Pengantar
Arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat masa lalu melalui benda-benda tinggalannya dalam prakteknya mempunyai 3 tujuan utama, yaitu (1) rekonstruksi sejarah kebudayaan, (2) rekonstruksi cara-cara hidup masa lalu, dan (3) penggambaran proses budaya. Dalam perkembangannya sebagai disiplin ilmu, arkeologi telah mengalami perubahan-perubahan dalam orientasi penelitiannya.
Pada awalnya setiap penelitian arkeologi hanya menggarap data-data arkeologi sebagai materi saja (artifact-oriented) tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktunya. Pada perkembangan selanjutnya penelitian arkeologi mulai beralih tidak hanya pada bendanya saja tetapi juga pada lingkungan di mana benda tersebut di temukan (site-oriented). Perubahana orientasi penelitian ini kemudian dikenal dengan istilah new archaeology.
Sejalan dengan berkembangnya new archaeology, orientasi penelitian arkeologi yang memperhatikan situs di mana benda arkeologi ditemukan kemudian berkembang menjadi orientasi penelitian yang lebih luas lagi. Orientasi penelitian ini tidak hanya memperhatikan 1 situs saja tetapi sejumlah situs dalam satu satuan wilayah (region-oriented). Orientasi penelitian regional inilah yang menjadi landasan dari kajian arkeologi ruang.
Menurut David Clarke, arkeologi ruang ialah kajian arkeologi yang mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lalu, sekaligus mempelajari pola hubungan antar ruang dalam satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya (1977: 9). Dalam studi keruangan ini yang diperhatikan adalah sebaran dari benda-benda dan situs-situs arkeologi, kemudian hubungan antara benda atau situs dengan lingkungan fisik sebagai sumberdaya (Mundardjito 1995: 2). Berdasarkan uraian-uraian ini, dapat dikatakan bahwa kajian arkeologi ruang mempelajari pusat kegiatan suatu komunitas dalam satu satuan wilayah.
Berkaitan dengan 3 tujuan utama arkeologi, maka kajian arkeologi ruang tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui apa dan bagaimana aktivitas suatu komunitas di suatu wilayah, tetapi juga untuk mengetahui mengapa aktivitas tersebut terjadi. Sama seperti kajian-kajian arkeologi lain, dalam pengumpulan data lapangan digunakan metode survei dan metode ekskavasi. Tetapi karena dalam kajian arkeologi ruang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang persebaran situs, hubungan antar situs dan hubungan situs dengan lingkungannya maka dalam pengumpulan data lapangan, metode survei lebih efektif untuk digunakan. Hal ini dikarenakan data lapangan yang diperoleh dengan metode ekskavasi lebih terbatas dari pada data lapangan yang deperoleh melalui metode survei. Selain itu dari faktor teknis, metode ekskavasi merupakan metode yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tinggi (Ahimsa-Putra 1995: 2; Mundardjito 1995: 21-22).
Metode survei yang dapat digolongkan ke dalam metode penelitian tanpa menggunakan penggalian (non digging research) ini pertama kali dilakukan oleh Gordon Willey pada penelitian di Lembah Viru, Peru. Di Indonesia metode ini telah dilakukan sejalan dengan berkembangnya kajian arkeologi ruang. Beberapa penelitian arkeologi di Indonesia yang menggunakan metode survei ini antara lain dilakukan oleh Mundardjito untuk melihat penempatan situs-situs masa Hindu-Buda di Daeah Yogyakarta; Soeroso dalam penelitiannya untuk melihat pola persebaran bangunan masa Hindu-Buda di Batujaya dan Cibuaya; pada Program Pendidikan dan Pelatihan Arkeologi Lapangan (IFSA) yang diselenggarakan oleh Puslit Arkenas di Trowulan yang bertujuan untuk merekonstruksi pola pemukiman kuno di situs tersebut; serta Balai Arkeologi Palembang dalam penelitian situs-situs arkeologi di Palembang Barat yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang persebaran situs arkeologi di wilayah tersebut.
Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Penelitan arkeologi di Kotamadya Palembang sebanarnya telah dilakukan sejak tahun 1954 oleh tim dari Dinas Pubakala RI, tetapi sempat terhenti lama dan baru pada tahun 1973 dan 1874 dilakukan lagi penelitian oleh tim kerjasama antara Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional dengan The University of Pennsylvania Museum. Keberadaan situs-situs arkeologi di Kotamadya Palembang banyak menarik minat para arkeolog dalam maupun luar negeri. Umumnya dalam penelitian di wilayah tersebut bertujuan untuk mengungkapkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Telah banyak kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh Puslit Arkenas sebagai pelaksana penelitian antara lain dengan Bakorsurtanal; Ditlinbinjarah; Fakultas Geografi UGM; EFEO; Ford Foundation; dan The Geographysical Research Institute University of New South Wales. Bahkan pada tahun 1984, SPAFA menetapkan Palembang menjadi salah satu dari proyek penelitiannya. Penelitian terakhir yang dilaksanakan di wilayah tersebut, dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang persebaran situs arkeologi di Palembang Barat.
Berdasarkan persebaran situs, tahun 1985 Puslit Arkenas membagi Kotamadya Palembang menjadi 3 unit wilayah observasi, yaitu Palembang Barat, Palembang Tengah, dan Palembang Timur. Ketiga wilayah tersebut dibatasi oleh sungai-sungai yang bermuara di Sungai Musi. Antara Palembang Barat dan Palembang Tengah dibatasi oleh Sungai Sekanak, sedangkan antara Palembang Tengah dan Palembang timur dibatasi oleh Sungai Bengkuan. Seperti diketahui bahwa dari sejumlah situs yang terdapat di Kotamadya Palembang, wilayah Palembang Barat memiliki jumlah situs yang terbanyak dibanding dengan wilayah Palembang Tengah dan Palembang Timur. Terhitung ada 13 situs yang tersebar di wilayah tersebut, yaitu Bukit Siguntang, Talang Tuo, Kolam Pinisi, Kedukan Bukit, Lorong Jambu, Tanjung Rawa, Kambang Unglen, Kambang Purun, Karanganyar, Ladang Sirap, Keramat Pule, dan Gandus.
Situs-situs yang berada di wilayah Palembang Tengah adalah Situs Pagaralam, Candi Angsoka, dan Candi Walang; sedangkan situs-situs yang berada di wilayah Palembang Timur adalah Situs Sarangwati, Air Bersih, Boom Baru, Geding Suro, dan Telaga Batu.
Analisis Tetangga Terdekat terhadap Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Sebagaimana diketahui bahwa arkeoloig ruang menitikberatkan pada kajian dimensi ruang, di mana akan terlihat pola persebaran benda atau situs arkeologi dalam suatu wilayah. Dalam menentukan pola persebaran situs-situs masa klasik di Wilayah Palembang dapat dilakukan dengan menggunakan analisis tetangga terdekat.
Secara umum terdapat 3 pola dalam persebaran situs, yaitu pola acak (random), mengelompok (clustered), dan seragam atau teratur (uniform/regular). Untuk mengetahui termasuk dalam pola yang mana persebaran situs-situs dalam suatu wilayah, dapat diketahui berdasarkan indeks penyebaran tetangga terdekat. Indeks tersebut didapat dari hasil pembagian jarak rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat dengan jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random.
Jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat didapat dari hasil pembagian jumlah jarak tetangga terdekat dengan jumlah titik. Sedangkan jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random didapat dari beberapa kali perhitungan. Pertama-tama dicari hasil dari pembagian jumlah titik yang dianalisis dengan luas wilayah penelitian, kemudian akar dari pembagian tersebut dibagi 2. Jika nilai yang diperoleh antara 0 - 0,9 maka persebaran situs berpola cenderung mengelompok; 1 - 2,14 berpola cenderung acak; dan > 2,15 berpola cenderung teratur (Hodder 1976; Bintarto 1979).
Berdasarkan peta persebaran situs dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Palembang, terdapat 21 situs yang diperkirakan berasal dari masa klasik. Luas wilayah persebaran situs-situs Masa Kalsik di Wilayah Palembang adalah 52,55 km2 yang dihitung dari Situs Talang Tuo sebagai batas barat dan utara; Sungai Buah sebagai batas timur; dan Sungai Musi sebagai batas selatan. Batas-batas ini diambil berdasarkan titik terluar yang didapat dari plotting pada peta.
Berdasarkan jarak antar situs diketahui jarak rata-rata antara satu situs dengan situs tetangganya yang terdekat adalah 9,85 : 21 = 0,47.
Sedangkan jarak rata-rata andaikata semua titk mempunyai pola random adalah
21 : 52,55 = 0,3996
1
= 0,791
2 V 0,39996
jadi indeks penyebaran tetangga terdekat adalah0,47 : 0,791 = 0,59
Dengan demikian maka pola persebaran situs-situs masa Klasik di wilayah Palembang adalah cenderung mengelompok.
Akumulasi Persebaran Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Dalam menentukan akumulasi persebaran situs-situs masa Klasik di wilayah Palembang, wilayah tersebut dibagi-bagi berdasarkan grid yang masing-masing berukuran 1 km2. Berdasarkan grid-grid tersebut terlihat bahwa wilayah Palembang Barat termasuk dalam grid A - grid F; Palembang Tengah termasuk grid G - grid H; dan Palembang Timur termasuk grid I - grid L. Pada grafik-grafik dibawah ini akan terlihat persebaran dan akumulasi situs masa Kalsik di Wilayah Palembang.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah situs diketahui dari seluruh situs masa Klasik di Wilayah Palembang terakumulasi di wilayah Palembang Barat. Terakumulasinya situs tersebut tentunya merupakan permasalahan tersendiri yang menarik untuk dikaji, sebab dengan adanya konsentrasi persebaran situs di suatu wilayah tentunya di wilayah tersebut pernah terjadi suatu aktivitas tertentu.
Secara geografis wilayah Palembang Barat merupakan dataran banjir dan tanggul alam, yang diikuti oleh dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah denudasial (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1984/1992: 99). Keadaan lingkungan wilayah Palembang Barat saat ini berupa pemukiman, kebun, sawah, dan rawa-rawa. Di wilayah tersebut, saat ini juga masih ditemukan saluran-saluran air yang bermuara di Sungai Musi.
Berdasarkan persebaran situs yang terakumulasi di Palembang Barat, dapat diasumsikan bahwa wilayah tersebut merupakan central place. Terakumulasinya situs-situs arkeologi di Palembang Barat dapat dikatakan disebabkan oleh adnya pusat keagamaan. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Bukit Siguntang yang berdasarkan temuanan-temuan arkeologinya diasumsikan sebagai situs keagamaan. Selain itu dilihat dari keletakan geografisnya yang berada pada 26 m di atas permukaan laut diasumsikan juga Bukit Siguntang merupakan simbol dari Gunung Meru.
Keberadaan situs-situs lainnya yang terletak di sekitar Bukit Siguntang dapat dikatakan sebagai pendukung dari situs tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Situs Kambang Unglen yang diidentifikasikan sebagai situs industri manik-manik. Sebagai mana diketahui dalam prosesi upacara agama Buda, salah satu alat upacara yang digunakan adalah tasbih. Hasil perbandingan antara manik-manik yang ditemukan di Kambang Unglen dan Bukit Siguntang diketahui bahwa manik-manik tersebut mempunyai komposisi yang sama (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1984/1992: 227). Berdasarkan hal tersebut maka diasumsikan manik-manik dari Kambang Unglen diproduksi untuk tasbih dalam kegiatan prosesi upacara keagamaan di Bukit Siguntang.
Hubungan Situs dengan Sumber Air
Melihat dari keadaan geografis Palembang, wilayah tersebut terdiri dari perbukitan rendah denudasial yang selalu bebas dari banjir. Meskipun demikian di beberapa bagian di wilayah Palembang terdapat juga dataran banjir dan dataran aluvial yang selalu terkena banjir pada musim penghujan. Untuk menanggulangi keadaan tersebut, kemungkinan masyarakat Palembang masa lalu membangun saluran air sebagai sistem pengendalian banjir.
Dihubungkan dengan situs-situs masa Klasik di Wilayah Palembang yang umumnya merupakan situs keagamaan, saluran-saluran air di wilayah tersebut juga berperan dalam kegiatan keagamaan. Saluran-saluran air tersebut merupakan sumber air yang menjadi salah satu faktor yang penting dalam prosesi keagamaan di mana air merupakan tanda kesucian suatu tempat dan sebagai pusat atau sasaran pemujaan (Soekmono 1974: 237-239).
Selain fungsi-fungsi yang telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan temuan sisa-sisa perahu di beberapa situs dapat diasumsikan bahwa saluran-saluran air yang terdapat di wilayah Palembang juga berfungsi sebagai media transportasi. Hal ini diperkuat juga oleh pendapat Janis Stargardt (1984), yang menurutnya bahwa fungsi saluran-saluran air di kawasan Asia Tenggara selain untuk irigasi juga merupakan media transportasi dan kegiatan keagamaan.
Berdasarkan temuan berupa pecahan keramik di beberapa situs di Palembang menunjukan bahwa di wilayah tersebut juga terdapat kegiatan yang berhubungan dengan pemukiman. Dilihat dari ketebalan pecahannya kemungkinan keramik-keramik tersebut merupakan tempayan dan pasu. Jika dihubungkan dengan keadaan geografis dari situs-situs tersebut yang sebagian merupakan rawa-rawa, kemungkinan tempayan dan pasu tersebut berfungsi sebgai wadah penampungan air bersih.
Keletakan situs-situs tersebut yang juga berada tidak jauh dari sungai atau saluran air, menunjukan bahwa masyarakat Palembang masa lalu telah memilih lokasi yang dekat dengan sumber air sebagai lokasi pemukiman. Hal ini juga didukung oleh laporan Chau Jua Kua bahwa sekitar abad XII dan XIII masyarakat Palembang bermukim di tepi sungai dan tinggal di rumah yang berbentuk panggung atau rumah rakit (Hirth dan Rockhill 1967: 62).
Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Palembang, terhitung ada 21 situs yang berasal dari masa Klasik. Berdasarkan analisis tetangga terdekat dapat diketahui bahwa pola persebaran situs-situs tersebut cenderung mengelompok (clustered).
Secara keseluruhan terlihat akumulasi situs-situs masa Klasik di wilayah ini terakumulasi di Palembang Barat. Terakumulasinya situs-situs tersebut dapat dihadikan dasar asumsi bahwa Palembang Barat merupakan pusat kegiatan (central place). Jika dikaitkan dengan keberadaan Bukit Siguntang yang diduga merupakan situs keagamaan, maka terakumulasinya situs-situs tersebut dikarenakan oleh adanya pusat keagamaan.
Mengenai keberadaan situs-situs yang tidak begitu jauh dari sumber air, jika dilihat dari jenis situs yang pada umumnya merupakan situs keagamaan dapat dikatakan bahwa sungai atau saluran air tersebut merupakan salah satu unsur dari prosesi keagamaan. Meskipun demikian fungsi dari sungai atau saluran air tersebut tidak hanya sebagai unsur dalam prosesi keagamaan tapi juga berfungsi sebagai sistem pengendalian banjir dan media transportasi.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1995 "Arkeologi Pemukiman:TItik Strategis dan Beberapa Paradigma"makalah dalam Seminar Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi, Yogyakarta, 15-16 Maret 1995
Bintarto, R dan Surastopo Hadisumarmo. 1979 Metode Analisis Geografi. Jakarta: LP3ES.
Chang, K.C. (ed.). 1968 Settlement Archaeology. California: National Press Book.
Clarke, David (ed.). 1977 Spatial Archaeology. London: Academic Press
Faisaliskandiar, Mindra. 1988 Dalam Wawasan Arkeologi. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hirth, F dan W.W. Rockhil. 1967 Chau Jua - Kua: His Work on The Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu Fan - Chi, Taipei.
Hodder, Ian and Cliver Orton. 1976 Spatial Analysis in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Mundardjito. 1990 "Metode Pemukiman Arkeologi" dalam Monumen. Depok: Lembaran Sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
--- 1993 Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs-Situs Masa Hindu Buda di Daerah Yogyakarta. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
--- 1995 "Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis Dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini" makalah dalam Seminar Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi, Yogyakarta, 15-16 MAret 1995.
Novita, Aryandini dan Mujib. 1995 Laporan Penelitian Situs-Situs Arkeologi di Palembang Barat. (tidak diterbitkan)
Pemerintah Daerah Tk I Sumsel.1993 Sriwijaya Dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi. Palembang.
--- 1994 Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang. Palembang.
Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 1991 Archaeology. Theories, Methods, and Practice. USA: Thames and Hudson Ltd.
Shahrer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979 Fundamental of Archaeology. California: Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.
Soekmono. 1974 Candi. Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Sastra Unversitas Indonesia.
Soeroso. 1995 Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu-Buda di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya, Jawa Barat: Tinjauan Ekologi. Tesis. Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Stargardt, Janis. 1984 "Hydraulic Work and South East Asia Polities" makalah dalam The Symposium on Southeast Asia in 19th to 14th Centuries. Australian National University, Canberra, 9-12 Mei 1984.
Tim Penelitian Arkeologi Palembang. 1984/1992 Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang Tahun 1984 - 1992. (tidak diterbitkan)
--- 1991 Laporan Penelitian Palembang 1984 - 1990. (tidak diterbitkan)
*) Tulisan ini telah dterbitkan di Jurnal Arkeologi Siddhayatra Nomor 2/I/Nop/1996
Arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat masa lalu melalui benda-benda tinggalannya dalam prakteknya mempunyai 3 tujuan utama, yaitu (1) rekonstruksi sejarah kebudayaan, (2) rekonstruksi cara-cara hidup masa lalu, dan (3) penggambaran proses budaya. Dalam perkembangannya sebagai disiplin ilmu, arkeologi telah mengalami perubahan-perubahan dalam orientasi penelitiannya.
Pada awalnya setiap penelitian arkeologi hanya menggarap data-data arkeologi sebagai materi saja (artifact-oriented) tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktunya. Pada perkembangan selanjutnya penelitian arkeologi mulai beralih tidak hanya pada bendanya saja tetapi juga pada lingkungan di mana benda tersebut di temukan (site-oriented). Perubahana orientasi penelitian ini kemudian dikenal dengan istilah new archaeology.
Sejalan dengan berkembangnya new archaeology, orientasi penelitian arkeologi yang memperhatikan situs di mana benda arkeologi ditemukan kemudian berkembang menjadi orientasi penelitian yang lebih luas lagi. Orientasi penelitian ini tidak hanya memperhatikan 1 situs saja tetapi sejumlah situs dalam satu satuan wilayah (region-oriented). Orientasi penelitian regional inilah yang menjadi landasan dari kajian arkeologi ruang.
Menurut David Clarke, arkeologi ruang ialah kajian arkeologi yang mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lalu, sekaligus mempelajari pola hubungan antar ruang dalam satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya (1977: 9). Dalam studi keruangan ini yang diperhatikan adalah sebaran dari benda-benda dan situs-situs arkeologi, kemudian hubungan antara benda atau situs dengan lingkungan fisik sebagai sumberdaya (Mundardjito 1995: 2). Berdasarkan uraian-uraian ini, dapat dikatakan bahwa kajian arkeologi ruang mempelajari pusat kegiatan suatu komunitas dalam satu satuan wilayah.
Berkaitan dengan 3 tujuan utama arkeologi, maka kajian arkeologi ruang tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui apa dan bagaimana aktivitas suatu komunitas di suatu wilayah, tetapi juga untuk mengetahui mengapa aktivitas tersebut terjadi. Sama seperti kajian-kajian arkeologi lain, dalam pengumpulan data lapangan digunakan metode survei dan metode ekskavasi. Tetapi karena dalam kajian arkeologi ruang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang persebaran situs, hubungan antar situs dan hubungan situs dengan lingkungannya maka dalam pengumpulan data lapangan, metode survei lebih efektif untuk digunakan. Hal ini dikarenakan data lapangan yang diperoleh dengan metode ekskavasi lebih terbatas dari pada data lapangan yang deperoleh melalui metode survei. Selain itu dari faktor teknis, metode ekskavasi merupakan metode yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tinggi (Ahimsa-Putra 1995: 2; Mundardjito 1995: 21-22).
Metode survei yang dapat digolongkan ke dalam metode penelitian tanpa menggunakan penggalian (non digging research) ini pertama kali dilakukan oleh Gordon Willey pada penelitian di Lembah Viru, Peru. Di Indonesia metode ini telah dilakukan sejalan dengan berkembangnya kajian arkeologi ruang. Beberapa penelitian arkeologi di Indonesia yang menggunakan metode survei ini antara lain dilakukan oleh Mundardjito untuk melihat penempatan situs-situs masa Hindu-Buda di Daeah Yogyakarta; Soeroso dalam penelitiannya untuk melihat pola persebaran bangunan masa Hindu-Buda di Batujaya dan Cibuaya; pada Program Pendidikan dan Pelatihan Arkeologi Lapangan (IFSA) yang diselenggarakan oleh Puslit Arkenas di Trowulan yang bertujuan untuk merekonstruksi pola pemukiman kuno di situs tersebut; serta Balai Arkeologi Palembang dalam penelitian situs-situs arkeologi di Palembang Barat yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang persebaran situs arkeologi di wilayah tersebut.
Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Penelitan arkeologi di Kotamadya Palembang sebanarnya telah dilakukan sejak tahun 1954 oleh tim dari Dinas Pubakala RI, tetapi sempat terhenti lama dan baru pada tahun 1973 dan 1874 dilakukan lagi penelitian oleh tim kerjasama antara Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional dengan The University of Pennsylvania Museum. Keberadaan situs-situs arkeologi di Kotamadya Palembang banyak menarik minat para arkeolog dalam maupun luar negeri. Umumnya dalam penelitian di wilayah tersebut bertujuan untuk mengungkapkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Telah banyak kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh Puslit Arkenas sebagai pelaksana penelitian antara lain dengan Bakorsurtanal; Ditlinbinjarah; Fakultas Geografi UGM; EFEO; Ford Foundation; dan The Geographysical Research Institute University of New South Wales. Bahkan pada tahun 1984, SPAFA menetapkan Palembang menjadi salah satu dari proyek penelitiannya. Penelitian terakhir yang dilaksanakan di wilayah tersebut, dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang persebaran situs arkeologi di Palembang Barat.
Berdasarkan persebaran situs, tahun 1985 Puslit Arkenas membagi Kotamadya Palembang menjadi 3 unit wilayah observasi, yaitu Palembang Barat, Palembang Tengah, dan Palembang Timur. Ketiga wilayah tersebut dibatasi oleh sungai-sungai yang bermuara di Sungai Musi. Antara Palembang Barat dan Palembang Tengah dibatasi oleh Sungai Sekanak, sedangkan antara Palembang Tengah dan Palembang timur dibatasi oleh Sungai Bengkuan. Seperti diketahui bahwa dari sejumlah situs yang terdapat di Kotamadya Palembang, wilayah Palembang Barat memiliki jumlah situs yang terbanyak dibanding dengan wilayah Palembang Tengah dan Palembang Timur. Terhitung ada 13 situs yang tersebar di wilayah tersebut, yaitu Bukit Siguntang, Talang Tuo, Kolam Pinisi, Kedukan Bukit, Lorong Jambu, Tanjung Rawa, Kambang Unglen, Kambang Purun, Karanganyar, Ladang Sirap, Keramat Pule, dan Gandus.
Situs-situs yang berada di wilayah Palembang Tengah adalah Situs Pagaralam, Candi Angsoka, dan Candi Walang; sedangkan situs-situs yang berada di wilayah Palembang Timur adalah Situs Sarangwati, Air Bersih, Boom Baru, Geding Suro, dan Telaga Batu.
Analisis Tetangga Terdekat terhadap Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Sebagaimana diketahui bahwa arkeoloig ruang menitikberatkan pada kajian dimensi ruang, di mana akan terlihat pola persebaran benda atau situs arkeologi dalam suatu wilayah. Dalam menentukan pola persebaran situs-situs masa klasik di Wilayah Palembang dapat dilakukan dengan menggunakan analisis tetangga terdekat.
Secara umum terdapat 3 pola dalam persebaran situs, yaitu pola acak (random), mengelompok (clustered), dan seragam atau teratur (uniform/regular). Untuk mengetahui termasuk dalam pola yang mana persebaran situs-situs dalam suatu wilayah, dapat diketahui berdasarkan indeks penyebaran tetangga terdekat. Indeks tersebut didapat dari hasil pembagian jarak rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat dengan jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random.
Jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangganya yang terdekat didapat dari hasil pembagian jumlah jarak tetangga terdekat dengan jumlah titik. Sedangkan jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random didapat dari beberapa kali perhitungan. Pertama-tama dicari hasil dari pembagian jumlah titik yang dianalisis dengan luas wilayah penelitian, kemudian akar dari pembagian tersebut dibagi 2. Jika nilai yang diperoleh antara 0 - 0,9 maka persebaran situs berpola cenderung mengelompok; 1 - 2,14 berpola cenderung acak; dan > 2,15 berpola cenderung teratur (Hodder 1976; Bintarto 1979).
Berdasarkan peta persebaran situs dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Palembang, terdapat 21 situs yang diperkirakan berasal dari masa klasik. Luas wilayah persebaran situs-situs Masa Kalsik di Wilayah Palembang adalah 52,55 km2 yang dihitung dari Situs Talang Tuo sebagai batas barat dan utara; Sungai Buah sebagai batas timur; dan Sungai Musi sebagai batas selatan. Batas-batas ini diambil berdasarkan titik terluar yang didapat dari plotting pada peta.
Berdasarkan jarak antar situs diketahui jarak rata-rata antara satu situs dengan situs tetangganya yang terdekat adalah 9,85 : 21 = 0,47.
Sedangkan jarak rata-rata andaikata semua titk mempunyai pola random adalah
21 : 52,55 = 0,3996
1
= 0,791
2 V 0,39996
jadi indeks penyebaran tetangga terdekat adalah0,47 : 0,791 = 0,59
Dengan demikian maka pola persebaran situs-situs masa Klasik di wilayah Palembang adalah cenderung mengelompok.
Akumulasi Persebaran Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang
Dalam menentukan akumulasi persebaran situs-situs masa Klasik di wilayah Palembang, wilayah tersebut dibagi-bagi berdasarkan grid yang masing-masing berukuran 1 km2. Berdasarkan grid-grid tersebut terlihat bahwa wilayah Palembang Barat termasuk dalam grid A - grid F; Palembang Tengah termasuk grid G - grid H; dan Palembang Timur termasuk grid I - grid L. Pada grafik-grafik dibawah ini akan terlihat persebaran dan akumulasi situs masa Kalsik di Wilayah Palembang.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah situs diketahui dari seluruh situs masa Klasik di Wilayah Palembang terakumulasi di wilayah Palembang Barat. Terakumulasinya situs tersebut tentunya merupakan permasalahan tersendiri yang menarik untuk dikaji, sebab dengan adanya konsentrasi persebaran situs di suatu wilayah tentunya di wilayah tersebut pernah terjadi suatu aktivitas tertentu.
Secara geografis wilayah Palembang Barat merupakan dataran banjir dan tanggul alam, yang diikuti oleh dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah denudasial (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1984/1992: 99). Keadaan lingkungan wilayah Palembang Barat saat ini berupa pemukiman, kebun, sawah, dan rawa-rawa. Di wilayah tersebut, saat ini juga masih ditemukan saluran-saluran air yang bermuara di Sungai Musi.
Berdasarkan persebaran situs yang terakumulasi di Palembang Barat, dapat diasumsikan bahwa wilayah tersebut merupakan central place. Terakumulasinya situs-situs arkeologi di Palembang Barat dapat dikatakan disebabkan oleh adnya pusat keagamaan. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Bukit Siguntang yang berdasarkan temuanan-temuan arkeologinya diasumsikan sebagai situs keagamaan. Selain itu dilihat dari keletakan geografisnya yang berada pada 26 m di atas permukaan laut diasumsikan juga Bukit Siguntang merupakan simbol dari Gunung Meru.
Keberadaan situs-situs lainnya yang terletak di sekitar Bukit Siguntang dapat dikatakan sebagai pendukung dari situs tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Situs Kambang Unglen yang diidentifikasikan sebagai situs industri manik-manik. Sebagai mana diketahui dalam prosesi upacara agama Buda, salah satu alat upacara yang digunakan adalah tasbih. Hasil perbandingan antara manik-manik yang ditemukan di Kambang Unglen dan Bukit Siguntang diketahui bahwa manik-manik tersebut mempunyai komposisi yang sama (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1984/1992: 227). Berdasarkan hal tersebut maka diasumsikan manik-manik dari Kambang Unglen diproduksi untuk tasbih dalam kegiatan prosesi upacara keagamaan di Bukit Siguntang.
Hubungan Situs dengan Sumber Air
Melihat dari keadaan geografis Palembang, wilayah tersebut terdiri dari perbukitan rendah denudasial yang selalu bebas dari banjir. Meskipun demikian di beberapa bagian di wilayah Palembang terdapat juga dataran banjir dan dataran aluvial yang selalu terkena banjir pada musim penghujan. Untuk menanggulangi keadaan tersebut, kemungkinan masyarakat Palembang masa lalu membangun saluran air sebagai sistem pengendalian banjir.
Dihubungkan dengan situs-situs masa Klasik di Wilayah Palembang yang umumnya merupakan situs keagamaan, saluran-saluran air di wilayah tersebut juga berperan dalam kegiatan keagamaan. Saluran-saluran air tersebut merupakan sumber air yang menjadi salah satu faktor yang penting dalam prosesi keagamaan di mana air merupakan tanda kesucian suatu tempat dan sebagai pusat atau sasaran pemujaan (Soekmono 1974: 237-239).
Selain fungsi-fungsi yang telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan temuan sisa-sisa perahu di beberapa situs dapat diasumsikan bahwa saluran-saluran air yang terdapat di wilayah Palembang juga berfungsi sebagai media transportasi. Hal ini diperkuat juga oleh pendapat Janis Stargardt (1984), yang menurutnya bahwa fungsi saluran-saluran air di kawasan Asia Tenggara selain untuk irigasi juga merupakan media transportasi dan kegiatan keagamaan.
Berdasarkan temuan berupa pecahan keramik di beberapa situs di Palembang menunjukan bahwa di wilayah tersebut juga terdapat kegiatan yang berhubungan dengan pemukiman. Dilihat dari ketebalan pecahannya kemungkinan keramik-keramik tersebut merupakan tempayan dan pasu. Jika dihubungkan dengan keadaan geografis dari situs-situs tersebut yang sebagian merupakan rawa-rawa, kemungkinan tempayan dan pasu tersebut berfungsi sebgai wadah penampungan air bersih.
Keletakan situs-situs tersebut yang juga berada tidak jauh dari sungai atau saluran air, menunjukan bahwa masyarakat Palembang masa lalu telah memilih lokasi yang dekat dengan sumber air sebagai lokasi pemukiman. Hal ini juga didukung oleh laporan Chau Jua Kua bahwa sekitar abad XII dan XIII masyarakat Palembang bermukim di tepi sungai dan tinggal di rumah yang berbentuk panggung atau rumah rakit (Hirth dan Rockhill 1967: 62).
Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Wilayah Palembang, terhitung ada 21 situs yang berasal dari masa Klasik. Berdasarkan analisis tetangga terdekat dapat diketahui bahwa pola persebaran situs-situs tersebut cenderung mengelompok (clustered).
Secara keseluruhan terlihat akumulasi situs-situs masa Klasik di wilayah ini terakumulasi di Palembang Barat. Terakumulasinya situs-situs tersebut dapat dihadikan dasar asumsi bahwa Palembang Barat merupakan pusat kegiatan (central place). Jika dikaitkan dengan keberadaan Bukit Siguntang yang diduga merupakan situs keagamaan, maka terakumulasinya situs-situs tersebut dikarenakan oleh adanya pusat keagamaan.
Mengenai keberadaan situs-situs yang tidak begitu jauh dari sumber air, jika dilihat dari jenis situs yang pada umumnya merupakan situs keagamaan dapat dikatakan bahwa sungai atau saluran air tersebut merupakan salah satu unsur dari prosesi keagamaan. Meskipun demikian fungsi dari sungai atau saluran air tersebut tidak hanya sebagai unsur dalam prosesi keagamaan tapi juga berfungsi sebagai sistem pengendalian banjir dan media transportasi.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1995 "Arkeologi Pemukiman:TItik Strategis dan Beberapa Paradigma"makalah dalam Seminar Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi, Yogyakarta, 15-16 Maret 1995
Bintarto, R dan Surastopo Hadisumarmo. 1979 Metode Analisis Geografi. Jakarta: LP3ES.
Chang, K.C. (ed.). 1968 Settlement Archaeology. California: National Press Book.
Clarke, David (ed.). 1977 Spatial Archaeology. London: Academic Press
Faisaliskandiar, Mindra. 1988 Dalam Wawasan Arkeologi. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Hirth, F dan W.W. Rockhil. 1967 Chau Jua - Kua: His Work on The Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu Fan - Chi, Taipei.
Hodder, Ian and Cliver Orton. 1976 Spatial Analysis in Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Mundardjito. 1990 "Metode Pemukiman Arkeologi" dalam Monumen. Depok: Lembaran Sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
--- 1993 Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs-Situs Masa Hindu Buda di Daerah Yogyakarta. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
--- 1995 "Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis Dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini" makalah dalam Seminar Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi, Yogyakarta, 15-16 MAret 1995.
Novita, Aryandini dan Mujib. 1995 Laporan Penelitian Situs-Situs Arkeologi di Palembang Barat. (tidak diterbitkan)
Pemerintah Daerah Tk I Sumsel.1993 Sriwijaya Dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi. Palembang.
--- 1994 Situs-Situs Masa Klasik di Wilayah Palembang. Palembang.
Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 1991 Archaeology. Theories, Methods, and Practice. USA: Thames and Hudson Ltd.
Shahrer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979 Fundamental of Archaeology. California: Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.
Soekmono. 1974 Candi. Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Sastra Unversitas Indonesia.
Soeroso. 1995 Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu-Buda di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya, Jawa Barat: Tinjauan Ekologi. Tesis. Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Stargardt, Janis. 1984 "Hydraulic Work and South East Asia Polities" makalah dalam The Symposium on Southeast Asia in 19th to 14th Centuries. Australian National University, Canberra, 9-12 Mei 1984.
Tim Penelitian Arkeologi Palembang. 1984/1992 Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang Tahun 1984 - 1992. (tidak diterbitkan)
--- 1991 Laporan Penelitian Palembang 1984 - 1990. (tidak diterbitkan)
*) Tulisan ini telah dterbitkan di Jurnal Arkeologi Siddhayatra Nomor 2/I/Nop/1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar