Pendahuluan
Kota Palembang
merupakan salah satu kota
yang tertua di Indonesia .
Seperti umumnya kota-kota tua di nusantara, Palembang berada di daerah aliran sungai.
Ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini dibelah oleh Sungai Musi yang bermuara di
perairan Selat Malaka. Sungai ini juga merupakan muara dari sungai-sungai yang
3 diantaranya dapat dilayari hingga ke daerah pedalaman, yaitu Sungai
Keramasan, Ogan dan Komering.
Berdasarkan
tinggalan arkeologi diketahui bahwa pemukiman di Kota Palembang telah
berlangsung sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Penelitian arkeologi permukiman di
Kota Palembang yang selama ini dilakukan baru mencakup masa Sriwijaya. Melalui
pendekatan ekologi, diketahui bahwa pada masa itu aspek-aspek permukiman
ditempatkan sesuai kondisi geografis kota
Palembang ,
yaitu di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang berupa sungai dan
rawa (Purwanti dan Taim 1995: 65-69).
Lokasi-lokasi
tersebut kemudian berkembang hingga masa Kesultanan Palembang bahkan hingga
saat ini. Berdasarkan hal ini dan keberadaan situs-situs dari masa Kesultanan,
secara geografis terlihat adanya pola yang sama dalam penempatan lokasi-lokasi
pemukiman di kota
Palembang . Hal
ini dapat terlihat di situs-situs
arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan terkadang juga ditemukan
tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa sebelumnya.
Permasalahan
Dari penelitian-penelitian
sebelumnya disimpulkan bahwa permukiman di Palembang merupakan multi-component site. Hal ini dapat terlihat di situs-situs arkeologi yang berasal dari masa
kesultanan terkadang juga ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa
sebelumnya seperti yang dapat dilihat di wilayah Kelurahan I Ilir dan Kelurahan
Sungaibuah, Kecamatan Ilir Timur II dimana di lokasi ini terdapat tiga situs
yaitu Sabokingking, Gedingsuro dan makam Sultan Agung. Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya di wilayah tersebut diperkirakan merupakan lokasi keraton
pertama kerajaaan Islam di Palembang yang pada uraian-uraian selanjutnya akan
disebut sebagi masa Pra-Kesultanan Palembang Darussalam.
Sebagai suatu pusat pemerintahan
maka tentunya di wilayah ini terdapat beberapa komponen yang merupakan
pendukung dari keberadaan keraton tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini mengenai pola permukiman di kota Palembang pada masa Pra-Kesultanan Palembang
Darussalam.
Tujuan
Dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia, definisi kota
adalah daerah perumahan dan bangunan-bangunan yang merupakan suatu kesatuan
tempat kediaman dan juga merupakan pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi,
kebudayaan, dan sebagainya (1990: 153). Pada dasarnya kota merupakan tempat konsentrasi sejumlah
besar orang, tempat masyarakat tinggal dan bekerja, adanya spesialisasi
pekerjaan atau industri, perdagangan luar negeri dan menjadi pusat pelayanan
bagi daerah-daerah di sekitarnya (Rappaport 1985). Tata kota adalah suatu pengaturan pemanfaatan
ruang kota di mana terlihat fungsi kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi
kebutuhan penduduknya maupun kota itu sendiri.
Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui tata letak aspek-aspek permukiman pada masa awal Kesultanan serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan mengetahui tata letak aspek-aspek permukiman
tersebut diharapkan akan mendapat informasi mengenai pola keruangan di suatu
pusat pemerintahan pada masa Pra-Kesultanan Palembang Darussalam.
Kerangka Teori
Dalam berbagai
definisi kota
tercakup unsur keluasan wilayah, kepadatan penduduk yang bersifat heterogen dan
bermata pencaharian non pertanian, serta fungsi administrasi, ekonomi dan
budaya. Unsur-unsur tersebut kemudian terwujud ke dalam fisik kota yang berupa komponen-komponen kota (Adrisijanti 2000,
3). Komponen-komponen kota
pada tiap-tiap periode berbeda-beda, tergantung dengan kebutuhan masyarakat
waktu itu. Sesuai dengan semakin berkembangnya sebuah kota maka komponen-komponen tersebut terwujud
secara bertahap
Pada umumnya
kota-kota yang berkembang pada masa Islam di Indonesia berdiri di pinggir
sungai atau pantai dan memiliki sistem pertahanan tertentu. Tempat tinggal
penguasa terkadang dikelilingi oleh benteng dengan kegiatan perekonomian
berlangsung di luar benteng. Secara umum ciri-ciri tersebut sesuai dengan
karakteristik kota
Islam yang dikemukakan oleh Hourani, yaitu
- Memiliki benteng,
- Mempunyai kediaman penguasa yang terdiri atas istana, bangunan-bangunan pemerintahan, dan bangunan untuk pasukan pengawal,
- Mempunyai fasilitas umum (civic center) yang terdiri atas masjid, madrasah dan pasar,
- Mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokan atas dasar etnis, agama dan ketrampilan,
- Di luar benteng terdapat perkampungan untuk komunitas dengan beberapa pekerjaan tertentu dan pemakaman (Adrijanti 2000, 27).
Pengetahuan
tentang tata ruang suatu kota
dapat memberi informasi mengenai pola permukiman di suatu wilayah tertentu.
Pola permukiman pada dasaarnya merupakan refleksi lingkungan alam, tingkat
teknologi dan keragaman institusi komunitas yang bersangkutan (Parson 1972:
128; Inayanti 2000: 192). Menurut KC Chang, pola permukiman merupakan cara
bermukim sekelompok manusia dalam hubungan dengan lingkungan fisik karena itu
dalam penelitian mengenai pola permukiman lingkungan fisik dimana permukiman
itu berada merupakan salah satu variabel dalam pokok bahasannya (Chang 1972:
26; Inayanti 2000: 192)
Pembahasan
Pada masa Pra-Kesultanan Palembang Darussalam keraton sebagai pusat pemerintahannya
dibangun di daerah sekitar Kelurahan Sungaibuah dan I Ilir
di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT. PUSRI. Pusat pemerintahan
tersebut dikenal dengan nama Keraton Kuto Gawang. Berdasarkan hasil
kegiatan di lapangan, berhasil diketahui batas-batas Kota Palembang masa Pra-Kesultanan
yang berupa sungai-sungai yang melingkari wilayah tersebut. Batas utara adalah
Sungai Musi, batas selatan adalah Sungai Lunjuk, batas timur adalah Sungai Buah
dan batas barat adalah Sungai Taligawe. Selain itu di bagian tengah Kota
Palembang pada masa awal Kesultanan mengalir Sungai Rengas.
Saat ini batas–batas kota tersebut, kecuali
Sungai Musi, telah mengalami perubahan baik yang disebabkan oleh semakin
padatnya hunian maupun sengaja dialihkan aliran sungainya. Sungai Taligawe dan
Sungai Rengas telah mengalami pemendekan. Panjang kedua sungai tersebut dari
muara, yang terletak di Sungai Musi, ± 400 m dan semakin ke arah hulu semakin
kecil menjadi saluran air. Sungai Lunjuk saat ini telah banyak ditumbuhi
tanaman rawa dan hanya berair pada saat hujan saja; sedangkan Sungai Buah
sampai saat ini telah mengalami dua kali pemindahan aliran yang disebabkan oleh
pembangunan pabrik pupuk PT PUSRI.
Selain dikelilingi oleh sungai,
wilayah kota
juga dilindungi pagar keliling. Meskipun sudah tidak in situ lagi berdasarkan
informasi penduduk yang menggunakan kembali sisa pagar keliling diketahui batas
pagar keliling sebelah utara adalah lokasi yang sekarang menjadi greenbarier PT
PUSRI. Disamping itu sampai saat ini penduduk asli di wilayah tersebut masih
disebut dengan istilah ‘wong jero pager’.
Kenyataan ini dapat digunakan sebagai data penunjang dalam mengasumsikan
bahwa memang pada masa lalu wilayah ini dibatasi oleh pagar keliling.
Berdasarkan
catatan sejarah Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang
dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya.
Kota berbenteng ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche
roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang
mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan
pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke
selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya
berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya berbatasan dengan
Sungai Buah (Wellan 1934: 19).
Dalam
gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai
Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai
batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah
benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah
barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang
asing ditempatkan/bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi, di
sebelah barat muara sungai Komering.
Kuto
Gawang yang merupakan sebuah kota yang dikelilingi pagar kota yang kokoh
digambarkan tidak berdiri sendiri. Kota ini mempunyai pertahanan yang
berlapis dengan kubu-kubu yang ada di Pulau Kembaro, Plaju, Bagus Kuning
(Sungai Gerong) di samping cerucuk
yang memagari memotong Sungai Musi antara Pulau Kembaro dan Plaju. Jaringan
sungai dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk sistem pertahanan kota. Kalau
perlu dibuat juga parit keliling untuk pertahanan kota atau keraton.
Kekuatan
Kuto Gawang ditopang oleh suatu sistem perbentengan dan kubu yang ada di
bagian hilir Musi, yaitu benteng Bamagangan, di muara sungai Komering.
Benteng kedua adalah benteng Martapura dan benteng Pulau Kembaro yang letaknya
dekat dengan Kuto Gawang.
Ketiga
benteng tersebut letaknya di depan Kuto Gawang. Penempatan-nya didasarkan atas
pemikiran bahwa musuh yang akan datang menyerang melalui Sungai Musi dan
Sungai Komering. Anehnya, seperti yang dilukiskan dalam gambar sketsa 1659,
sisi utara Kuto Gawang yang berpagar kayu unglen atau kayu besi tidak mempunyai
pertahanan parit. Tiga batang sungai yang mengalir dari arah utara sama sekali
tidak berhubungan.
Hasil penelitian arkeologi dan ditunjang dengan data sejarah menunjukkan
bahwa Kota Palembang pada masa Pra-Kesultanan Palembang Darussalam memiliki
ciri-ciri umum kota Islam yang dikemukakan oleh Hourani. Hal ini juga
sesuai dengan analisis peta kuno yang selama ini telah dilakukan. Sedikitnya
temuan arkeologi pada saat ekskavasi baik secara kuantitatif dan kualitatif menyulitkan
untuk menentukan tataletak unsur-unsur pemukiman Kota Palembang pada masa Pra-Kesultanan,
meskipun demikian setidaknya dapat terlihat bahwa di wilayah Sungaibuah dan I
Ilir tersebut merupakan situs permukiman.
Berdasarkan pengamatan peta-peta
kuno dapat diketahui bahwa Kota Palembang pada masa Pra-Kesultanan secara umum
sesuai dengan ciri-ciri kota
yang tumbuh pada masa perkembangan Agama Islam. Secara umum penempatan komponen
kota di Palembang diletakan di tepi sungai, keadaan ini sebenarnya lebih
dikarenakan kondisi geografis Kota Palembang yang dataran banjir dan tanggul
alam, yang diikuti oleh dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah
denudasial (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1992: 99). Secara geografis
permukiman di Kota Palembang terletak di lahan yang lebih tinggi dari
lingkungan sekitarnya yang dalam istilah lokal disebut ‘talang’. Umumnya talang
ini dikelilingi oleh rawa-rawa atau sungai-sungai kecil yang bermuara di Sungai
Musi.
Pada dasarnya keadaan geografis
dapat mempengaruhi pertumbuhan suatu kota
karena berkaitan dengan aksesibilitas kota
tersebut dengan daerah-daerah disekitarnya. Sungai Musi sejak masa lalu
merupakan media transportasi utama untuk membawa hasil buni dari wilayah
pedalaman. Kota Palembang yang dilintasi oleh Sungai Musi merupakan titik yang
strategis karena di wilayah ini terdapat muara sungai-sungai besar yang berhulu
di wilayah pedalaman, demikian juga posisinya yang berada di pantai timur
Sumatera yang merupakan jalur
perdagangan yang cukup ramai membuat Palembang berkembang menjadi titik
pertemuan pedagang-pedagang dari wilayah pedalaman dan mancanegara.
Penutup
Salah satu masalah
pokok yang dibahas dalam pengkajian arkeologi perkotaan adalah tata kota . Dengan meneliti
tata kota maka
dapat diketahui pola permukiman suatu kota
yang merupakan cerminan fungsi kota
sebagai suatu pusat kegiatan
pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Data artefaktual hasil
ekskavasi arkeologi mengenai permukiman Kota Palembang masa Pra-Kesultanan
secara kuantitatif tidak dapat seutuhnya digunakan sebagai data untuk
merekonstruksi tata kota
Palembang pada
masa itu, tetapi hasil survei dan toponimi yang terdapat di wilayah Kelurahan I
Ilir dan Sungaibuah berhasil diketahui batas-batas kota .
Secara umum data
arkeologi yang berkaitan dengan komponen-komponen Kota Palembang masa
Pra-Kesultanan yang masih dapat didata adalah pemakaman dan sisa pagar
keliling, meskipun sisa pagar keliling tersebut sekarang sudah tidak insitu
lagi. Sealin itu, sungai-sungai yang membatasi Kota Palembang yaitu Sungai Musi
di sisi utara, Sungai Lunjuk di sisi selatan dan sungai Taligawe di sisi barat
masih dapat ditemukan, demikian juga dengan Sungai Rengas yang membelah bagian
tengah kota. Sungai Buah yang membatasi kota
sebelah timur, sekarang telah mengalami perubahan dikarenakan pembangunan
pabrik PT PUSRI.
Sebagai refleksi
dari dari cara bermukim dalam hubungannya dengan lingkungan fisik, tata letak
komponen-komponen kota
lebih didasari oleh faktor keterbatasan lahan. Penempatan komponen kota yang berada di
sepanjang sungai lebih dikarenakan kondisi geografis Kota Palembang yang berupa
dataran banjir dan tanggul alam, yang dikelilingi oleh rawa-rawa dan
sungai-sungai kecil.
Daftar Pustaka
Chang, KC, 1972,
“Settlement Pattern in Archaeology”, Module
in Archaeology No 24, Massachusets: Addison Willey, pp. 1-26.
Clarke, David, 1977. Spatial Archaeology. London: Academic
Press.
Cortesao, Armando. 1944.
The Suma Orienta of Tome Pires. An
Account of The East from The Red Sea to Japan, Writen in Malacca and India
1512-1515. London: Hakluyt Society.
De Chiara, Joseph dan
Lee E Koppelman,1978, Standar Perencanaan Tapak. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hanafiah, Djohan, 1988, Palembang
Zaman Bari. Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Humas Pemerintah
Kotamadya Daerah Tk II Palembang.
-------------------.
1989. Benteng Kuto Besak Upaya Kesultanan
Palembang Menegakan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.
-------------------.
1995. “Kesultanan Palembang Darusalam dalam Perspektif Sumatera Selatan”
makalah Seminar Sejarah Program Studi Sejarah FKIP UNSRI (tidak diterbitkan).
Rahim, Husni, 1998. Sistem Otorasi dan Administrasi Islam. Studi
tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta:
Logos.
Salaman, Aly. 1986.
“Sejarah Kesultanan Palembang”, Masuk dan
Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. KHO Gadjahnata dan Sri-Edi Swasono
(ed.) hal 123 – 165.
Sevenhoven, J.L. van,
1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang.
Jakarta: Bhratara.
Trigger, Bruce G, 1968.
“The Determinants of Settlement Patterns”. Settlement
Archaeology. KC Chang (ed.). Palo Alto: National Press Book
Wiryomartono, A. Bagoes
P, 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota
di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak
Peradaban Hindu-Buddha, Islam, Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Tulisan ini telah diterbitkan dalam “Siddhayatra” Vol. 11 Nomor 2 November 2006 hal. 1 - 6
Angka Main HONGKONG : 90315 BB
BalasHapusJaga BB Colok bebas HONGKONG : 9 1
Colok Macau 2D HONGKONG : 90 31 BB
Angka Jadi 2D Bom Bandar HONGKONG : 21*26*25*29*12*16*15*19*62*61*65*69*52*51*56*59*92*91*96*95*
Main Ganjil Genap HONGKONG : GENAP
Main Besar Kecil HONGKONG : BESAR
Prediksi Togel Terlengkap
Prediksi gratis tanpa mahar