1. Pendahuluan
Dalam pengembangan pariwisata di Kota Palembang ,
sumber daya arkeologi merupakan salah satu potensi daya tarik kota yang dapat digunakan obyek wisata.
Kebijakan pemerintah Kota Palembang dalam program penataan kawasan Benteng Kuto
Besak merupakan upaya menjadikan Kota
Palembang sebagai Kota Wisata Budaya. Kawasan ini telah menjadi pusat
pemerintahan Kota Palembang sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam. Sebagai
obyek wisata, Kawasan Benteng Kuto Besak dapat dikatakan menarik karena sampai
saat ini pun kawasan tersebut tetap difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kota
Palembang.
Secara geografis Kawasan Benteng Kuto Besak mempunyai batas-batas
yang cukup jelas berupa sungai-sungai yang mengelilinginya, yaitu Sungai Musi,
Sungai Sekanak, Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk. Meskipun Sungai Kapuran
dan Sungai Tengkuruk saat ini sudah hilang tetapi polanya masih dapat terlihat,
yaitu Sungai Kapuran menjadi Jl Kapuran
dan Sungai Tengkuruk menjadi Jl Sudirman. Beberapa bangunan yang berasal dari
masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Hindia-Belanda sampai saat
ini masih dapat ditemukan di kawasan tersebut.
2. Sumberdaya Arkeologi di Kawasan
Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak
Benteng
Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang.
Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang
bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk
Sriwijaya. Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli
perdagangan di Palembang ,
keinginan ini ditentang oleh Sultan Palembang sehingga terjadi perselisihan
yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang
disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan
ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir
sekarang. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I
(1724-1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang
sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Selanjutnya pusat
pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru yaitu yang sampai sekarang
dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).
Secara
spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu
Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang
bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada
di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun
yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati
bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah
dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
antara lain seperti penyerangan mendadak.
Secara
keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x
183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di
tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur
dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk
segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur
laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.
Tembok
keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk
dinding yang berbeda-beda di masing-masing sisi benteng, begitu juga dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur
laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinidng tembok bagian depan
adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang
landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai oleh profil. Sama
dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi oleh
celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung.
Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.
Dinding
tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok
sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu
gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana
bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m
tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu 2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian
utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas
yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.
Dinding
tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok
barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan
bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.
Saat
ini Keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara
kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak
berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara
khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang
Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya;
sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda
adalah gerbang utama Benteng Kuto Besak
dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan
di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada
awal abad ke XX.
Masjid Agung Palembang
Letak Masjid Agung Palembang
berada di sebelah timur laut dari Benteng Kuto Besak dengan jarak ± 150 m. Bangunan
yang didirikan tahun 1738 ini telah mengalami beberapa perubahan baik pada masa
Kesultanan Palembang Darussalam hingga sekarang. Pada awalnya Masjid Agung
Palembang tidak memiliki menara, menara yang terletak di sebelah barat laut
mesjid baru dibangun pada tahun 1758.
Seperti
masjid-masjid kuno pada umumnya, denah Masjid
Agung Palembang berbentuk segiempat dengan ukuran 30 x 36 m dilengkapi
mihrab yang berada di dinding barat.
Atap masjid berbentuk tumpang, yang terdiri dari dua susun. Pintu masuk
terdapat di dinding timur, utara, dan selatan masjid. Di dalam ruang utama
masjid terdapat 4 tiang utama yang
berbentuk segi delapan dengan ukuran 0,50 x 0,50 m setinggi 7 meter. Di keliling
tiang utama terdapat 12 tiang penunjang. Sama seperti tiang utama, tiang
penunjang ini berbentuk segi delapan dan berukuran 0,35 x 0,35 m setinggi 5 m.
Sebagian besar dari tiang-tiang tersebut pada bagian bawahnya telah diganti
karena rusak.
Pada
tahun 1893, pemerintah Hindia Belanda melakukan penambahan teras yang dilengkapi
dengan tiang-tiang bergaya doric dan pada ketiga pintu masuk masjid dibentuk
seperti gerbang yang beratap pelana yang ditunjang oleh tiang-tiang bergaya
doric, tetapi kemudian tahun 1916 ketiga gerbang tersebut dibongkar kembali.
Pada sekitar tahun 1938 atap teras yang
mengeliling bangunan utama dijadikan satu dengan atap masjid. Pada tahun 1952
di bagian teras masjid didirikan bangunan bertingkat dua sehingga menutupi
bangunan utama masjid. Pada tahun tersebut dibangun pintu masuk utama di sisi
timur yang berbentuk bangunan berdenah segiempat dengan atap berbentuk kubah. Tahun 1970 di
sebelah timur laut masjid didirikan
menara setinggi 45 m. Pada tahun 2000, bangunan di bagian teras masjid
dibongkar dan digantikan dengan sebuah bangunan berlantai 3 yang diletakkan
terpisah di sebelah timur masjid. Meskipun dibangun terpisah, bangunan baru
tersebut tetap menutupi bangunan utama masjid.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Museum
Sultan Mahmud Badaruddin II pada awalnya merupakan rumah tinggal komisaris
Hindia Belanda. Bangunan ini didirikan diatas reruntuhan Keraton Kuto Lamo,
dibangun pada tahun 1823. Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa
Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan
Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata dan memiliki gaya Indis. Selain difungsikan sebagai
museum, bangunan ini juga digunakan sebagai Kantor Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota
Palembang .
Meskipun telah mengalami renovasi tetapi bentuk asli bangunan tidak berubah.
Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah
sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung.
Kantor Walikota Palembang
Bangunan
Kantor Walikota Palembang sejak awal telah digunakan sebagai pusat pemerintahan
Gemeente Palembang. Bangunan yang dibangun pada tahun 1929 ini didirikan dengan
gaya de stijl,
yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar. Selain sebagai kantor
pemerintahan, dibagian atas bangunan didirikan menara setinggi 35 m yang
difungsikan sebagai penampungan air bersih dengan kapasitas 1200 m3.
Hotel Musi
Bangunan
yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai penginapan merupakan hotel yang
terbaik di Palembang
pada tahun 1930-an. Pada awalnya hotel ini bernama Hotel Schwartz dan dibangun
pada tahun 1923 dengan gaya
Indis. Secara keseluruhan bangunan terdiri dari dua, yaitu bangunan utama dan
bangunan penunjang. Pada bangunan utama terdapat dua bagian, yaitu ruang aula
dan kamar tamu yang terdiri dari 20 kamar. Pada bangunan penunjang terdapat
beberapa ruangan yang difungsikan sebagai gudang, dapur dan kamar mandi untuk
kamar-kamar kelas ekonomi.
Societeit
Penduduk
Kota Palembang pada masa kolonial Hindia Belanda menyebut bangunan ini sebagai
‘Rumah Bola’. Bangunan ini didirikan pada tahun 1928 dan merupakan gedung
pertemuan warga Kota Palembang keturunan Eropa. Di bagian belakang bangunan
terdapat bangunan tambahan yang berfungsi sebagai bangunan pertunjukan. Balai
Prajurit ini dibangun denga gaya
arsitektur Art Deco dengan ciri khasnya yaitu elemen
dekoratif geometris pada dinding eksteriornya. Saat ini bangunan tersebut
dikelola oleh KODAM II Sriwijaya dan menjadi ‘Balai Prajurit’.
‘Guguk Pengulon’
‘Guguk Pengulon’ yang
terletak di sebelah selatan Masjid Agung merupakan pemukiman pemuka agama masa
Kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam
pemukiman penduduk dikelompokan berdasarkan atas keahlian, mata pencaharian dan
tempat asal penghuninya. Kelompok pemukiman terkecil dalam struktur
pemerintahan pada masa itu adalah guguk, yang pada saat ini setara dengan desa
atau kelurahan. Saat ini bisa dikatakan di lokasi ini dapat dikatakan sudah
tidak ditemukan lagi tinggalan-tinggalan arkeologinya diakibatkan oleh
kebakaran pada tahun 1997 yang menghabiskan hampir seluruh rumah kayu di lokasi
tersebut. Keadaan tersebut diperparah lagi pada tahun 2000 dengan dibebaskannya
lokasi tersebut untuk dijadikan jalan lingkar Masjid Agung.
3. Pembahasan
Pembangunan yang tengah berlangsung di Indonesia
memberi dampak yang sangat terasa dalam kehidupan kota . Dampak tersebut terlihat jelas
merupakan akibat dari pembangunan fisik kota
yang terkesan hanya berorientasi pada nilai ekonomis saja. Dengan berdalih pada
prinsip efisiensi terkadang perancanaan kota
menomorduakan aspek-aspek historis kota
tersebut. Keadaan ini tentunya sangat mengancam kelestarian bangunan-bangunan
kuno yang merupakan salah satu bukti dalam perjalanan sejarah suatu masyarakat.
Kelestarian
bangunan kuno terancam karena umumnya berada di lokasi yang cukup strategis
sehingga terkadang nilai ekonomis mengalahkan nilai-nilai lain yang
dimilikinya. Pelestarian bangunan kuno pada dasarnya dilandasi oleh dua hal
yaitu selain memiliki nilai historis, bangunan tersebut juga memiliki nilai
estetis gaya
arsitektur tertentu yang berkembang pada saat bangunan tersebut didirikan.
Salah
satu tinggalan arkeologi yang cukup sering mengalami permasalahan dalam
kegiatan pelestarian adalah bangunan-bangunan yang berasal dari masa kolonial
Belanda, yang umumnya dikenal dengan istilah ‘bangunan kuno’. Sebagai tinggalan
arkeologi maka bangunan kuno sudah seharusnya dilindungi dan dijaga
kelestariannya karena bangunan kuno mengandung nilai penting baik dari segi
kesejarahan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, maupun sosial ekonomi. Ditinjau dari
segi kesejarahan, bangunan kuno bernilai penting karena berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh sejarah tertentu baik lokal maupun
nasional; dari segi ilmu pengetahuan, obyek warisan budaya dapat digunakan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti
arkeologi, arsitektur, antropologi atau sosiologi; dari segi kebudayaan,
bangunan kuno merupakan pendukung keberadaan dan kelangsungan kebudayaan
masyarakat setempat; dan akhirnya dari segi sosial ekonomi, bangunan kuno dapat
dijadikan simbol kebanggaan daerah atau dimanfaatkan menjadi sesuatu yang dapat
membantu perekonomian masyarakat setempat, pemerintah daerah bahkan pusat.
Mempertahankan warisan budaya pada dasarnya juga
merupakan bagian dari pembangunan, karena itu diperlukan kesamaan konsep dalam
pengelolaan warisan budaya tersebut. Anggapan bahwa bangunan kuno merupakan
warisan bangsa penjajah sudah seharusnya dihapus sehingga meskipun berada di
daerah yang strategis bangunan tersebut tidak dikalahkan oleh bangunan baru.
Bangunan kuno dapat dimanfaatkan kembali sesuai kebutuhan saat ini dengan
beberapa inovasi sehingga terlihat lebih serasi dengan lingkungan sekitarnya.
Salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kelestarian tinggalan
arkeologi di Kota Palembang adalah dengan menerbitkan Keputusan
Menteri No KM.09/PW.007/MKP/2004, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang
menetapkan Benteng Kuto Besak sebagai salah satu situs di wilayah Sumatera
Bagian Selatan yang merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Sebelum Keputusan Menteri tersebut terbit, pihak Pemerintah Kota Palembang
sendiri telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengatur peruntukan kawasan
benteng Kuto Besak, yaitu No 3 Tahun 1987 tentang Peruntukan Kawasan Wisata
Benteng Kuto Besak dan Sekitarnya di Bagian Wilayah Inti Kota Palembang dan No
8 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 1999-2009.
Selain
penerbitan produk hukum, upaya pelestarian tinggalan arkeologi dapat dilakukan
juga pemanfaatan. Pemanfaatan tinggalan arkeologi pada dasarnya merupakan
upaya dan kegiatan-kegiatan menggunakan,
memakai, atau memfungsikan tinggalan arkeologi sesuai dengan keperluan
masyarakat pemilik atau yang menguasainya. Dalam usaha memanfaatkan tinggalan
arkeologi tentunya harus diselaraskan dengan kepentingan masa kini tetapi tidak
memberikan citra lingkungan yang kontradiksi. Salah satu bentuk pemanfaatan
tinggalan arkeologi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang adalah
menetapkan kawasan Benteng Kuto Besak menjadi daerah tujuan wisata.
Pada
dasarnya usaha jasa pariwisata merupakan kegiatan yang berorientasi mencari
keuntungan, dengan demikian pariwisata mempunyai kecenderungan mengikuti
perkembangan pasar. Karena itu dengan berubahnya orientasi dalam mengunjungi
obyek wisata maka tinggalan-tinggalan arkeologi merupakan aset yang sangat
potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata. Pengembangan
tinggalan-tinggalan arkeologi sebagai obyek wisata juga sangat erat kaitannya
dalam upaya penyebaran informasi budaya kepada masyarakat luas karena selain
berekreasi para wisatawan juga dapat mengetahui sejarah daerah tersebut.
Dalam
perspektif arkeologi, pemanfaatan dapat dilakukan sejauh tidak mengubah bentuk
atau merusak tinggalan arkeologi tersebut. Agar tidak terjadi pembangunan yang
berlebihan terhadap tinggalan arkeologi yang akan dimanfaatkan diperlukan
perencanaan yang terpadu untuk menetapkan konsep pengembangan situs dimana
tinggalan arkeologi itu berada. Berkaitan dengan hal ini terlihat bahwa
beberapa tinggalan arkeologi di kawasan Benteng Kuto Besak terkesan telah
mengalami ‘eksploitasi’ bahkan telah hilang sama sekali keasliannya. Kenyataan
inti dapat dilihat pada Masjid Agung Palembang, Guguk Pengulon serta area
diantara Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Masjid Agung Palembang yang
merupakan tempat kejadian pertempuran lima hari lima malam pada perang revolusi
tahun 1943.
‘Eksploitasi’
yang dilakukan terhadap Masjid Agung Palembang berupa renovasi bangunan masjid
dimana dibagian depannya didirikan bangunan berlantai 3. Meskipun dibangun
terpisah, bangunan baru tersebut terlalu besar dan tinggi sehingga menutupi
bangunan utama masjid. Hal yang sama juga terjadi pada area di antara Museum
Sultan Mahmud Badaruddin II dan Masjid Agung Palembang. Demi mengenang
pertempuran lima
hari lima malam
di area tersebut maka dibangunlah sebuah monumen yang sangat besar sehingga
terlihat sangat mencolok dibanding bangunan-bangunan lain di sekitarnya.
Monumen tersebut di dalamnya berfungsi juga sebagai museum, tetapi karena
bentuknya yang bersudut-sudut menyebabkan interior museum menjadi sangat
sempit. Pengerusakan juga terjadi di Guguk Pengulon, area yang merupakan
pemukiman pemuka agama masa Kesultanan Palembang Darussalan saat ini telah
berubah menjadi jalan lingkar yang mengarahkan kendaraan bermotor dari arah
Jembatan Ampera menuju Jl Sudirman.
4. Penutup
Pemanfaatan
tinggalan arkeologi menjadi obyek wisata menunjukan bahwa untuk mengembangkan
kepariwisataan pemerintah daerah tidak harus bergantung pada keindahan alam
saja karena tinggalan arkeologi
merupakan warisan budaya hasil proses sejarah suatu bangsa yang menjadi corak
khas suatu daerah. Apresiasi masyarakat dalam melestarikan bangunan kuno sangat
diperlukan karena sampai saat ini masih ada opini sebagian masyarakat bahkan
para pengambil keputusan yang menganggap bahwa bangunan kuno merupakan warisan
bangsa penjajah. Pemikiran tersebut seharusnya disingkirkan karena pada
kenyataannya masa kolonial juga merupakan bagian dari lembaran sejarah bangsa Indonesia .
Pemanfaatan
tinggalan arkeologi untuk dikembangkan menjadi obyek wisata kota mempunyai keuntungan yang cukup banyak.
Dengan mengunjungi obyek wisata tersebut, Pemanfaatan tinggalan arkeologi untuk
dikembangkan menjadi obyek wisata kota
mempunyai keuntungan yang cukup banyak. Dengan mengunjungi obyek wisata
tersebut, selain berekreasi para wisatawan juga dapat mengetahui sejarah daerah
tersebut. Dengan kata lain pemanfaatan ini merupakan media untuk
menyebarluaskan informasi budaya masa lalu kepada masyarakat luas. Selain itu
pemanfaatan tersebut juga dapat dijadikan sumber devisa daerah setempat, tetapi
jika pemanfaatan dilakukan tanpa konsep yang benar maka yang terjadi justru
terancamnya kelestarian tinggalan arkeologi.
Daftar
Pustaka
Hanafiah, Djohan, 1989, Palembang Zaman Bari . Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang : Humas
Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang .
Kasnowihardjo, Gunadi, 2001, Manajemen Sumber Daya Arkeologi. Makassar : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Mujib, 1996, Situs-Situs Arkeologi di Wilayah
Seberang Ulu Kotamadya Palembang
Provinsi Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Novita, Aryandini dan Darmansyah, Armadi.
2001. Laporan Penelitian Arkeologi di Benteng Kuto Besak Palembang
(tidak diterbitkan).
nn, 1990, Undang-Undang Republik Indonesia no 9
tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
nn, 1997, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia Tentang Cagar Budaya.
Sevenhoven,
J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota
Palembang. Jakarta :
Bhratara.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jambi,
Sumatera Selatan dan Bengkulu, 2002, Laporan Survei Bangunan Kolonial di Kota Palembang Provinsi
Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Sumintardja, Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Bangunan.
Raswaty, Retno, 2002, Laporan Kegiatan Inventarisasi BCB
Tidak Bergerak Masa Kolonial dan Kesultanan Palembang Darussalam di Kota Palembang , Provinsi
Sumatera Selatan (tidak diterbitkan).
Utomo, Bambang Budi, 1993, "Belajar
Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam
Perspektif Arkeologi dan Sejarah, hal. B4-1 - B4-9.
Tulisan ini telah diterbitkan
dalam “Siddhayatra” Vol. 10 Nomor 2 November 2005 hal. 36 - 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar