Selasa, 16 Maret 2010

Rumah Tradisional Palembang. Wujud Adaptasi Lingkungan Masa lalu dan Pengembangannya Sebagai Obyek Wisata *)


Pengantar

Dalam upaya merekonstruksi tingkah laku manusia masa lalu, arkeologi terkadang menggunakan data etnografi. Data etnografi tersebut didapat dari kepustakaan yang memuat tentang kelompok masyarakat yang masih melakukan aktifitas seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya di masa lalu. Melalui data etnografi, arkeologi dapat mengetahui kebudayaan masa lalu yang tertuang melalui benda-benda tinggalannya.


Seperti yang kita ketahui kebudayaan dapat dikatakan sebagai tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan suatu wilayah merupakan salah satu faktor dalam menentukan pola tingkah laku manusia yang menempatinya.


Sebagai contoh yang menggambarkan bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Rumah dapat dikatakan juga sebagai salah satu dari wujud kebudayaan karena merupakan hasil karya manusia. Sebagai bagian dari suatu sistem selain merupakan hasil karya manusia terdapat juga norma-norma yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam mendirikan sebuah rumah. Norma-norma atau aturan-aturan inilah yang kemudian dapat dilihat melalui tingkah laku berupa upacara pendirian atau menempati rumah baru serta penataan ruang-ruangnya.


Dari ekskavasi di Situs Museum Badaruddin pada tahun 1990 dan Karanganyar pada tahun 1993 berhasil ditemukan sisa-sisa tiang kayu. Berdasarkan laporan Chau Jua Kua, masyarakat Palembang sekitar abad XII - XIII bermukim di tepi sungai dan tinggal di rumah-rumah yang berupa rumah panggung atau rumah rakit (Hirth dan Rockhill 1967: 62). Demikian juga menurut Sevenhoven yang menulis keadaan Kota Palembang sekitar abad XIX, menerangkan bahwa rumah-rumah pada masa itu ada yang dibuat dari kayu (Sevenhoven 1971). Dari uraian-uraian ini maka kemungkinan sisa-sisa tiang kayu yang ditemukan di Situs Museum Badaruddin dan Karanganyar merupakan tiang-tiang rumah.


Mengenai arsitektur dari rumah tinggal di Palembang masa lalu kemungkinan tidak berbeda jauh dengan arsitektur rumah tradisional Palembang yang sampai saat ini masih dapat dilihat. Pada umumnya rumah tradisional Palembang ada 3 jenis, yaitu rumah limas, rumah cara gudang, rumah rakit. Bentuk umum dari rumah limas dan rumah cara gudang adalah rumah panggung, sedangkan rumah rakit merupakan rumah di atas rakit yang terapung di sungai. Untuk lebih jelasnya bagaimana arsitektur rumah-rumah tradisional Palembang, berikut akan diuraikan deskripsi dari rumah-rumah tradisional tersebut.


Rumah Limas


Penyebutan rumah limas didasari oleh bentuk atapnya yang berupa limas. Denah bangunan rumah limas berbentuk persegi panjang. Rumah yang berdiri di atas tiang kayu ini mempunyai lantai yang bertingkat yang disebut dengan kekijing. Denah dari tiap-tiap kekijing adalah persegi panjang. Pada umumnya rumah limas mempunyai 2 sampai 4 kekijing.


Berdasarkan keletakannya rumah limas terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Bagian depan rumah limas merupakan tempat beristirahat yang dikenal dengan istilah jogan. Pada bagian ini terdapat tangga naik yang berjumlah 2 buah, yang di sampingnya terdapat tempat air pencuci kaki. Bentuk dari jogan ada 2 variasi, yaitu berdenah persegi panjang dan berdenah huruf “L”. Antara bagian depan dan bagian tengah rumah limas dibatasi oleh dinding kayu. Untuk memasuki bagian tengah terdapat 2 buah pintu masuk. Di antara kedua pintu tersebut, umumnya terdapat hiasan berupa jeruji kayu yang memiliki ukiran tembus yang berfungsi juga sebagai fentilasi.


Bagian tengah rumah limas terdiri dari beberapa kekijing. Antara kekijing I dan kekijing II dibatasi oleh dinding penyekat yang disebut kiyam. Kiyam ini hanya terdapat di antara kekijing I dan kekijing II saja, sedangkan pada kekijing-kekijing berikutnya tidak terdapat penyekat. Tinggi antara masing-masing kekijing pada umumnya sekitar 30 cm sampai 40 cm.


Pada saat upacara adat, kekijing I berfungsi sebagai tempat kaum kerabat dan undangan yang masih muda, kekijing II merupakan tempat undangan yang setengah baya, dan kekijing III dan IV diperuntukkan untuk undangan yang tua-tua dan orang-orang yang dihormati. Dalam kegiatan sehari-hari kekijing III dan kekijing IV berfungsi sebagi ruang tidur yang disekat oleh lemari dinding. Pada bagian ini juga terdapat ruangan yang berfungsi sebagai ruangan serbaguna, di mana kegiatan rumah tangga seperti menjahit, menenun, atau merenda dilakukan di sini. Selain itu fungsi dari ruangan ini juga untuk ruang makan dan ruang tamu kerabat dekat wanita atau anak-anak.


Bagian tengah dan bagian belakang rumah limas dibatasi oleh dinding penyekat. Bagian belakang berfungsi sebagai dapur. Pada umumnya dapur pada rumah limas terdiri dari 3 bagian utama, yaitu tempat untuk menyiapkan masakan, tempat memasak, dan tempat mencuci peralatan masak. Lantai pada bagian belakang ini lebih rendah dari bagian tengah.


Rumah Cara Gudang


Pada dasarnya bentuk umum dari rumah cara gudang tidak berbeda dengan rumah limas. Rumah ini berupa rumah panggung dan mempunyai atap yang berbentuk limas. Yang membedakannya dengan rumah limas adalah tidak terdapatnya kekijing di rumah cara gudang.


Berdasarkan keletakannya, rumah cara gudang terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian depan, bagian tengah, dan bagian belakang. Bagian depan rumah cara gudang terdiri dari tangga naik, garang, dan beranda. Pada umumnya rumah cara gudang memiliki 1 buah tangga naik. Garang adalah bagian di ujung tangga naik yang merupakan ruang persiapan sebelum memasuki rumah. Denah garang berbentuk bujur sangkar. Beranda pada rumah cara gudang berfungsi sebagai tempat istirahat. Pada saat upacara adat, beranda ini diperuntukkan sebagai tempat para petugas pelaksana upacara yang terdiri dari kerabat dekat pemilik rumah.

Bagian tengah rumah cara gudang merupakan ruang utama. Bagian ini berfungsi sebagai ruang tamu dan pada upacara adat digunakan untuk tamu yang tua-tua dan undangan yang dihormati.


Bagian belakang rumah cara gudang terdiri dari kamar tidur, ruang dalam, dan dapur. Ruang dalam pada rumah cara gudang berfungsi sebagai ruang serbaguna, di mana kegiatan sehari-hari dilakukan di ruangan tersebut. Selain itu ruang dalam ini berfungsi juga sebagai tempat menerima tamu wanita atau kerabat dekat. Sama seperti rumah limas, dapur pada rumah cara gudang juga terdiri dari dari 3 bagian, yaitu tempat menyiapkan masakan, tempat memasak, dan tempat mencuci peralatan masak.


Rumah Rakit


Rumah rakit merupakan rumah tinggal yang terapung. Rumah ini didirikan di atas sebuah rakit yang terbuat dari balok-balok kayu atau rangkaian bambu. Denah rumah rakit mempunyai bentuk persegi panjang. Pada umumnya rumah rakit terdiri atas 2 bagian dan mempunyai 2 buah pintu yang masing-masing menghadap ke daratan dan ke sungai. Pada bagian depan depan rumah terdapat jembatan penghubung yang berupa sekeping papan atau rangkaian bambu.


Pembagian ruang dalam rumah rakit lebih sederhana dibanding dengan rumah limas dan rumah cara gudang. Terdapat 2 ruangan dalam sebuah rumah rakit. Ruangan depan digunakan untuk tempat menerima tamu dan tempat kegiatan sehari-hari, sedangkan ruang belakang berfungsi sebagai tempat tidur. Dapur pada rumah rakit merupakan bagian yang seolah-olah menempel pada dinding luar ruangan belakang. Untuk menjaga lantai rumah rakit tetap kering, maka di atas balok kayu atau rangkaian bambu diberi alas berupa papan yang disusun berjajar. Agar rumah rakit tersebut tidak hanyut, di bagian depan rumah terdapat tali yang diikatkan dengan sebatang kayu atau bambu.


Pada masa kesultanan bentuk dari rumah-rumah tersebut menggambarkan kelompok-kelompok masyarakatnya. Rumah panggung hanya bisa dihuni oleh penduduk asli. Orang-orang asing yang boleh tinggal di daratan hanyalah pedagang Arab dan Kapten Cina. Selain itu orang-orang asing hanya boleh tinggal di rumah rakit, hal ini dengan pertimbangan bila mereka tidak membayar pajak maka penguasa pada masa itu dapat dengan mudah mengusir mereka. Di samping orang-orang asing, ada juga penduduk asli yang tinggal di rumah rakit mereka adalah yang berasal dari golongan bawah (Sevenhoven 1971).


Strategi Adaptasi Masyarakat Palembang Masa Lalu


Secara keseluruhan bahan dasar dari rumah-rumah tradisional Palembang adalah kayu. Jenis-jenis kayu yang digunakan untuk tiang rumah adalah kayu petanang, unglen, dan tembesu. Kayu tembesu selain digunakan untuk tiang terkadang dipakai juga untuk bahan dasar dinding rumah. Di samping kayu tembesu, jenis lain yang digunakan untuk dinding rumah adalah kayu merawan.


Secara topografis, Palembang berada di ketinggian 0 - 25 m di atas permukaan laut dengan keadaan geografis yang berupa dataran banjir dan tanggul alam, adataran aluvial, rawa belakang, dan perbukitan rendah denudasial. Dataran banjir dan tanggul alam yang terbentang di sepanjang Sungai Musi terbentuk dari hasil pengendapan material sungai pada saat sungai tersebut banjir. Dataran banjir dan tanggul alam ini kemudian diikuti oleh dataran aluvial. Keadaan topografis dataran aluvial ini datar hingga agak landai. Dataran aluvial ini relatif lebih tinggi dari pada dataran banjir. Antara dataran aluvial dan perbukitan rendah denudasial terdapat rawa belakang yang selalu tergenang air meskipun Sungai Musi surut (Bakorsurtanal 1985).


Di wilayah Palembang mengalir 9 sungai yang bermuara di Sungai Musi, yaitu Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Suakada, Sungai Sawah, Sungai Bendung, Sungai Sekanak, Sungai Kedukan, Sungai Buah, dan Sungai Bengkuan. Selain itu masih terdapat beberapa anak sungai yang juga bermuara di Sungai Musi. Daerah Palembang mempunyai iklim tropis dengan temperatur normal rata-rata 26,4. Kelembaban nisbi rata-rata 84% dan kelembaban minimum rata-rata 49%. Curah hujan di wilayah ini rata-rata 2.532 mm/tahun (Tim Penelitian Bidang Arkeometri 1992/1993).


Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, dari sebuah rumah dapat diketahui bagai mana manusia mengatasi lingkungannya. Sebuah rumah dapat juga mencerminkan bagaimana manusia beradaptasi dengan cuaca serta mencerminkan kemampuan dan tingkat teknologi yang dimilikinya. Berdasarkan anggapan bahwa keadaan lingkungan fisik masa sekarang setidak-tidaknya dapat digunakan menjadi dasar untuk menggambarkan tentang lingkungan masa lalu, maka dapat dikatakan strategi masyarakat Palembang masa lalu untuk menetap di wilayah tersebut adalah dengan membuat rumah-rumah yang berbentuk panggung atau rumah rakit.


Rumah dengan bentuk panggung dianggap cukup adaptif mengingat bentang lahan wilayah Palembang yang hampir seluruhnya selalu tergenang oleh air karena dengan demikian diperlukan tempat tinggal yang lebih tinggi dari permukaan tanah sehingga selalu kering dan bersih. Selain itu bentuk dan bahan dasar dari rumah panggung dan rumah rakit yang berupa kayu juga sesuai untuk wilayah Palembang yang mempunyai iklim tropis. Hal ini disebabkan kayu mempunyai daya serap panas yang rendah, sehingga bangunan yang terbuat dari kayu akan terasa sejuk dibanding dengan bangunan batu.


Meskipun demikian bentuk rumah panggung semata-mata tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan saja. Jika dilihat secara keseluruhan rumah-rumah tradisional Sumatera pada umumnya berupa rumah panggung, jadi tidak tertutup kemungkinan bentuk rumah tersebut merupakan ciri budaya tertentu yang harus diteliti lebih lanjut lagi.


Upaya Pelestarian dan Kemungkinan Pengembangan Kawasan Bersejarah di Palembang Menjadi Kawasan Wisata


Sampai saat ini rumah-rumah tradisional Palembang masih dapat dijumpai di Wilayah Seberang Ulu. Berdasarkan keterangan dari informan beberapa rumah di wilayah tersebut dibangun sekitar akhir abad XIX. Keadaan wilayah Seberang Ulu pada saat ini merupakan kawasan pemukiman yang bisa dikatakan cukup padat dan kurang teratur.


Dengan pesatnya pembangunan fisik di Indonesia, maka untuk menjaga kelestarian rumah-rumah tradisional terlebih yang termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB) perlu diadakannya tindakan perlindungan terhadap kawasan-kawasan di mana terdapat benda-benda tersebut. Usaha perlindungan terhadap kawasan bersejarah pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kelestariannya sehingga tetap memiliki dan mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan demikian hal tersebut dapat diteruskan dari generasi ke generasi.


Upaya perlindungan di kawasan-kawasan bersejarah di Palembang sangatlah penting, sebagai contoh adalah dengan mengadakan peremajaan di kawasan tersebut misalnya dengan memugar dan merawatnya serta menambah fasilitas pendukung sehingga kawasan tersebut tetap berfungsi sebagai kawasan pemukiman dan kawasan cagar budaya. Meskipun demikian pelestarian kawasan bersejarah bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga juga tanggung jawab masyarakat umum sebagai pewaris budaya masa lalu.


Dalam UU no 5 tahun 1992 disebutkan bahwa untuk perlindungan dan pelestarian BCB yang ada di wilayah Indonesia dikuasai oleh negara. Dalam PP no 10 tahun1993 disebutkan kepemilikan BCB terbagi atas 3, yaitu milik negara, milik perorangan yang berupa warisan, dan milik WNA dengan syarat BCB tersebut merupakan BCB bergerak tertentu yang jumlahnya untuk setiap jenisnya cukup banyak serta sebagian telah dimiliki oleh negara dengan memperhatikan ijin tinggal dan ijin membawa BCB keluar negeri.


Kendala yang terkadang dihadapi biasanya jika BCB tersebut merupakan milik pribadi yang berupa warisan. Hal ini dikarenakan secara sepintas tidak ada timbal balik dari pemerintah terhadap pemilik BCB tersebut. Selama ini hanya ada peraturan-peraturan untuk perlindungan dan pelestarian BCB dari pemerintah tetapi pemilik BCB tersebut tidak merasakan adanya keuntungan dari peraturan tersebut. Alternatif pemecahan masalah ini bisa dengan dibuatnya peraturan pemerintah yang menguntungkan bagi pemilik BCB seperti memberikan keringanan pajak kepada pemilik BCB atau tunjangan dana pemeliharaan BCB.


Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya mengembangkan pariwisata sebagai salah satu penambah devisa negara di sektor nonmigas. Obyek-obyek wisata yang dikembangkan tidak hanya keindahan alam tetapi juga keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan jika Wilayah Seberang Ulu, Palembang dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya.


Untuk mengembangkan suatu kawasan bersejarah menjadi kawasan wisata tentunya diperlukan koordinasi antar instansi-instansi pemerintah, dalam hal ini adalah Dirjen Kebudayaan, Dirjen Pariwisata, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, serta Pemerintah Daerah. Karena itu diperlukan suatu perencanaan yang matang dan terpadu sehinga pemanfaatan kawasan bersejarah menjadi kawasan wisata maka masyarakat luas akan lebih mengetahui informasi tentang budaya wilayah setempat. Selain itu dengan pemanfaatan tersebut tentunya dapat menambah pendapatan daerah.


Sebagai contoh pemanfaatan kawasan bersejarah menjadi kawasan wisata, misalnya dengan menetapkan wilayah Seberang Ulu menjadi kawasan cagar budaya di mana di wilayah ini rumah-rumah tinggal yang masih asli dijaga kelestariannya. Pelestarian rumah-rumah tersebut tidak hanya mengenai bentuk fisiknya saja tetapi juga tata letaknya sehingga akan terlihat bagaimana pola pemukiman asli di Palembang. Selain itu pada waktu-waktu tertentu dapat diadakan acara adat di kawasan tersebut sehingga lebih menarik perhatian wisatawan.


Daftar Pustaka


Almansyur, Mohamad dkk, 1985, Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Selatan. Depdikbud. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisonal

Bakorsurtanal, 1985, Laporan Pemetaan Terintegrasi Kepurbakalaan Sriwijaya. (tidak diterbitkan)

Depdikbud, 1981/1982, Arsitektur Tradisonal Daerah Sumatera Selatan.

---, 1995, UU RI no 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budya dan PP RI no 10tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU no 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

---, 1995, Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI no 062/U/95, No 063/U/95 dan No 064/U/95.

Fagan, Brian M, 1991 In The Beginning. An Introduction to Archaeology. 7th edition. New York: Harper Collins Publisher.

Hanafiah, Johan, 1990 Arsitektur Tradisional Palembang. (tidak diterbitkan)

Heryani, Yenny (et.al), 1993/1994,Gelar Kebangsawanan. Kaitannya Dengan Rumah Limas Palembang. Depdikbud. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Selatan.

Hirth, F dan W.W. Rockhill, 1967, Chau Jua-Kua: His Work on The Chineese and Arab Trade in The Twelfth and Thirteenth Centuries. entitled Chu Fan-Chi, Taipei.

Mundardjito, 1981, "Etnoarkeologi: Peranannya Dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia" artikel dalam Majalah Arkeologi, tahun IV no 1 - 2.

Sevenhoven, J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.

Shahrer, Robert J. dan Wendy Ashmore, 1979, Fundamental of Archaeology. California: Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.

Suaka PSP Sumbagsel, 1993, Laporan Pengawasan Kegiatan Pengerukan Kolam Pulau Cempaka. Dalam Rangka Pembangunan TPKS di Situs Karanganyar, Kotamadya Palembang Sumatera Selatan. (tidak diterbitkan)

Sumintardja, Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Tim Penelitian Arkeometri Puslit Arkenas, 1992/1993, Laporan Hasil Survei DAS Musi Propinsi Sumatera Selatan. (tidak diterbitkan)

Tim Balai Arkeologi Palembang, 1993, Laporan Sementara Pengawasan Pendalaman Kolam Pulau Cempaka Situs TPKS Karanganyar. (tidak diterbitkan)

Trigger, Bruce G. 1968, "The Determinat of Settlement Pattern" dalam Settlement Archaeology (ed. K.C. Chang) California: National Press Book.

Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu- Buddha, Islam, Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


*)Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Aksara Balaputra Dewa Edisi No 9 Tahun 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar