Selasa, 16 Maret 2010

Situs Pasar Ikan. Kawasan Niaga Terpadu Pada Masa Kolonial*)

Pendahuluan

Situs Pasar Ikan secara administrasi terletak di Kelurahan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta no 475 th 1993, situs ini termasuk dalam kawasan Benda Cagar Budaya karena merupakan bagian dari cikal bakal Kota Jakarta saat ini.

Di situs yang terletak di sebelah utara Kota Jakarta ini masih dapat ditemui tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa kolonial. Tinggalan-tinggalan tersebut adalah pergudangan bagian barat (westzijdepakhuizen) yang sekarang berfungsi sebagai Museum Bahari; pergudangan bagian timur (graanpakhuizen) yang sekarang berfungsi sebagai gudang milik PALAD-ABRI; bengkel kapal kayu (compagniewerf) yang berfungsi sebagai gudang milik perusahaan swasta; menara pengawas pelabuhan yang sekarang dikenal sebagai menara goyang.

Penelitian arkeologi di Situs Pasar Ikan dan sekitarnya terhitung tidak banyak dilakukan, sehingga selama ini pembahasan mengenai Jakarta pada masa kolonial dalam perspektif arkeologi dirasakan masih sangat kurang. Penelitian arkeologi di situs ini pertama kali dilakukan oleh Koninklijk Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1940. Pada penelitian ini berhasil ditemukan pondasi salah satu bsation benteng, sisa jalan pintu gerbang darat (landpoort), dan dinding benteng bagian barat dan selatan.

Pada tahun 1977, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta melakukan penggalian arkeologi di Situs Pasar Ikan dan berhasil menemukan pondasi salah satu bastion tembok kota. Tahun 1988 instansi yang sama melakukan penggalian arkeologi di lokasi pergudangan bagian timur (graanpakhuizen) dan berhasil menemukan sisa-sisa lapisan aspal dan saluran air. Tetapi hasil penggalian tersebut belum dapat diidentifikasikan kronologinya.

Pada tahun 1981 Puslit Arkenas bekerja sama dengan Himpunan Keramik Indonesia melakukan penggalian arkeologi di Situs Pasar Ikan dan berhasil mendata temuan-temuan keramik yang diduga merupakan barang-barang komoditi dagang. Kronologi dari temuan-temuan tersebut berkisar antara abad XIV - XIX. Pada penelitian ini temuan yang berupa struktur bangunan hanya dicatat dan tidak diidentifikasikan kronologinya.

Sebelum VOC mendirikan Batavia, kota yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa tersebut bernama Sunda Kelapa yang merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda. Kota ini dikelola oleh suatu pemerintah lokal dibawah kekuasaan syahbandar (Cortesao 1967:172-173).

Ramainya kegiatan perdagangan di kota ini membuat banyak pihak ingin menguasainya. Tahun 1527, Sunda Kalapa berhasil dikuasai oleh orang-orang muslim yang dipimpin oleh Fatahillah dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Pada masa ini Jayakarta merupakan salah satu kerajaan bawahan dari Kesultanan Banten (Tjandrasasmita 1977; Novita 1995).

Pada tahun 1596 Bangsa Belanda datang ke Jayakarta, kemudian pada tahun 1611 mendapat hak untuk mendirikan dua buah loji di sisi timur muara Sungai Ciliwung yang diberi nama Nassau dan Mauritius. Pada perkembangan selanjutnya loji-loji tersebut diperkuat dan diperbesar serta dilengkapi oleh alat-alat pertahanan menjadi sebuah benteng yang diberi nama Fort Jacatra yang kemudian dikembangkan lagi menjadi sebuah kastil.

Pendirian benteng tersebut mendapat reaksi yang tidak baik dari penguasa Jayakarta, Banten dan Inggris sehingga pada tahun 1618 Fort Jacatra diserang oleh pihak-pihak tersebut secara bergantian. Tahun 1619 ketika Inggris menyerang Fort Jacatra, Jan Pieterzoen Coen yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal VOC meminta bantuan pos dagang VOC di Maluku sehingga berhasil mengatasi serangan tersebut. Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan penyerangan ke Jayakarta. Setelah berhasil menghancurkan kota tersebut, VOC membangun sebuah kota baru diatas reruntuhan Kota Jayakarta dan diberi nama Batavia (Surjomihardjo 1977:13-14; Soekmono 1993:23; Novita 1995:21-22).

Tata Kota Batavia

Berdasarkan Keletakannya Batavia dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kota bagian timur, kota bagian barat dan kota bagian depan. Pembagian kota tersebut didasarkan pada keletakan bagian-bagian kota terhadap Sungai Ciliwung yang membelah Kota Batavia. Keseluruhan kota kemudian terbagi-bagi lagi oleh kanal-kanal yang bermuara di Sungai Ciliwung (Surjomihardjo 1977; Soekmono 1993).

Pada awalnya pemukiman berada di sebelah timur Sungai Ciliwung tepatnya di bagian luar sisi selatan benteng. Pemukiman ini kemudian berkembang sampai ke sebelah barat sungai. Kota bagian timur dan barat dilindungi oleh tembok kota yang dilengkapi oleh bastion-bastion. Kota bagian depan yang sebenarnya berada di sebelah selatan kota bagian timur tidak dilindungi oleh tembok kota tetapi dibatasi oleh Sungai Ciliwung yang mengalir di sebelah selatannya (Surjomihardjo 1977; Soekmono 1993; Novita 1995:87).

Berdasarkan fungsinya kota Batavia dapat dibagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan pusat kota, kawasan pemukiman, kawasan militer, dan kawasan niaga. Kawasan pusat kota sebagai pusat administrasi dan pemerintahan terletak di kota bagian timur. Kawasan pemukiman terletak di kota bagian timur, barat dan depan. Berdasarkan data sejarah kawasan pemukiman di kota bagian timur diperuntukkan pada kalangan elit Batavia (Novita 1995).

Kawasan militer terletak di sebelah utara kota. Peletakan kawasan ini dikarenakan oleh adanya kawasan niaga di wilayah tersebut. Kawasan niaga ini merupakan kawasan perdagangan yang merupakan basis ekonomi Kota Batavia (Novita 1995).

Situs Pasar Ikan sebagai Kawasan Niaga Terpadu

Secara umum perdagangan adalah hubungan timbal balik yang dilakukan paling tidak antara dua pihak sebagai usaha untuk memperoleh barang melalui pertukaran yang lebih menekaankan aspek kebutuhan dari pada aspek sosial. Salah satu ciri dari perdagangan adalah adanya transaksi. Suatu transaksi akan terjadi jika di suatu tempat membutuhkan bahan baku atau barang yang tidak dapat diperoleh atau diproduksi oleh tempat tersebut sementara di tempat lain terjadi surplus akan barang atau bahan baku yang dimaksud (Sharer dan Ashmore 1979:434-439).

Kawasan niaga terpadu adalah suatu kawasan dimana segala kegiatan perniagaan yang menjadi basis ekonomi kota dilakukan. Idealnya tempat tersebut berada di lokasi yang cukup strategis sehingga memudahkan para pendukung kegiatan perekonomian tersebut melakukan aktifitasnya.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologi dan ditunjang oleh data sejarah maka diasumsikan bahwa di Situs Pasar Ikan pernah terjadi kegiatan perdagangan. Sebagimana diketahui perdagangan merupakan basis perekonomian Kota Batavia, dengan demikian dapat diasumsikan juga situs Pasar Ikan merupakan kawasan niaga terpadu Kota Batavia. Mengacu pada uraian-uraian ini maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini mengenai Situs Pasar Ikan sebagai Kawasan Niaga Terpadu serta unsur-unsur penunjangannya.

Tumbuhnya Situs Pasar Ikan sebagai kawasan niaga terpadu sangat didukung oleh keberadaan pelabuhan yang terletak di sebelah utara situs tersebut. Sedangkan unsur-unsur pendukung yang lain adalah pergudangan dan perkantoran. Berikut uraian mengenai unsur-unsur pendukung dari kawasan niaga terpadu Pasar Ikan:


1. Pelabuhan

Pelabuhan Kota Batavia sampai saat ini masih difungsikan sebagai pelabuhan kapal layar motor dan dikenal dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa. Berdasarkan data sejarah pelabuhan ini telah ada sejak masa Kerajaan Sunda.

Menurut Tome Pires, Pelabuhan Kalapa, nama pelabuhan ini pada masa itu, merupakan pelabuhan yang terpenting dan terbaik dari pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda. Ramainya pelabuhan ini disebabkan oleh lokasinya yang berada dalam rute perdagangan rempah-rempah antara Malaka dan Maluku (Cortesao 1967:172).

Keadaan ini dibuktikan oleh data arkeologi berupa temuan keramik hasil penggalian tahun 1988 yang berkronologi antara abad XIV - XIX (Ambary 1988). Selain itu di pelabuhan ini masih dapat ditemui bangunan bekas menara pengawas yang didirikan tahun 1839 dan tidak jauh dari Situs Pasar Ikan ditemukan juga sebuah padrao yang merupakan batu peringatan sebagai tanda perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis untuk mendirikan benteng di daerah tersebut (Surjomihardjo 1977:17; Novita 1995:20).


2. Pergudangan

Bangunan ini merupakan tempat penyimpanan komoditi dagang VOC. Sampai saat ini bangunan pergudangan yang dapat ditemui adalah pergudangan sebelah barat (westzijdepakhuizen) yang sekarang berfungsi sebagai museum bahari dan pergudangan bagian timur (graanpakhuizen) yang sekarang berfungsi sebagai gudang milik PALAD-ABRI.

Dari hasil penggalian tahun 1988 berhasil diketahui bahwa salah satu komoditi dagang di situs ini adalah keramik. Keramik-keramik yang diperdagangkan tersebut berupa alat-alat sehari-hari. Secara kualitatif,keramik-keramik tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu keramik bermutu tinggi (fineware) dan keramik yang bermutu rendah yang dibuat secara masal (Ambary 1988).

Data sejarah menyebutkan selain keramik, komoditi yang juga diperdagangkan adalah rempah-rempah seperti pala, cengkeh, dan lada; kayu cendana; bahan-bahan pertambangan seperti emas, tembaga, dan intan; serta kain seperti sutra dan katun. Wilayah-wilayah di nusantara yang merupakan daerah produsen komoditi tersebut adalah Maluku, Banda¸ Kalimantan, dan Nusa Tenggara; sedangkan wilayah di luar nusantara adalah Cina, Jepang, India, Srilangka, dan wilayah-wilayah di Asia Tenggara serta Eropa (Lapian 1995).

3. Perkantoran

Perkantoran ini muncul sejalan dengan semakin berkembangnya kegiatan perdagangan. Pada awalnya kegiatan perdagangan di Batavia ditangani oleh VOC dan berkantor di dalam benteng. Semakin ramainya kegiatan perdagangan dan ditambah dengan dibubarkannya VOC memungkinkan badan-badan usaha Belanda mendirikan kantor-kantor cabangnya masing-masing di Batavia. Keadaan ini juga menyebabkan daerah kawasan pemukiman di sebelah utara kota bagian barat berubah menjadi perkantoran, yaitu di sepanjang Sungai Ciliwung.

Bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai kantor tersebut sampai sekarang masih dapat dijumpai di sepanjang Jl. Kali Besar. Jenis-jenis badan usaha yang terdapat di daerah tersebut adalah perusahaaan perdagangan; perbankan; perkapalan; dan asuransi (Lapian 1995).

Pembahasan

Data arkeologi yang didukung oleh kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Sunda, Situs Pasar Ikan merupakan pelabuhan dagang yang ramai. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perdagangan merupakan basis perekonomian Kota Batavia maka dapat dikatakan situs ini merupakan Kawasan Niaga Terpadu, karena semua elemen-elemen kegiatan perdagangan terpusat di wilayah ini.

Pada awalnya para pedagang melakukan sendiri kegiatan perdagangannya di daerah produksi, karena itu para pedagang tersebut harus memiliki kapal sendiri. Bila perlu, mereka mendirikan gudang untuk penyimpanan komoditi dagangnya. Dalam perkembangan selanjutnya para pedagang tersebut tidak perlu lagi memiliki kapal atau gudang sendiri karena muncul badan-badan usaha yang menjual jasa seperti perusahaan pelayaran yang mengurus pengangkutan barang dan perusahaan pergudangan sehingga para pedagang dapat menggunakan jasa perusahaan tersebut dan melakukan transaksi tanpa harus datang langsung ke daerah produksi. Selain perusahan pelayaran dan pergudangan, perusahaan jasa yang menunjang kegiatan perdagangan adalah perusahaan asuransi yang menjamin kerugian atas kerusakan komoditi dagang dan perusahaan perbankan yang menyediakan alat pembayaran dalam transaksi perdagangannya (Pamoentjak 1993).

Keberadaan unsur-unsur penunjang dari kawasan niaga terpadu di Situs Pasar Ikan menunjukkan sistem perdagangan yang umum dilakukan oleh Bangsa Eropa, yaitu mendirikan bursa besar di suatu tempat yang sepanjang tahun menampung aneka barang dagangan yang diinginkan (Leirissa et.al. 1996: 1 – 2). Menurut Van Leur (1957), sebelum datangnya Bangsa Eropa, pengaruh raja atau penguasa dalam perdagangan di nusantara sangat besar. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, seluruh wilayah dan sumber daya alamnya merupakan miliknya (Leirissa 1996: 25). Dengan demikian seluruh kegiatan perdagangan dikendalikan oleh raja sehingga hasil yang didapat hanya berkisar di kalangan keluarga penguasa saja.

Keadaan ini berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Para pedagang mempunyai hak-hak istimewa dalam pengembangan usahanya dan modal mereka dapat dilindungi melalui institusi perbankan (Leirissa 1996: 26). Hal ini juga terjadi di Belanda, pada awal abad XVII para pedagang dan investor Belanda bersatu dengan mendirikan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang bertujuan untuk mengelola kegiatan perdagangan di kawasan Asia. Kelompok ini dipimpin oleh dewan pengelola yang terdiri dari 17 utusan kamar-kamar dagang di Belanda. Kedudukan raja sebagai penguasa negeri hanya sebagai sebagai pelindung saja (Boxer 1983: 9 – 11).

Sejak VOC berusaha memegang monopoli perdagangan di nusantara, mereka merencanakan untuk mendirikan pusat kegiatannya di mana mereka dapat melakukan pengawasan dengan mudah. Sebagai penunjang dari kegiatan tersebut mereka juga membangun kekuatan militer sendiri untuk melindungi wilayah-wilayah kekuasaannya.

Pada awalnya VOC berencana untuk menjadikan Banten sebagai pusat kegiatannya yang pada masa itu merupakan kota dagang yang sangat ramai. Rencana tersebut tidak berhasil sehingga VOC mengalihkannya ke Jayakarta yang merupakan kerajaan bawahan Kesultanan Banten, dan akhirnya berhasil menguasai kota ini serta mengganti namanya menjadi Batavia.

Dengan dimonopolinya semua kegiatan perdagangan di nusantara oleh Bangsa Belanda, maka terjadi perubahan pada sistem yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh kerajaan-kerajaan di nusantara. Semula pedagang nusantara datang ke pelabuhan-pelabuhan dagang untuk menjual hasil bumi daerah asalnya, kemudian hasil penjualan tersebut dibelikan komoditi lain dari manca negara, seperti tekstil, keramik, dan lain-lain untuk diperdagangkan kembali di daerah asalnya. Ketika Bangsa Belanda mendirikan Batavia sistem perdagangan ini berubah menjadi sistem perdagangan besar. Pada sistem ini tidak hanya pedagang saja yang saling bertemu untuk bertransaksi tetapi juga para perantara, praktisi perbankan, dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perdagangan.

Dalam sistem ini komoditi yang diperjualbelikan tetap tersimpan di gudang-gudang, jadi tidak langsung diteima dan tidak selalu harus dibayar kontan (Pamoentjak 1993:47). Dengan demikian dalam suatu kegiatan perdagangan, yang terlibat di dalamnya tidak hanya para pedagang saja tetapi juga pihak asuransi yang menjamin keamanan komoditi dagang, pihak-pihak yang bergerak di bidang pengangkutan yang bertanggungjawab mengantarkan komoditi dagang dari gudang penyimpanan ke lokasi yang telah ditentukan pihak pembeli, serta pihak perbankan yang menjamin pihak pembeli jika transaksi tidak dibayarkan secara kontan.

Penutup

Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa situs Pasar Ikan merupakan Kawasan Niaga Terpadu pada masa kolonial. Meskipun situs ini sudah merupakan lokasi kegiatan perdagangan yang cukup ramai sejak masa Kerajaan Sunda tetapi baru dapat dianggap sebagai kawasan niaga terpadu ketika situs ini merupakan bagian dari Kota Batavia.

Keberadaan kawasan niaga terpadu di Kota Batavia menunjukkan bahwa sistem perdagangan yang sebelumnya dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di nusantara, yaitu “perdagangan langsung”, telah berubah menjadi sistem perdagangan yang lebih modern. Dalam sitem ini para pembeli tidak perlu menerima komoditi dagang yang dibelinya secara langsung karena sudah dikelola pengirimannya oleh perusahaan pengangkutan serta dijamin keamannyaoleh pihak asuransi. Selain itu dalam suatu transaksi, pihak pembeli dapat melakukan pembayaran tidak secara kontan karena mendapat jaminan dari pihak perbankan.


Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif

1981 Laporan Ekskavasi Pasar Ikan. Jakarta: Himpunan Keramik Indonesia

Boxer, C R

1983 Jan Kompeni. Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602 – 1799. Jakarta: Sinar Harapan

Cortesao, Armando

1967 The Suma Oriental of Toml Pires. Hakluyt Society

Heuken S J, Adolf

1989 Historical Sight of Jakarta. Singapore: Times Books International

Lapian, A B (ed.)

1995 Four Centuries Trade Relations Between Indonesia and Netherland 1595 – 1995

Leirissa, R Z (et.al)

1996 Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Novita, Aryandini

1995 Kota Batavia Abad XVII – XVIII. Tata Kota dan Perkembangannya. Skripsi. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra - Universitas Indonesia

Pamoentjak, K St dan Achmad Ichsan

1993 Seluk Beluk dan Teknik Perniagaan. Jakarta: Pradnya Paramita

Renfrew, Collin

1983 Social Archaeology. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Sharer, J Robert dan Wendy Ashmore

1979 Fundamental of Archaeology. California: The Benjamin/Cumming Publishing Co Inc

Soekmono, R (et.al)

1993 Perkembangan Pemukiman Jakarta dari Masa Bercocoktanam sampai Metropolitan. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (tidak diterbitkan)

Surjomihardjo, Abdurrachman

1977 Pemekaran Kota Jakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan

Tjandrasasmita, Uka

1977 Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai Batavia tahun 1750. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Naditira Widya Maret 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar