Selain penerbitan produk hukum, upaya pelestarian tinggalan arkeologi dapat dilakukan juga pemanfaatan. Pemanfaatan tinggalan arkeologi pada dasarnya merupakan upaya  dan kegiatan-kegiatan menggunakan, memakai, atau memfungsikan tinggalan arkeologi sesuai dengan keperluan masyarakat pemilik atau yang menguasainya. Dalam usaha memanfaatkan tinggalan arkeologi tentunya harus diselaraskan dengan kepentingan masa kini tetapi tidak memberikan citra lingkungan yang kontradiksi. Salah satu bentuk pemanfaatan tinggalan arkeologi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang adalah menetapkan kawasan Benteng Kuto Besak menjadi daerah tujuan wisata.

Pada dasarnya usaha jasa pariwisata merupakan kegiatan yang berorientasi mencari keuntungan, dengan demikian pariwisata mempunyai kecenderungan mengikuti perkembangan pasar. Karena itu dengan berubahnya orientasi dalam mengunjungi obyek wisata maka tinggalan-tinggalan arkeologi merupakan aset yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata. Pengembangan tinggalan-tinggalan arkeologi sebagai obyek wisata juga sangat erat kaitannya dalam upaya penyebaran informasi budaya kepada masyarakat luas karena selain berekreasi para wisatawan juga dapat mengetahui sejarah daerah tersebut.

Dalam perspektif arkeologi, pemanfaatan dapat dilakukan sejauh tidak mengubah bentuk atau merusak tinggalan arkeologi tersebut. Agar tidak terjadi pembangunan yang berlebihan terhadap tinggalan arkeologi yang akan dimanfaatkan diperlukan perencanaan yang terpadu untuk menetapkan konsep pengembangan situs dimana tinggalan arkeologi itu berada. Berkaitan dengan hal ini terlihat bahwa beberapa tinggalan arkeologi di kawasan Benteng Kuto Besak terkesan telah mengalami ‘eksploitasi’ bahkan telah hilang sama sekali keasliannya. Kenyataan inti dapat dilihat pada Masjid Agung Palembang, Guguk Pengulon serta area diantara Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Masjid Agung Palembang yang merupakan tempat kejadian pertempuran lima hari lima malam pada perang revolusi tahun 1943.

‘Eksploitasi’ yang dilakukan terhadap Masjid Agung Palembang berupa renovasi bangunan masjid dimana dibagian depannya didirikan bangunan berlantai 3. Meskipun dibangun terpisah, bangunan baru tersebut terlalu besar dan tinggi sehingga menutupi bangunan utama masjid. Hal yang sama juga terjadi pada area di antara Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Masjid Agung Palembang. Demi mengenang pertempuran lima hari lima malam di area tersebut maka dibangunlah sebuah monumen yang sangat besar sehingga terlihat sangat mencolok dibanding bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Monumen tersebut di dalamnya berfungsi juga sebagai museum, tetapi karena bentuknya yang bersudut-sudut menyebabkan interior museum menjadi sangat sempit. Pengerusakan juga terjadi di Guguk Pengulon, area yang merupakan pemukiman pemuka agama masa Kesultanan Palembang Darussalan saat ini telah berubah menjadi jalan lingkar yang mengarahkan kendaraan bermotor dari arah Jembatan Ampera menuju Jl Sudirman.

4. Penutup

Pemanfaatan tinggalan arkeologi menjadi obyek wisata menunjukan bahwa untuk mengembangkan kepariwisataan pemerintah daerah tidak harus bergantung pada keindahan alam saja karena  tinggalan arkeologi merupakan warisan budaya hasil proses sejarah suatu bangsa yang menjadi corak khas suatu daerah. Apresiasi masyarakat dalam melestarikan bangunan kuno sangat diperlukan karena sampai saat ini masih ada opini sebagian masyarakat bahkan para pengambil keputusan yang menganggap bahwa bangunan kuno merupakan warisan bangsa penjajah. Pemikiran tersebut seharusnya disingkirkan karena pada kenyataannya masa kolonial juga merupakan bagian dari lembaran sejarah bangsa Indonesia.

Pemanfaatan tinggalan arkeologi untuk dikembangkan menjadi obyek wisata kota mempunyai keuntungan yang cukup banyak. Dengan mengunjungi obyek wisata tersebut, Pemanfaatan tinggalan arkeologi untuk dikembangkan menjadi obyek wisata kota mempunyai keuntungan yang cukup banyak. Dengan mengunjungi obyek wisata tersebut, selain berekreasi para wisatawan juga dapat mengetahui sejarah daerah tersebut. Dengan kata lain pemanfaatan ini merupakan media untuk menyebarluaskan informasi budaya masa lalu kepada masyarakat luas. Selain itu pemanfaatan tersebut juga dapat dijadikan sumber devisa daerah setempat, tetapi jika pemanfaatan dilakukan tanpa konsep yang benar maka yang terjadi justru terancamnya kelestarian tinggalan arkeologi.

Daftar Pustaka

Hanafiah, Djohan, 1989, Palembang Zaman Bari. Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang.
Kasnowihardjo, Gunadi, 2001, Manajemen Sumber Daya Arkeologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Mujib, 1996, Situs-Situs Arkeologi di Wilayah Seberang Ulu Kotamadya Palembang Provinsi Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Novita, Aryandini dan Darmansyah, Armadi. 2001. Laporan Penelitian Arkeologi di Benteng Kuto Besak Palembang (tidak diterbitkan).
nn, 1990, Undang-Undang Republik Indonesia no 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
nn, 1997, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Cagar Budaya.
Sevenhoven, J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, 2002, Laporan Survei Bangunan Kolonial di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Sumintardja, Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
Raswaty, Retno, 2002, Laporan Kegiatan Inventarisasi BCB Tidak Bergerak Masa Kolonial dan Kesultanan Palembang Darussalam di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Utomo, Bambang Budi, 1993, "Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, hal. B4-1 - B4-9.


Tulisan ini telah diterbitkan dalam “Siddhayatra” Vol. 10 Nomor 2 November 2005 hal. 36 - 42 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar