Kamis, 18 Maret 2010

Menggagas Masa Depan Benteng Kuto Besak*)

Salah satu bukti otentik sejarah kota Palembang, yaitu Benteng Kuto Besak saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Benteng yang berada di tepi Sungai Musi tersebut terkesan tidak terawat dan terbengkalai. Benteng Kuto Besak merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang yang juga merupakan kediaman sultan beserta keluarganya. Saat ini bangunan yang pengelolaannya diserahkan pada Pemda Tk I Sumatra Selatan sebagian berfungsi sebagai rumah sakit dan sebagian lagi berupa pemukiman yang cukup padat.

Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya. Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan ini ditentang oleh Sultan Palembang sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin. Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak.

Benteng Kuto Besak didirikan tahun 1780 yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804) atas prakarsa Sultan Mahmud Badaruddin I. Pembangunan benteng tersebut memakan waktu selamat 17 tahun dan dipercayakan pada orang-orang Cina. Secara resmi Benteng Kuto Besak dipakai sebagai tempat kediaman sultan dan keluarganya pada tanggal 21 Februari 1792.

Sebagai bangunan pertahanan, Benteng Kuto Besak dikelilingi oleh sungai-sungai, yaitu Sungai Musi di sebelah selatan, Sungai Kapuran di sebelah utara, Sungai Tengkuruk di sebelah timur dan Sungai Sekanak di sebelah barat. Saat ini yang masih dapat dilihat tinggal Sungai Musi dan Sungai Sekanak saja, sedangkan Sungai Tengkuruk dan Kapuran sudah tidak dapat dijumpai lagi.

Selama berdirinya Benteng Kuto Besak merupakan saksi bisu dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, antara lain tahun 1812 pada saat perang antara Kesultanan Palembang melawan tentara Inggris. Benteng Kuto Besak juga sangat berjasa dalam upaya pertahanan pasukan Kesultanan Palembang menghalau serangan tentara Belanda pada peristiwa Perang Menteng tahun 1821.

Adalah sebuah kabar yang cukup menggembirakan jika bangunan tersebut akan direnovasi seperti yang direncanakan Pemda Kota Palembang dan dijadikan salah satu aset wisata. Tetapi dalam perencanaannya sebaiknya perlu diperhatikan prinsip-prinsip pelestarian dan pemanfaatan situs karena pelestarian obyek warisan budaya mengandung nilai penting baik dari segi kesejarahan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, maupun sosial ekonomi.

Ditinjau dari segi kesejarahan, obyek warisan budaya bernilai penting karena berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh sejarah tertentu baik lokal maupun nasional; dari segi ilmu pengetahuan, obyek warisan budaya dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan pada disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti arkeologi, arsitektur, antropologi atau sosiologi; dari segi kebudayaan, obyek warisan budaya merupakan pendukung keberadaan dan kelangsungan kebudayaan masyarakat setempat; dan akhirnya dari segi sosial ekonomi, obyek warisan budaya dapat dijadikan simbol kebanggaan daerah atau aset wisata yang dapat membantu perekonomian masyarakat setempat, pemerintah daerah bahkan pusat.

Agar tidak terjadi pembangunan yang berlebihan terhadap situs yang akan dijadikan obyek wisata diperlukan perencanaan yang terpadu untuk menetapkan konsep pengembangan situs yang jelas. Dengan demikian tidak hanya Benteng Kuto Besak saja yang dikonservasi tetapi kawasan di sekitar situs tersebut juga dikonservasi. Konsep konservasi kawasan semacam ini sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para perencana kota di negara-negara maju. Pemahaman ini dilatari oleh adanya pemikiran mengenai pentingnya melestarikan obyek-obyek warisan budaya dalam rangka pemantapan jati diri dan identitas bangsa sehingga dalam pelaksanaannya perencanaaan kota lebih didasarkan pada wawasan kebudayaan.

Melihat lokasinya yang berada di kawasan perniagaan yang cukup ramai, kiranya tata ruang kawasan di sekitar Benteng Kuto Besak sebaiknya ditata kembali. Perlu diketahui bahwa penataan ulang ini tidak berarti menciptakan suatu yang baru melainkan memanfaatkan komponen-komponen yang telah ada. Dalam penataan ulang tersebut sebaiknya ditetapkan pemanfaatan ruang melalui sistem pembagian yang jelas dan relevan.

Kawasan di sekitar Benteng Kuto Besak dapat dibagi-bagi menjadi beberapa zona (mintakat), yaitu zona inti, penyangga dan pengembangan. Zona inti adalah situs itu sendiri yang merupakan obyek utama dari tujuan wisata, zona penyangga merupakan wilayah di sekeliling situs yang berfungsi untuk menekan konsentrasi arus pengunjung ke zona inti sehingga kelestarian situs tetap terjaga, serta zona pengembangan merupakan lahan fasilitas yang sebagian besar arealnya digunakan untuk pembangunan prasarana dan saran pengunjung.

Dalam penentuan zona (pemintakatan) tersebut dapat dilakukan dengan cara melaksanakan studi evaluasi kawasan yang bertujuan untuk mendata dan mengetahui distribusi persebaran serta melakukan penilaian terhadap potensi obyek warisan budaya untuk kemudian digunakan sebagai dasar pemintakatan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang selama ini, terlihat ada cukup banyak tinggalan-tinggalan arkeologi yang terkonsentrasi di beberapa kawasan di sekitar Benteng Kuto Besak. Tinggalan-tinggalan tersebut semasa dengan Benteng Kuto Besak, yaitu Mesjid Agung Palembang dan Komplek-Komplek Pemakaman Keluarga Sultan dan Pejabat Kesultanan. Selain itu sampai saat ini juga masih dapat ditemui sisa-sisa pemukiman kuno di kawasan Tanggabuntung dan Seberang Ulu I dan II. Di samping itu juga dapat dijumpai tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa kolonial yaitu bangunan Museum Badaruddin, Rumah Kapten Cina, Klenteng Soei Goilat Kiong dan sisa-sisa pemukiman Belanda di Kawasan Talangsemut.

Melihat keletakan tinggalan-tinggalan tersebut yang terkonsentrasi di beberapa kawasan dan mempunyai nilai sejarah tinggi serta bentuk arsitektur yang unik, maka kiranya kawasan-kawasan tersebut dapat dijadikan kawasan warisan budaya (Heritage Area) yang potensial untuk dijadikan aset wisata.

Namun demikian, pada tinggalan-tinggalan arkeologi dari masa kolonial ada beberapa hambatan yang terkadang terjadi, yaitu apresiasi masyarakat terhadap tinggalan tersebut yang dianggap bukan merupakan warisan budaya asli bangsa Indonesia melainkan peninggalan bangsa asing. Hal seperti ini cukup mempengaruhi pandangan masyarakat bahkan para pengambil keputusan sehingga tidak jarang kelestarian tinggalan-tinggalan tersebut dikalahkan demi kepentingan pembangunan di sektor lain. Untuk itu perlu diadakannya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap obyek warisan budaya dari masa kolonial karena bagaimanapun masa kolonial juga termasuk dalam lembaran sejarah nasional.

Pemanfaatan obyek warisan budaya menjadi aset wisata dapat juga berdampak negatif jika pengelolaannya dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang dan sembarangan. Sampai saat ini masih ada anggapan bahwa obyek wisata adalah suatu tempat yang memperlihatkan suatu yang menarik. Dalam hal ini suatu yang menarik tersebut adalah suatu yang bernilai seni tinggi, indah, megah, spektakuler, dll. Hal-hal inilah yang terkadang mendorong pihak pengelola memperlakukan obyek warisan budaya sedemikian rupa tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian demi mendatangkan keuntungan besar. Kecenderungan untuk meraup keuntungan besar jika obyek wisata dapat meyajikan suatu yang menarik terkadang membuat obyek warisan budaya kehilangan nilai historisnya. Karena itu diperlukan kesadaran dari pihak-pihak yang terkait akan nilai-nilai yang terkandung dalam obyek warisan budaya bahwa obyek tersebut tidak hanya berguna untuk menambah pendapatan daerah setempat tapi juga harus dapat bermanfaat untuk kepentingan edukatif terutama sejarah kebudayaan.

Manajemen pemanfaatan dan pengelolaan obyek warisan budaya pada dasarnya memerlukan suatu konsep strategi dan program yang terpadu. Pengelolaan obyek warisan budaya dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta. Dalam pandangan arkeologi pengelolaan obyek warisan budaya yang diserahkan pihak swasta sah saja, selama pihak tersebut melaksanakannya sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen sumberdaya budaya. Badan swasta tersebut harus dapat melihat dan memahami komponen-komponen yang terkait dengan sumberdaya budaya sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Pengelolaan obeyek warisan budaya ini diharapkan tidak hanya diorientasikan semata-mata untuk meraih keuntungan, karena dapat mengakibatkan kelestariannya terancam dan sekiranya tulisan ini dapat menjadi bahan pemikiran Pemda Kota Palembang dalam menetapkan kebijakan perencanaan pembangunan kota.


*) Tulisan ini telah diterbitkan di Harian Sriwijaya Post tanggal 6 Agustus 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar