Kamis, 18 Maret 2010

Pola Keletakan Komplek Makam Sultan-Sultan Palembang*)

I

Hasil penelitian arkeologi menunjukkan bahwa sejak masa Sriwijaya penempatan lokasi-lokasi permukiman di Kota Palembang diletakan di sepanjang Sungai Musi yang membelah kota tersebut serta anak-anak sungainya. Sesuai dengan kondisi geografisnya, lokasi permukiman tersebut berada di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang berupa sungai dan rawa.

Dalam kegiatan ini juga berhasil mengetahui bahwa sejak masa Sriwijaya telah dilakukan reklamasi daerah rawa dengan cara membuat saluran-saluran buatan (Utomo 1993: B4-1 - B4-9). Lokasi-lokasi tersebut kemudian berkembang hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam bahkan hingga saat ini. Berdasarkan keberadaan situs-situsnya, secara geografis terlihat adanya pola yang sama dalam penempatan lokasi-lokasi permukiman pada masa Kesultanan dengan masa Sriwijaya.

Dalam perkembangannya Kesultanan Palembang Darussalam tidak terlepas dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, yaitu Demak dan Mataram. Hal ini dapat terlihat dari tinggalan-tinggalan arkeologi di Palembang yang berasal dari masa Kesultanan menunjukan adanya pengaruh dari kerajaan-kerajaan tersebut yaitu bentuk nisan yang termasuk dalam tipe Demak-Troloyo.

Kenyataan ini didukung juga oleh data sejarah yang menyebutkan bahwa pada abad ke-16 M, Ki gede Ing Suro yang berasal dari Demak mendirikan pusat kekuasaan dan perdagangan di Palembang yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Palembang Darussalam (Graff dan Pegeaud 1989; Utomo dan Hanafiah 1993; Mujib 2001). Secara kronologi, pengaruh kedua kerajaan ini berlangsung hingga pertengahan abad ke-17 M, di mana pada saat itu penguasa Palembang, Raden Tumenggung, menyatakan bahwa Palembang melepaskan diri dari Mataram. Pelepasan diri tersebut juga dipertegas dengan penobatan Raden Tumenggung dengan menggunakan gelar Sultan, sehingga penguasa Palembang tersebut dikenal dengan Sultan Abdurrahman (Rahim 1998; Mujib 2001).

Selama berdirinya, ibukota Kesultanan Palembang Darussalam merupakan salah satu dari kota-kota di nusantara yang menjadi pelabuhan dagang yang cukup ramai. Sungai Musi yang membelah kota Palembang memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kota tersebut. Di sepanjang Sungai Musi bermuara anak-anak sungai dan merupakan media transportasi yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan daerah-daerah pedalaman. Sungai Musi sendiri bermuara di Selat Bangka yang merupakan bagian dari jalur pelayaran yang cukup ramai pada masa itu. Berdasarkan keadaan geografis tersebut kota Palembang dapat dikatakan berada di lokasi yang sangat strategis dalam lalulintas perdagangan yang merupakan basis perekonomian kerajaan-kerajaan maritim pada masa itu.

Sebagai pusat pemerintahan, selain merupakan bandar dagang yang ramai, Palembang juga merupakan pusat syiar Agama Islam. Dalam hal ini kegiatan pengembangan sastra dan ilmu Agama Islam pada masa itu terpusat di keraton Kesultanan (Rahim 1998:92). Palembang menjadi pusat syiar Agama Islam berlangsung selama pertengahan abad ke-18 M hingga awal abad ke-19 M, tepatnya dimulai pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin I hingga masuknya pengaruh kolonialisme Eropa.


II

Sampai saat ini penelitian mengenai permukiman di Kota Palembang pada masa Kesultanan baru sebatas kajian kepustakaan. Penelitian arkeologi yang pernah dilakukan terlihat baru mencakup pada situs-situs yang berkaitan dengan kegiatan religi seperti masjid dan makam.

Secara keseluruhan terhitung ada 7 kompleks pemakaman para sultan Palembang Darussalam. Jika mengacu pada pembagian wilayah persebaran situs di Kota Palembang yang telah dilaksanakan tahun 1985, yaitu Palembang bagian barat, tengah dan timur, maka ketujuh kompleks pemakaman tersebut tersebar di seluruh bagian kota. Adapun ketujuh komplek pemakaman Kesultanan Palembang Darussalam adalah Geding Suro, Sabokingking, Candi Angsoka, Cinde Walang, Kebon Gede, Sultan Agung dan Kawah Tengkurep.


Kompleks Pemakaman Geding Suro

Secara administrasi kompleks pemakaman ini termasuk wilayah kelurahan 3 Ilir, kecamatan Ilir Timur II serta keletakan geografisnya berada pada 02o58'42,4" LS dan 104o47'35,8" BT. Situs ini berada di lahan yang ketinggiannya ± 4 meter di atas permukaan laut dan berada di tepi Sungai Rengas yang bermuara di Sungai Musi.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologinya, diketahui bahwa Kompleks Pemakaman Geding Suro didirikan di atas susunan candi dari masa Hindu-Buddha. Kompleks Pemakaman ini berupa bangunan-bangunan dari bata yang bagian atasnya terdapat makam yang jumlahnya bervariasi.

Di kompleks ini dimakamkan Gede Ing Suro Mudo dan tokoh yang bernama Tan Pualang Cian Cing yang merupakan Iman Sultan serta Raden Kusumoningrat. Nisan di kompleks pemakaman ini terbuat dari kayu dan bata. Diduga nisan-nisan tersebut sudah mengalami perubahan sehingga tidak dapat diketahui lagi tipenya (Mujib 1996: 17).


Kompleks Pemakaman Sabokingking

Kompleks pemakaman ini terletak ± 500 m ke arah barat laut dari Kompleks Pemakaman Geding Suro. Keletakan geografisnya adalah 01o07'28,5" LS dan 104o01'58,2" BT. Secara umum Kompleks Pemakaman Sabokingking berupa pulau buatan yang terletak di tengah-tengah kolam. Dari kolam tersebut mengalir kanal-kanal yang bermuara di Sungai Musi. Dari tinggalan-tinggalan arkeologinya diduga situs ini juga digunakan pada masa Hindu-Buddha.

Berdasarkan pembacaan inskripsi pada nisan-nisannya, tokoh yang dimakamkan di kompleks ini adalah Pangeran Ratu Jamaluddin Amangkurat IV, R A Ratu Sinuhun Putri Ki Pancanegara Sumedang, Nyimas ayu Rabi’atulhasanah dan Imam Sultan Tuan Sayyid Muhammad Al Imam Al Passaiy. Nisan dan jirat makam-makam tersebut terbuat dari kayu dan dikategorikan ke dalam tipe Demak-Troloyo (Mujib 1996: 17).


Candi Angsoka

Sama seperti dua situs sebelumnya, Situs Candi Angsoka merupakan situs dari masa Klasik yang digunakan kembali pada masa Kesultanan. Keletakan geografis situs ini adalah 20°59’ LS dan 104°44’ BT serta termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan 20 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I. Keadaan lingkungan situs berada di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya yang berupa pemukiman.

Candi Angsoka merupakan makam Pangeran Madi Angsoka yang berkuasa di Palembang antara tahun 1594 – 1627. Selain Pangeran Madi Angsoka, dimakamkan juga permaisurinya. Saat ini keadaan pemakaman yang berada di tengah-tengah pemukiman padat tersebut dapat dikatakan sudah rusak karena proses pengerukan lahan di sekitarnya untuk pembangunan cungkup makam yang baru. Pengerukan ini juga mengakibatkan makam lainnya yang sejaman dengan makam Madi Angsoka tidak ditemukan lagi (Purwanti 2000: 12).


Cinde Walang

Situs yang berada di kawasan perekonimian dan pemukiman ini termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan 24 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I. Di situs ini dimakamkan Sultan Abdurrahman, permaisuri sultan dan Imam Sultan SayyidMustafa alaidrus. Selain itu di sekitar ketiga makam tersebut terdapat makam-makam keluarga kesultanan dan makam penyebar Agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman yaitu Sayyid Abdulrahman Ibn Fuad (Mujib 2001: 36).


Kompleks Makam Kebon Gede

Secara administrasi kompleks makam ini terletak di Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II. Situs yang berada di kawasan pemukiman ini terlihat berada di lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Didekat kompleks makam ini terdapat sebuah saluran yang bermuara di Sungai Musi. Di kompleks ini dimakamkan Sultan Muhammad Mansur dan permaisurinya serta Imam Sultan. Keadaan pemakaman Kebon Gede ini secara umum tidak terawat dan hampir semua nisan-nisannya rusak (Mujib 2001: 37).


Kompleks Makam Sultan Agung

Kompleks makam yang berada di kawasan pemukiman ini berjarak 45 m dari Sungai Musi. Kelatkan geografisnya 02°58’56,1” LS dan 104°47’ 36,1”, secara administrasi termasuk wilayah Kelurahan 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Di kompleks ini terdapat dua deretan makam. Tokoh yang dimakamkan adalah Sultan Agung Sri Teruno, sultan ketiga dari Kesultanan Palembang Darussalam. Nisan pada makam-makam di kompleks ini terbuat dari kayu dengan keadaan yang sudah rusak (Mujib 2001: 37-38).


Kompleks Makam Kawah Tengkurep

Termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II dan berjarak 100 m dari Sungai Musi. Keletakan geografis pemakaman ini adalah 02° 58’45,6” LS dan 104° 47’ 36,1” BT. Dibanding dengan daerah sekitarnya, kompleks pemakaman ini juga terletak di atas lahan yang lebih tinggi.

Tercatat ada tiga orang sultan yang dimakamkan di kompleks ini, yaitu Mahmud Badaruddin I, Mahmud Bahauddin, Ahmad Najamuddin. Makam ketiga sultan tersebut masing-masing memiliki cungkup dan didampingi oleh makam permaisuri dan Imam Sultan. Seluruh makam mempunyai nisan tipe Demak-Troloyo, kecuali makam Imam Sultan Bahauddin yang bertipe Aceh.


III

Menurut Inajati Adrisijati terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan komponen kota. Komponen-komponen kota tersebut berkaitan erat dengan kehidupan manuisa, yaitu tempat tinggal, keamanan, ekonomi, religi dan rekreasi. Di samping itu komponen-komponen kota pada tiap-tiap periode berbeda-beda, tergantung dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu (Adrisijati 2000). Berkaitan dengan hal tersebut maka tulisan ini akan membahas tentang kompleks-kompleks makam para Sultan Palembang di mana makam sebagai salah satu komponen kota yang berhubungan dengan kehidupan religi penduduknya.

Jika dilihat dari lokasi geografisnya, keletakan kompleks makam para Sultan di Palembang memiliki kondisi yang sama, yaitu berada di perbukitan atau lahan yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya. Selain itu kompleks-kompleks tersebut terlihat didirikan di lokasi yang dekat dengan sumber air. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara lokasi kompleks-kompleks makam sultan di Palembang dengan lingkungan sekitarnya.

Faktor yang menjadikan alasan atas kenyataan tersebut adalah adanya asumsi bahwa manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari lingkungan di mana ia melakukan aktivitasnya. Manusia dengan berbagai cara dan kemampuannya telah memanfaatkan sumber daya lingkungan untuk kelangsungan hidupnya, dengan demikian dalam menentukan lokasi aktivitasnya manusia akan menempatkannya pada suatu bentang lahan tertentu stelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendayagunakan sumber-sumber alam sekitarnya.

Ditinjau dari sudut pandang Agama Islam geografis kompleks makam yang berupa perbukitan atau dataran yang meninggi telah sesuai dengan prinsip-prinsip penguburan secara Islam. Agama Islam sendiri hanya memberi ketentuan bahwa dalam proses penguburan jenazah diarahkan menghadap kiblat dan untuk menghindarkan bau yang menyengat sehingga terhindar dari binatang buas maka makam tersebut harus diperdalam. Pendalaman tersebut pada dasarnya harus di lokasi yang kering (Sayyid Sabiq 1983: 462-482).

Secara umum keadaan geografis Palembang adalah dataran banjir dan tanggul alam, yang diikuti oleh dataran aluvial, rawa belakang dan perbukitan rendah denudasial (Tim Penelitian Arkeologi Palembang 1992: 99), karena itu pada musim penghujan di beberapa tempat mudah dilanda banjir. Kenyataan inilah yang menjadikan alasan dipilihnya daerah perbukitan atau dataran yang meninggi sebagai lokasi pemakaman. Jika tidak ada lokasi yang memenuhi persyaratan, maka kegiatan reklamasipun dilakukan seperti di Kompleks Makam Sabokiking dan Kebon Gede. Kegiatan ini berupa pembuatan kanal-kanal yang bermuara di Sungai Musi dan hasil pengerukannya digunakan untuk meninggikan lahan di sekitarnya sehingga terbebas dari banjir dan selalu kering.

Keletakan kompleks-kompleks makam para sultan di Palembang yang berada di tempat yang tinggi dapat dikaitkan dengan prinsip Agama Islam mengenai penghargaan terhadap orang-orang yang dihormati, dalam hal ini berkenaan dengan tata letak makamnya. Dalam Agama Islam, pada prinsipnya ada dua cara dalam meletakan makam orang yang dihormati, yaitu diletakan paling dekat dengan tempat ibadah atau ditempat yang paling tinggi. Peletakan di tempat yang paling tinggi ini pada hakekatnya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat pendukungnya yang bisa saja telah ada sebelum Agama Islam berkembang di daerah tersebut.

Dalam hal ini kebiasaan menempatkan makam di tempat yang tinggi seperti yang terjadi di nusantara berkaitan dengan kepercayaan yang telah ada sejak masa prasejarah. Pada masa tersebut telah ada tradisi yang menganggap bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat bersemayam arwah nenek moyang. Pendukung tradisi ini percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal, masih hidup terus di dunia arwah dan kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara mereka memperlakukan arwah nenek moyangnya. Karena itu dengan memakamkan orang yang dihormati di tempat yang tinggi, mereka percaya bahwa arwah orang itu bersama-sama arwah nenek moyang dapat memberkati bumi di mana mereka tinggal.

Kepercayaan yang berkenaan dengan penghargaan terhadap orang yang dihormati pada masa Klasik berkaitan dengan adanya konsep Dewaraja yang berkembang di Asia Tenggara, di mana raja dianggap sebagai inkarnasi atau keturunan dewa (Heine-Geldern 1983: 16). Pola pikir ini berkaitan juga dengan konsep Gunung Meru, dimana sebagai pusat jagad raya gunung ini merupakan tempat tinggal dewa-dewa penjaga jagad (Heine-Geldern 1983: 4-5).

Tradisi ini kemudian melatari masyarakat pada masa perkembangan Agama Islam dalam meletakan makam orang dihormati di tempat yang tinggi. Pada dasarnya Agama Islam tidak mengharamkan tradisi-tradisi yang berlaku sebelum agama tersebut berkembang di suatu tempat selama tidak bertentangan dengan ajarannya. Peletakan makam orang yang dihormati di tempat yang tinggi seperti yang terjadi di nusantara tidak dilarang karena semata-mata lebih cenderung disebabkan oleh penghargaan terhadap orang tersebut. Pada kompleks-kompleks makam para sultan di Palembang, keadaan ini juga dilatari oleh alasan praktis yaitu dengan kondisi geografis yang berupa rawa-rawa, maka lahan yang memenuhi syarat adalah daerah pebukitan atau dataran yang ditinggikan.

Banyaknya kompleks makam sultan-sultan di Palembang adalah suatu yang tidak umum dijumpai pada kota-kota masa Islam di nusantara. Pada umummya kompleks makam di kota-kota tersebut berada di satu lokasi. Meskipun demikian bila ditelusuri lebih lanjut terlihat adanya ketidakkonsistenan dalam pendirian kompleks makam sultan-sultan di Palembang. Hal ini dapat dilihat pada Kompleks Makam Kawah Tengkurep, di mana di kompleks ini dimakamkan 3 orang Sultan, yaitu Mahmud Badaruddin I, Ahmad Najamuddin dan Muhammad Bahauddin.

Jika dilihat kronologinya, Kompleks Makam Kawah Tengkurep ini merupakan kompleks makam yang termuda dibanding kompleks-kompleks makam lainnya. Menurut Retno Purwanti, berdasarkan data tekstual disimpulkan bahwa sebelum pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I belum ada hukum yang mengatur tentang pewarisan tahta. Ketiadaan hukum tersebut rupanya menjadi pemicu konflik di antara kalangan elit politik kesultanan Palembang. Akibat dari konflik tersebut antara lain mempengaruhi pendirian kompleks makam para sultan Palembang (Purwanti tt: 7).

Sebenarnya konflik elit politik pada masa Islam yang mempengaruhi keletakan kompleks makam penguasa tidak hanya terjadi di Kesultanan Palembang saja. Keadaan ini juga terjadi di kesultanan-kesultanan lain seperti Mataram dan Cirebon. Konflik yang terjadi di dua kesultanan mengakibatkan adanya pemisahan lokasi makam-makam dari kelompok elit politik yang berseteru. Yang menjadi perbedaan antara Kesultanan Palembang dengan kesultanan Mataram dan Cirebon adalah kesultanan-kesultanan tersebut hanya memisahkan letak makam kelompok-kelompok yang berseteru pada sisi yang berbeda tetapi masih dalam satu kompleks; sedangkan di Palembang, sultan yang berseteru dengan keluarga sultan pendahulunya cenderung memilih lokasi baru untuk makamnya dibanding menempati lokasi yang sama (Purwanti tt: 7-8 ).


IV

Sebagai salah satu aspek dari permukiman, makam merupakan tinggalan arkeologi yang berkaitan dengan kegiatan religi masyarakat pendukungnya. Secara keseluruhan keletakan kompleks makam sultan-sultan di Palembang menunjukkan pola yang sama, yaitu berada di perbukitan atau dataran yang meninggi. Selain sudut pandang religi, pola keletakan kompleks makam ini dapat ditinjau juga dari sudut pandang lingkungan dan budaya.

Ditinjau dari perspektif lingkungan, lahan di mana kompleks makam para sultan Palembang berada merupakan lokasi yang ideal. Sesuai dengan prinsip peletakan makam dalam Agama Islam yang antara lain mengharuskan untuk memperdalam makam di tempat yang kering, maka kondisi lahan yang berupa dataran yang meninggi atau perbukitan merupakan tempat yang paling cocok dibanding kondisi lahan lainnya yang berupa rawa-rawa.

Dalam perspektif budaya, terlihat bahwa penempatan kompleks makam sultan-sultan di Palembang berkaitan dengan cara penghargaan terhadap orang yang dihormati. Di kompleks-kompleks tersebut penghargaan ini dilakukan dengan meletakan makam Sultan beserta permasurinya dan Imam Sultan di tempat yang tertinggi. Tata cara tersebut adalah salah satu dari cara-cara peletakan makam orang yang dihormati secara Islami, yang sebenarnya juga terpengaruh dari tradisi yang telah ada sebelum Islam masuk ke nusantara.

Keunikan yang terdapat di kompleks makam sultan-sultan di Palembang yang tidak ditemui di kota-kota lainnya di nusantara adalah jumlahnya yang mencapai 7 buah. Banyaknya kompleks makam tersebut dapat ditinjau dari sudut pandang politik. Menurut Retno Purwanti sebelum masa pemerintahan Sultan mahmud badaruddin I belum ada hukum yang mengatur tentang pewarisan tahta. Ketiadaan hukum ini merupakan faktor yang memicu terjadinya konflik di antara kalangan elit politik Kesultanan Palembang yang mengakibatkan dalam meletakan makamnya, sultan yang berseteru dengan keluarga sultan sebelumnya lebih memilih lokasi yang baru dibanding menempati lokasi yang sama.



DAFTAR PUSTAKA

Adrisijanti, Inayanti, 1986. “Makam-makam Kerajaan Mataram (Studi Pendahuluan tentang Keterkaitan dengan Perkotaan”, PIA IV hal. 278-289.

----------------------------, 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Clarke, David, 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press.

Heine-Geldern, Robert, 1982. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Pers.

Mujib, 1997. “Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan” , Intizar no 9 hal. 19-38.

-------, 1998. “Peranan Ulama di Kesultanan Palembang Darussalam”, Aksara Balaputra Dewa no 9 hal 31-40.

-------, 2001. “Data Arkeologis tentang Kesultanan Palembang”, Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Zulkifli dan Abdul Karim Nasution (ed.) hal. 25-67.

Purwanti, Retno, 2000. Laporan Penelitian di Situs candi Angsoka, Kotamadia Palembang (tidak diterbitkan).

----------------------, tt. Konflik Elit Politik pada Masa Kesultanan Palembang (Tinjauan Berdasarkan Letak Makam para Sultan Palembang) (tidak diterbitkan).

Rahim, Husni, 1998. Sistem Otorasi dan Administrasi Islam. Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos.

Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh Sunnah Jilid I. Beirut: Darrul Fiqir.

Stella Kramrisch, 1946. The Hindu Temple. University of Calcuta.

Trigger, Bruce G, 1968. “The Determinants of Settlement Patterns”. Settlement Archaeology. KC Chang (ed.). Palo Alto: National Press Book.


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Siddhayatra Volume 7 No 2 Mei 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar